“Dlm hdp, aq bljar…
Bljar tuk mncintai
Bljar tuk mncintai
Tuk gembira,
Tuk menjadi dewasa
Tuk mngrti arti khidupan.
Tp q tak prnah blajar
Bljar tuk mlupakanmu “
“Karena wanita ingin dimengerti”
Untuk mengawali pembahasan ini, saya mengutip sebuah kisah, tapi kisah ini dialami oleh sepasang suami-isteri. Buat kamu yang belum punya isteri atau suami, nggak usah ngiler, tunggu aja tanggal mainnya. Dan nggak usah mencocok-cocokkan keadaanya dengan pacar kamu, karena pacaran itu dosa, sementara apa yang dilakukan suami-isteri malah berpahala. Penasaran ya?!
Begini ceritanya. Ada seorang suami harus lembur kerja dan belum bisa pulang hingga waktu makan malam tiba. Tiba-tiba, tuutt…tutt..tuut, nada dering sms di inbox hape sang suami berbunyi, dengan cekatan meraih hape diatas meja kantornya dan dibacanya, ternyata dari sang isteri tercinta, bunyinya cukup singkat “I lov u, dah mkn lum?”. Karena saking sibuknya, sang suami mengabaikan sms pertanyaan dari isterinya tersebut. Dan kejadian itu terjadi bukan hanya sekali di hari itu aja, tapi di lain waktu, lain hari, sang suami masih juga nggak ngeh dengan sms isterinya semacam itu. Padahal, andai saja, sang suami bisa memahami bahwa wanita ingin dimengerti. (dipenggal dari buku “Muslimah Semesta”)
Sahabat, sesungguhnya suami istri secara bersama-sama memiliki saham dalam keberhasilan dan kebahagiaan keluarganya. Sehingga sangat tergantung bagaimana awalnya kita membangun pondasi keluarga itu dan yang nggak kalah penting adalah merawat bangunan rumah tangga yang sudah terbentuk tersebut.
Di coretan singkat kali ini, kita fokus pada masalah “pemeliharaan”. Ya, meskipun hanya sekedar SMS, bagi sebagian orang tidaklah penting, tapi coba kita merenung sejenak kisah yang saya penggal diatas. Bagaimana kalau keadaan diatas (pengabaian sms) itu terjadi berulang-ulang? Pada pelajaran sebuah training yang saya dapatkan, bahwa menjawab sms itu hukumnya wajib (baca: harus), meskipun hanya dengan jawaban “Ya, Tidak, Ok, Baiklah, dan sebagainya”. Agar pengirim sms benar-benar yakin bahwa sms yang dikirim sampai ke yang dikirim.
Maaf ini bukan promo operator selular, tapi seberapa berat sih membalas sms dari suami-istri kita? Saya bisa katakana alasan “basi”, kalo ada yang beralasan “lagi nggak punya pulsa”. Sekarang pulsa sms murah banget, seharga krupuk, apalagi kalau sesama operator. Kalau pun kita pas lagi benar-benar bokek, maka sebagai manusia cerdas, kita harus cari akal agar sms itu terbalas.
Sahabat, dari yang saya pelajari selama ini (sebagian sudah saya praktikkan), ada 3 kata “magic” harusnya jadi kebiasaan suami-istri, karena memang kehidupan suami-istri adalah kehidupan persahabatan. Apa 3 kata itu? Kata “Maaf”, “Terimakasih”, “Tolong”. Seberapa sering kita mengatakan itu pada suami-istri kita? “Maaf istriku, aku malam ini pulang terlambat, karena masih ada rapat…..”, “Terimakasih, istriku hari ini kau telah menjaga anak2 ku…”, “Maaf Pah, Tolong ya, ntar klo pulang skalian mampir …. Trimakasih suamiku”. Coba indah banget kan? Bagaimana kalau kata-kata yang luar biasa dahsyatnya itu, berlalu begitu saja? Bagiamana kalo tidak pernah ada yang memulai untuk menyampaikannya, ataupun tidak pernah ada yang berusaha membalasnya?
Sahabat, apakah kita termasuk yang menyepelekan suatu hal yang kecil? Jika Ya, jawaban kita, maka mulai saat ini, hendaknya kita “taubat” menyepelekan hal kecil. Bukankah kalau itu sebuah dosa kecil yang selalu kita sepelekan, maka akan berkembang menjadi noktah, dari noktah menjadi gumpalan, setelah menjadi gumpalan, kita tidak pernah tahu lagi, mana dosa kecil itu. Demikian pula, kalo menyepelekan kebaikan kecil yang kita lakukan artinya kita tidak pernah berpikir untuk melakukan kebaikan meskipun itu kecil, maka kenapa kita (maaf) bertahan menjadi seorang muslim? Karena hakekatnya seorang muslim adalah pembuat kebaikan (ihsanul amalah) dan selalu menyampaikan kebaikan (dakwah ilal haq).
Nah, sahabat hari ini kita belajar dari sebuah SMS. Jika kita masih meremehkan kebaikan atau keburukan yang kecil, sebaiknya kita simak firman Allah SWT:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧)وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya…. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Al Zalzalah 7-8)
Sudah berapa tahun Anda menikah? Jika usia pernikahan anda baru seumur jagung, tapi Anda sudah bisa berbagi tugas dengan pasangan Anda, maka saya akan berguru pada Anda. Tapi jika usia pernikahan Anda, lebih dari umur jagung tapi Anda belum juga bisa berbagi tugas dengan pasangan Anda, maka mari bersama-sama saya, kita belajar menjadi pasangan yang bisa berbagi tugas, bukan berbagi peran.
Maaf, sebelum kita lanjutkan obrolan kita kali ini, Kita perlu sepakati dulu tentang tema “berbagi tugas bukan berbagi peran” kali ini. Ya, saya membedakan antara “tugas” dengan “peran”. Tugas yang dimaksud pada pembahasan disini adalah tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masing-masing dari kita, entah itu suami atau istri. Sementara yang dimaksud dengan peran itu lebih kepada peran kita sebagai suami dan ayah, atau istri dan ibu bagi rumah tangga kita. Sehingga, kalau untuk peran, sepertinya itu sudah built ini dari sononya, tidak bisa dibagi, diganti atau ditukar, sementara kalau untuk tugas kerumahtanggaan, Insyaallah masih bisa kita untuk berbagi dengan pasangan kita.
Oya, biar saya nggak salah niat, perlu saya sampaikan bahwa saya bikin note disini bukan (1) untuk mendapatkan tepukan tangan dari para perempuan atau ibu-ibu (naudzubillah min dzalik); (2) bukan mau menyudutkan kaum adam, yang mungkin selama ini belum bisa berbagi tugas dengan istrinya; (3) bukan pula untuk pamer, bahwa saya sudah melakukan, karena saya juga sedang dan masih terus belajar berbagi tugas. Semoga niat saya ini, tidak diapresiasi negative, dan saya hanya berharap agar Allah ridlo terhadap aktivitas saya menulis note ini. Amin.
Ok, kita mulai aja ya pembahasannya. Begini bapak-bapak sekalian yang dirohmati Allah, biar pembahasan kita nyaman, karena kita lagi ngobrol masalah pekerjaan di dalam rumah tangga kita, maka ada baiknya kita bahas secara urutan waktu. Kita mulai dari saat kita bangun tidur. Sebelumnya saya ingin bertanya kepada diri saya pribadi dan kepada bapak2 sekalian, “siapa yang bangun lebih awal sebelum subuh, bapak ataukah istri?”. Jika jawabannya bapak, maka selamat Anda telah menjadi Bintang di hati istri Anda. Jika jawabannya Istri, yang bangun lebih dulu, maka selesai membaca tulisan ini, silahkan Anda diskusikan dengan istri Anda. Maksud saya membahas bagian ini, coba sekali kali anda pura-pura masih tidur meskipun anda sudah bangun lebih dulu dari istri Anda. Sambil tiduran, coba intip atau lirik apa yang dilakukan istri kita. Mungkin dia lagi memasak untuk persiapan sarapan pagi, karena anak-anak hari ini harus berangkat sekolah. Atau istri hanya sekedar membuatkan teh cinta untuk Anda. Subhanallah, itulah istri kita. Buat para istri yang kebetulan membaca tulisan ini, jangan bangga ya, itu hal biasa khan?
Buat bapak2, saya usul bagaimana kalau sekali-sekali (sering juga lebih bagus), anda bangun lebih dulu dan menggantikan membuat kopi atau teh untuk istri, dan mungkin susu untuk anak-anak, jika memang Anda tidak bisa memasak. Tentu saja, niatnya ibadah kepada Allah SWT.
Untuk tugas selanjutnya, siapa yang biasanya mencuci baju? Istri juga? Hemmm… kalau Anda termasuk seorang pekerja, maka tiap hari mungkin anda tidak melihat Istri Anda mencuci dan Anda mungkin tidak bisa membantu mencuci. Tapi coba sekali-kali, lihat dan pegang tangan istri kita. Bagaimana? Apa kita pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saat “mencium” tangan Saad bin Muadz, ketika Beliau Saw mengetahui tangan sahabatnya itu kasar karena dipakai untuk bekerja mencari nafkah buat keluarganya? Sudah pernah belum? Jika belum, maka tidak ada salahnya jika di hari minggu di saat Anda tidak bekerja, Anda luangkan waktu untuk menggantikan tugas mencuci tersebut. Atau jika Anda termasuk yang bisa menggaji pembantu, maka cobalah menggaji pembantu untuk tugas itu. Tapi itu tidak lebih baik, atau tidak kerasa feel-nya kalau anda kerjakan sendiri tugas mencuci itu. Kalau Anda termasuk orang yang super sibuk, coba untuk diskusi dengan istri tentang berbagi jadwal mencuci. Jika Anda memang tidak bisa sama sekali, maka sudah selayaknya Anda membelikan mesin cuci untuk istri Anda, atau saat Anda kebagian jadwal mencuci, anda bisa mengantar cuciannya ke tempat laundry.
Berikutnya, siapa yang menyeterika baju Anda? Pembantu atau Istri? Jika tugas ini dikerjakan pembantu, maka sebaiknya Anda lah yang menggaji pembantu tersebut, jangan biarkan istri mempergunakan uannya untuk menggaji pembantu tersebut. Sebab uang yang dihasilkan oleh istri kita bukan hak kita, atau bahasa ekstrimnya, tidak ada hak bagi kita untuk menikmati uang tersebut. Ok, jika tugas menyetrika itu ternyata yang melakukan istri, maka cobalah Anda hitung berapa lembar pakaian yang dia setrika tiap hari? Apalagi kalau Anda termasuk keluarga non-KB, pasti jumlah baju yang disetrika lebih banyak lagi. Kita tahu-nya baju-baju itu sudah rapi di dalam lemari dan siap pakai. Nah, cobalah untuk sedikit berpanas-panas dengan strika, minimal seminggu sekali menggantikan tugas itu. Sanggup? Semoga….
Anak-anak sudah waktunya Mandi untuk pergi sekolah, apa yang Anda lakukan? Bodo, mandi-mandi sendiri sono, lagian biar mandiri. Mandi sendiri aja. Begitu kira-kira yang ada di pikiran Anda? Wah, sudah berapa derajat tingkat rasa cuek kita, sampai rela berpikir begitu? Sebenarnya, sementara Istri menyiapkan sarapan pagi, tidak salah-salah amat kalau Anda mencoba sesekali memandikan anak-anak. Itu mungkin jika anak-anak kita seumuran TK atau SD. Tapi kalau anak kita sudah seumuran SMP-SMA, kita belum pernah memandikan mereka, jangan menyesal jika suatu saat Anda memandikan mereka terakhir kalinya. Nauzubillah..
Waktunya pulang sekolah, berarti salah satunya adalah waktu makan. Tidak usah ditanya, yang biasa menyuapi makan, anak-anak kita adalah istri kita. Betul begitu? Jika ya, apa Anda tidak terbesit ingin menyuapi anak-anak? Bagus, jika Anda sudah terbesit, tapi akan lebih baik lagi, jika Anda segera melakukannya. Bukan apa-apa, sebab dengan menyuapi anak, Anda akan tahu apa artinya “sabar”. Tidak percaya? Silahkan dicoba. Jika anda termasuk pekerja kantoran yang tiap hari berangkat pagi pulang sore, sehingga tidak sempat ada waktu untuk melakukan tugas menyuapi anak. Maka luangkan waktu libur Anda untuk rekreasi, disitulah Anda bisa menyalurkan keinginan Anda untuk menyuapi anak.
Waktu sudah malam, menunjukkan jam tidur. Anak-anak kita akan berangkat tidur, untuk menyiapkan hari esoknya seperti yang kemarin-kemarin. Monggo Bapak, tanpa saya singgung jika Bapak ingin memanfaatkan kesempatan terakhir hari ini untuk menidurkan anak. Sesekali kita menyanyikan nina bobok, jika memang kita tidak bisa tiap hari menyanyikannya. Sudah pernah mencoba? Anda coba saja, pasti nanti kalau tidak Anda atau anak Anda yang akan tertidur lebih dulu. J
Sebenarnya mungkin masih banyak pernik-pernik tugas yang kita bisa bagi, seperti misalnya, memakaikan baju anak kita, mengambilkan makan atau minum untuk istri kita, bahkan mungkin memijat istri karena mungkin dia lelah seharian melakukan pekerjaan rumah, dan sebagainya. Intinya, sebagai suami, jangan habiskan waktu kita untuk mencukupi kesenangan kita, ingatlah bahwa pekerjaan atau tugas di rumah masih ada yang bisa dibagi dengan Anda. Selamat berbagi.
Bukan Lagi Berbagi, Tapi Sudah Bertukar
Tapi jangan karena alasan wanita ingin dimengerti saat berbagi, malah kata sebagian aktivis perempuan, wanita karir, yang katanya pembela hak wanita, mengusung ide feminism atau emansipasi. Kalau yang ini bukan lagi berbagi tugas, tapi ini lebih parah, mereka seakan ingin bertukar peran dan posisi perempuan dan laki-laki.
Sedikit cerita, di Austria kesalahpahaman mengenai arti kata “Feminisme”, membuat bocah 14 tahun mau bertukar pasangan 3 kali dalam sehari. Ketika ditanya alasannya, kemudian ia menerangkan “Boys can do it, then why we can`t…saya merasa bangga bisa menaklukan 3 orang cowok dalam sehari. Dan diantara mereka tidak perlu ada yang tahu satu dengan lainnya. Itu kan yang biasa dilakukan pria, seenaknya berganti-ganti pasangan, kemudian menyakiti para gadis”.
Di belahan negara lainnya, seorang wanita menuntut persamaan toilet, karena wanita diyakini juga dapat (maaf) kencing berdiri seperti halnya pria. Saya juga pernah mendengar adanya gerakan “Feminisme bertelanjang dada” dan “gerakan pembakaran BH”.
Di Indonesia sendiri? Virginitas bagi wanita Indonesia (tidak semuanya), sekarang bukanlah suatu hal yang patut dipertahankan lagi. Pernah ada pertanyaan yang diajukan pada seorang teman -wanita juga- , apa yang menyebabkan wanita tak perlu lagi mempertahankan ke-virgin-annya, ia menjawab “Kalau pria saja bisa mengobral ke-virgin-annya (keperjakaan), mengapa kita harus menjaganya? Saat kita mulai menjalani hubungan itu (pacaran), kita tidak pernah tahu apakah dia masih (perjaka) atau tidak. Apalagi bukan suatu hal yang aneh lagi jika di zaman sekarang ini banyak perempuan muda yang tidak virgin lagi”.
Padahal sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Islam telah menempat posisi laki-perempuan dan atau suami-isteri, sesuai dengan porsinya, yang ini nggak bisa digeser atau ditukar. Seperti kewajiban mencari nafkah telah dibebankan oleh Allah atas laki-laki, tidak atas wanita (QS al-Baqarah [2]: 233; QS at-Thalaq: 6). Sebaliknya, perintah untuk mendidik anak ditujukan kepada ayah dan ibu (QS at-Tahrim: 6). Karena Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga (QS an-Nisa’ [4]: 34) maka terbentuklah pembagian peran sosial antara laki-laki dan wanita. Wanita lebih mengutamakan tugasnya di rumah tangga, sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah. Laki-laki menjadi pemimpin yang dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah akan nasib orang yang dipimpinnya, sedangkan wanita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah mengenai ketaatannya kepada laki-laki (suami) yang menjadi pemimpinnya.
Sementara itu, di sektor publik, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, terutama dalam urusan dakwah dan amar makruf nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 104 dan 110; QS at-Taubah [9]: 71). Tidak menjadi masalah pada saat wanita tidak ikut memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan dirinya, karena kebutuhan-kebutuhan hidupnya memang terpenuhi dengan baik. Kalaupun kebutuhannya tidak dipenuhi oleh suami atau walinya, ia akan mengingatkan pemimpinnya itu agar takut kepada Allah karena hak-haknya tidak dipenuhi.
Begitulah seharusnya. Jadi maksud dari tulisan ini bukan mengajak Anda bertukar posisi, tapi hanya sekedar berbagi tugas. Sebagai suami kita hanya sedikit melegakan hati, meluangkan waktu untuk berbagi tugas dengan pasangan kita. Sementara bagi istri, tidak lantas latah, ikut-ikutan meneriakkan feminisme, yang sebenarnya racun bagi rumah tangga kita.
Wallahu’alam bishowab. (Abu Tahrera)