Hanya saja, tidak setiap seruan pembuat syariah itu wajib dilaksanakan dan mendapatkan siksa, jika ditinggalkan; atau haram dilakukan dan mendapatkan siksa, jika dilaksanakan. Tetapi, semuanya itu sangat tergantung pada jenis seruannya. Karenanya, jelas berdosa dan lancang terhadap Dinullah, jika seseorang secara terburu-buru menetapkan sesuatu hukumnya fardhu, hanya karena membaca satu ayat atau hadist yang menunjukkan adanya perintah untuk melakukan sesuatu. Demikian halnya dengan seseorang yang secara tergesa-gesa mengeluarkan fatwa tentang sesuatu, bahwa ini adalah haram, karena membaca satu ayat atau hadits yang menunjukkan adanya perintah untuk meninggalkannya.
Akhir-akhir ini kaum Muslim telah diuji dengan banyaknya orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan tersebut, yakni secara terburu-buru menghalalkan atau mengha ramkan suatu perkara, setelah mereka membaca satu perintah atau larangan yang terdapat dalam satu ayat atau hadits. Umumnya ini terjadi di kalangan mereka yang menyangka dirinya paham, sebelum mereka dipahamkan hukum syara’, padahal nyatanya jarang sekali mereka memahami makna tasyri’. Karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi kaum Muslim untuk memahami jenis seruan pembuat syariat sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penentuan jenis hukum syara’. Dengan kata lain, dia harus memahami makna ayat atau hadits dengan pemahaman yang didasari pada hukum syara’ dan bukan sekedar pemahaman bahasa (harfiah), agar tidak melakukan kesalahan; mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, dan menghalalkan apa yang Dia haramkan.
Seruan pembuat syariat dapat dipahami melalui nas, atau dengan adanya indikasi (qarinah) yang menentukan makna nas. Tidak setiap perintah adalah wajib dan tidak setiap larangan adalah haram. Suatu perintah bisa berkonotasi mandub atau mubah. Begitu juga larangan bisa juga berkonotasi makruh. Misalnya, ketika Allah SWT berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (٢٩)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada Hari Kemudian, serta mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan rasul-Nya.” (Q.s. at-Taubah [09]: 29)
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad. Perintah tersebut hukumnya wajib, yang ketika ditinggalkan akan mendapat siksa Allah SWT. Tetapi, ketentuan perintah tersebut fardhu bukan hanya karena adanya sighatul amr (kalimat perintah) saja, melainkan karena adanya indikasi-indikasi lain, yang menunjukkan, bahwa perintah tersebut menuntut suatu perbuatan secara pasti. Indikasi (qarinah) yang dimaksud adalah nas-nas yang lain, seperti firmanAllah SWT:
إِلا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٣٩)
“(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih.” (Q.s. at-Taubah [09]: 39)
Demikian juga ketika Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
“Janganlah kamu mendekati zina.” (Q.s. al-Isra' [17]: 32)
Sesungguhnya Allah SWT melarang perbuatan zina. Larangan dalam ayat ini menunjukkan haramnya perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya. Walaupun demikian, status hukum haram tersebut bukan hanya karena adanya bentuk kalimat larangan saja, melainkan berdasarkan indikasi lainnya, yang menunjukkan bahwa larangan tersebut bersifat pasti. Indikasi ini berupa nas-nas lain, misalnya firman Allah dalam ayat yang sama:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
“Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang berakibat buruk.” (Q.s. al- Isra’ [17]: 32)
Begitu pula firman-Nya yang lain:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢)
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera.” (Q.s. an-Nur [24]: 2)
Contoh lain, ketika Rasulullah bersabda
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلاَةِ اْلفَضِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةًًًًًًًًًًً
“Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian bandingannya dua puluh tujuh derajat.” (Hadits)
Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan shalat berjamaah meskipun tuntutan tersebut tidak menggunakan bentuk perintah. Begitu pula ketika baginda bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ِزيَارَةِ القُبُوْرِ أَََلاَ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah." (Hadits)
Sesungguhnya baginda saw memerintahkan ziarah kubur. Namun demikian, perintah atau seruan dalam kedua hadits di atas hukumnya mandub (sunah), bukan fardhu (wajib). Hukum mandub tersebut ditetapkan berdasarkan indikasi yang lain, misalnya diamnya Rasulullah saw terhadap sekelompok orang yang shalat sendirian; atau diamnya baginda saw terhadap orang yang tidak melakukan ziarah kubur. Sikap baginda ini menunjukkan, bahwa seruan tersebut bukan merupakan tuntutan atau seruan yang tegas. Demikian pula tatkala baginda menyatakan:
مَنْ كَانَ مُوْسِرًا فَلَمْ يَنْكِحْ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang mampu (kaya), tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Hadits)
Tatkala kita membaca larangan Rasulullah saw tentang tabattul (membujang), yaitu tidak menikah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Samurah ra.
أََنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ التَّبَتُّل
“Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah perbuatan tabattul (membujang).” (Hadits)
Maka dapat kita simpulkan, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang seorang Muslim yang mampu untuk membujang (tidak menikah), sebagaimana tercantum dalam hadits yang pertama. Sedangkan pada hadits yang kedua, baginda saw melarang setiap orang untuk tidak menikah selamanya (sepanjang hayat).
Namun demikian, bukan berarti tidak bersuami/beristri bagi orang yang mampu itu haram hukumnya, dan tidak bersuami/istri selama-lamanya adalah haram. Tetapi larangan ini menunjukkan, bahwa perbuatan ini hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan indikasi yang lain. Misalnya, diamnya Rasulullah saw terhadap sebagian orang mampu/kaya tetapi belum menikah dan diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang tidak menikah. Satu contoh lain ketika Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
“Apabila selesai ditunaikan haji, maka boleh kamu berburu.” (Q.s. al-Maidah [05]: 2)
Dan firman-Nya pula:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” (Q.s. al-Jumu’ah [62]: 10)
Sesungguhnya dalam kedua ayat di atas, Allah SWT memerintahkan berburu setelah melepaskan pakaian ihram, dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum'at. Tetapi, perintah berburu seusai melepaskan pakaian ihram tersebut hukumnya tidak wajib atau mandub. Demikian pula perintah untuk bertebaran di muka bumi seusai shalat Jum'at, tidak berarti hukumnya wajib atau mandub. Keduanya hukumnya mubah. Hukum ini bisa dipahami dari indikasi lain, yaitu bahwa Allah SWT telah memerintahkan berburu setelah menanggalkan pakaian ihram, dimana perbuatan tersebut sebelumnya dilarang. Demikian pula, Allah telah memerintahkan agar bertebaran di muka bumi seusai shalat Jum'at, yaitu perbuatan yang dilarang Allah ketika masuk waktu shalat Jum'at. Qarinah (indikasi) ini menunjukkan, bahwa perkara tersebut hukumnya mubah. Artinya aktivitas berburu dan bertebaran di muka bumi pada kondisi demikian hukumnya mubah.
Karena itu, untuk mengetahui jenis hukum dari nas, sangat bergantung pada pemahaman secara syar’i terhadap nas tersebut dan hubungannya dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna seruan yang terdapat di dalam nas tersebut. Dari sini jelas, bahwa hukum syara’ itu beragam.
Setelah semua nas dan hukum-hukum syara’ tersebut diteliti, maka bisa disimpulkan bahwa hukum syara’ itu ada lima macam, yaitu:
1. Fardhu yang bermakna wajib;
2. Haram yang bermakna terlarang;
3. Mandub (sunnah);
4. Makruh
5. Mubah
Ini karena seruan pembuat syariat (Allah) bisa berupa tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan; atau memberikan pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan. Tuntutan tersebut ada yang bersifat tegas, dan ada pula yang tidak tegas. Jika tuntutan mengerjakan tersebut bersifat tegas, maka hukumnya mandub. Sedangkan jika tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tersebut bersifat tegas, maka hukumnya haram. Tetapi, bila tidak tegas, maka hukumnya makruh. Adapun tuntutan yang memberikan pilihan, antara mengerjakan atau meninggalkan perbuatan, maka hukumnya mubah. Dengan demikian, bahwa hukum syara’ itu hanya ada lima, yaitu fardhu (wajib), haram, mandub, makruh dan mubah. Tidak lebih dari itu.
(diadaptasi dari Buku Fikrul Islam, terbitan Al Azhar Press)