Mati dalam #SakinahCinta (2#) ~Sebuah MotiNafsi Pencolek Faceboker ~
[buat yang belum baca chapter 1#, sila liat di dinding saya]
Sahabatku, hari ini, kali ini kita masih lanjutkan langkah hidup kita
Tapi coba sejenak saja… bersama saya berhenti rasakan langkah kita
…awali dengan kalimat istighfar “Astagfirullah al’adzim…..”
….Sudah berhenti? …Mari sekarang kita coba lihat telapak kaki kita…
Apa
[buat yang belum baca chapter 1#, sila liat di dinding saya]
Sahabatku, hari ini, kali ini kita masih lanjutkan langkah hidup kita
Tapi coba sejenak saja… bersama saya berhenti rasakan langkah kita
…awali dengan kalimat istighfar “Astagfirullah al’adzim…..”
….Sudah berhenti? …Mari sekarang kita coba lihat telapak kaki kita…
Apa
yang kita saksikan di telapak kaki kita?
Ohw, sahabatku langkah kita ini, sadar atau tidak, meninggalkan jejak.
Entah sudah berapa langkah kita jejakkan di alam ini
Pun berapa pula jejak yang meninggalkan bekas
Sadarkah, ketika kita telah mati, orang lain bisa menyaksikan jejak kita
Sementara kita? Kita hanya bisa menikmati bekas jejak kita…
Jika kita pernah menjejakkan kebaikan, maka kita dikenang dan dicinta
Jika kita pernah menjejakkan keburukan, entah apalah jadinya kita?
Sahabatku, jejak apa yang telah kita tinggalkan di jejaring sosial facebook?
Hari ini, kita telah pasang status apa di facebook kita?
Jika dulu, status kita “aduhhh, kepalaku sakit…”
Jika kemarin, status kita “biyung, dagangangku koq nggak laku…”
Jika sebelumnya, status kita “hiiihh, takut ada ular di kamar…”
…. Setelah ini baiknya pikirkan lagi untuk buat status serupa
Karena statusmu adalah jejakmu…
Bukankah kita masih ingat kematian?
Dia bisa datang tanpa permisi dan tanpa diundang
Jika kematian datang, saat kita buat status demikian?
Jika kita memang sakit, minta tolonglah kepada sahabat terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita dalam kesulitan, mintalah tolong pada orang terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita lagi galau, futur, mintalah pada Rabb untuk menyudahinya
Karena facebookmu adalah pertanggungjawabanmu
Sahabatku, status kita adalah ‘harimau’ kita
Dia ada dan dilihat oleh saudara dan teman kita
Jika dia jinak, mungkin tidak akan menerkam
Tapi ‘harimau’ akan selalu menyalak ketika melihat ‘mangsa’
Jika kita bisa berbagi kebaikan, kenapa kita harus berbagi ‘ketidakbaikkan’?
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ watauwa shou bilhaq watuwa shou bishobbri (QS. Al ´Ashr: 1-3)
…. Itu kan kaedahnya?
Sahabatku, hidup di sini hanya sekali, esok kita, mati
Tak inginkah kita mati mulia dan berarti?
Jika akun ini telah kita buat, maka buatlah berarti
Kabarkanlah, saudara kita di luar sana yang meronta pinta pertolongan kita
Sebarkanlah, aroma harum kemakrufan dari status yang penuh kesakinahan
Publikasikan, gambar dan foto kebaikan yang mengundang keberkahan
Dakwahkanlah, Islam yang mencerahkan dan menyudahkan problem umat
Disitulah nanti jejak kita terekam, bukan oleh manusia, tapi oleh Rabb kita
Jikalau oleh manusia, adalah mereka yang hatinya selalu terpaut dengan Rabb kita
Sekali lagi sahabatku, jika kita telah mati, facebook kita masih hidup
Apa yang terjadi dengannya? Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan karenanya?
Maaf sahabatku, mari bersama saya meminta maaf ke diri kita masing-masing
Atas alpa yang telah kita buat, atas dosa yang telah kita lakukan
Laporkan semua itu kepada Rabb kita dipertiga malam, bukan kepada facebook.
Itu, jika kita ingin mati dalam kesakinahan (ketenangan)
Dan ingin dikenang dan dicinta oleh mereka yang cinta Rabbnya…
[perhatian: note ini, hanya bisa dibaca oleh yang terbuka mata dan hatinya.
Salam #SakinahCinta @LukyRouf on twitter]
Ohw, sahabatku langkah kita ini, sadar atau tidak, meninggalkan jejak.
Entah sudah berapa langkah kita jejakkan di alam ini
Pun berapa pula jejak yang meninggalkan bekas
Sadarkah, ketika kita telah mati, orang lain bisa menyaksikan jejak kita
Sementara kita? Kita hanya bisa menikmati bekas jejak kita…
Jika kita pernah menjejakkan kebaikan, maka kita dikenang dan dicinta
Jika kita pernah menjejakkan keburukan, entah apalah jadinya kita?
Sahabatku, jejak apa yang telah kita tinggalkan di jejaring sosial facebook?
Hari ini, kita telah pasang status apa di facebook kita?
Jika dulu, status kita “aduhhh, kepalaku sakit…”
Jika kemarin, status kita “biyung, dagangangku koq nggak laku…”
Jika sebelumnya, status kita “hiiihh, takut ada ular di kamar…”
…. Setelah ini baiknya pikirkan lagi untuk buat status serupa
Karena statusmu adalah jejakmu…
Bukankah kita masih ingat kematian?
Dia bisa datang tanpa permisi dan tanpa diundang
Jika kematian datang, saat kita buat status demikian?
Jika kita memang sakit, minta tolonglah kepada sahabat terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita dalam kesulitan, mintalah tolong pada orang terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita lagi galau, futur, mintalah pada Rabb untuk menyudahinya
Karena facebookmu adalah pertanggungjawabanmu
Sahabatku, status kita adalah ‘harimau’ kita
Dia ada dan dilihat oleh saudara dan teman kita
Jika dia jinak, mungkin tidak akan menerkam
Tapi ‘harimau’ akan selalu menyalak ketika melihat ‘mangsa’
Jika kita bisa berbagi kebaikan, kenapa kita harus berbagi ‘ketidakbaikkan’?
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ watauwa shou bilhaq watuwa shou bishobbri (QS. Al ´Ashr: 1-3)
…. Itu kan kaedahnya?
Sahabatku, hidup di sini hanya sekali, esok kita, mati
Tak inginkah kita mati mulia dan berarti?
Jika akun ini telah kita buat, maka buatlah berarti
Kabarkanlah, saudara kita di luar sana yang meronta pinta pertolongan kita
Sebarkanlah, aroma harum kemakrufan dari status yang penuh kesakinahan
Publikasikan, gambar dan foto kebaikan yang mengundang keberkahan
Dakwahkanlah, Islam yang mencerahkan dan menyudahkan problem umat
Disitulah nanti jejak kita terekam, bukan oleh manusia, tapi oleh Rabb kita
Jikalau oleh manusia, adalah mereka yang hatinya selalu terpaut dengan Rabb kita
Sekali lagi sahabatku, jika kita telah mati, facebook kita masih hidup
Apa yang terjadi dengannya? Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan karenanya?
Maaf sahabatku, mari bersama saya meminta maaf ke diri kita masing-masing
Atas alpa yang telah kita buat, atas dosa yang telah kita lakukan
Laporkan semua itu kepada Rabb kita dipertiga malam, bukan kepada facebook.
Itu, jika kita ingin mati dalam kesakinahan (ketenangan)
Dan ingin dikenang dan dicinta oleh mereka yang cinta Rabbnya…
[perhatian: note ini, hanya bisa dibaca oleh yang terbuka mata dan hatinya.
Salam #SakinahCinta @LukyRouf on twitter]
Mati dalam #SakinahCinta, ~Sebuah MotiNafsi Pengunggah Dakwah~
Sahabatku yang dilembutkan hatinya,
Hari ini, kali ini, sebelum kita lanjut perjalanan hidup ini
Mari sejenak bersama aku, mencoba mengetuk pintu hati kita masing-masing
….Sudah di depan pintu hati kita? ….Sudah siap mengetuknya?
Baik, kita ucap salam “Assalamualaikum, duhai hati, apakah kau berada di dalam?”
Sekali lagi …“Duhai hati
Sahabatku yang dilembutkan hatinya,
Hari ini, kali ini, sebelum kita lanjut perjalanan hidup ini
Mari sejenak bersama aku, mencoba mengetuk pintu hati kita masing-masing
….Sudah di depan pintu hati kita? ….Sudah siap mengetuknya?
Baik, kita ucap salam “Assalamualaikum, duhai hati, apakah kau berada di dalam?”
Sekali lagi …“Duhai hati
, apakah dirimu masih bersemayam di dalam sana?”
Dan kita coba dengar suara lirih hati kita.
Dan jika hati kita lembut, pasti bisa menyimak lirih suara hati kita.
Sahabatku, hasil obrolan dengan hati tentang mati
Bahwa didapati tak satupun hati yang ingin mati kecuali dalam keadaan berarti
Suara hati milik dari seorang muslim, ingin mati dalam keadaan mulia.
Tak satupun ingin mati dalam keadaan hina
Sahabatku, kali ini kita belajar bersama tentang kematian dalam kesakinahan cinta
Seperti apa keadaannya? Mari kita simak bersama-sama….
Hidup ini tak selamanya lurus, pun tak selamanya datar
Dia berkelok, menanjak, kadang turun
Bertemu angin, disapa badai…
Namun bukan berapa kali dihantam badai yang buat kita kokoh
Kokoh atau goyah adalah masalah pilihan hidup kita (QS. Ar-Ra’du 11)
Bukan seberapa banyak dihantam badai yang buat kita mulia
Kemuliaan seorang manusia, hanya ditentukan ketakwaannya (QS. Al Hujurat 13)
Hidup di dunia yang sekali inilah, harus kita buat berarti
Sekali yang berarti, karena setelah ini, mati..
Tanda hidup adalah bergerak, maka bergeraklah berarti, karena setelah ini, mati
Memahami hidup berarti adalah berbagi
Karena hidup tak sekedar tentang AKU, atau KAMU, tapi tentang KITA
Sahabatku, jika ingin hidup berarti maka buatlah tanda di alam semesta
Alam ini masih cukup luas untuk menampung tanda kita
Alam pernah menampung tanda orang-orang mulia sebelum kita
Lihatlah MUSH’AB BIN UMAIR, menandai alam menjadi pembuka pintu dakwah Madinah
HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB, menandai alam menjadi pemimpin para syuhada
BILAL BIN RABAH, menandai alam menjadi mu’adzin pertama umat Islam
USAMAH BIN ZAID, menandai alam menjadi panglima perang termuda
SAYFUDDIN QUTUS, menandai alam menjadi ‘pengutuk’ pasukan mongol
THARIQ BIN ZIAD, menandai alam menjadi pemberani penginjak Spanyol
SHALAHUDIN AL AYYUBI, menandai alam menjadi pelibas pasukan salib
MUHAMMAD AL FATIH, menandai alam menjadi penakluk Konstantinopel
dan tak lupa MUHAMMAD RASULULLAH SAW, sebagai nabi dicintai dan dirahmati alam semesta
Mereka yang telah menyematkan tanda di alam semesta, akan dikenang dan dicinta
Walau jazad telah ditelan bumi, namun tanda mereka selalu di hati
Mereka mati bukan karena AKU, atau KAMU, tapi karena KITA
Mereka mati dalam kesakinahan, ketenangan
Ketenangan, karena telah menyematkan tanda di alam semesta
Demi memenuhi amanat sebagai hamba, sebagai ‘khalifah’, sebagai pendakwah
Itulah mati dalam keadaan berarti dan mulia
Mati yang telah meninggalkan tanda cinta di alam semesta
Apakah kita tak rindu, mati seperti mereka?
Lalu tanda apa yang telah kita siapkan untuk mati dalam SakinahCinta?
[@LukyRouf on twitter, sakinah itu urusannya gak sekedar keluarga]
Dan kita coba dengar suara lirih hati kita.
Dan jika hati kita lembut, pasti bisa menyimak lirih suara hati kita.
Sahabatku, hasil obrolan dengan hati tentang mati
Bahwa didapati tak satupun hati yang ingin mati kecuali dalam keadaan berarti
Suara hati milik dari seorang muslim, ingin mati dalam keadaan mulia.
Tak satupun ingin mati dalam keadaan hina
Sahabatku, kali ini kita belajar bersama tentang kematian dalam kesakinahan cinta
Seperti apa keadaannya? Mari kita simak bersama-sama….
Hidup ini tak selamanya lurus, pun tak selamanya datar
Dia berkelok, menanjak, kadang turun
Bertemu angin, disapa badai…
Namun bukan berapa kali dihantam badai yang buat kita kokoh
Kokoh atau goyah adalah masalah pilihan hidup kita (QS. Ar-Ra’du 11)
Bukan seberapa banyak dihantam badai yang buat kita mulia
Kemuliaan seorang manusia, hanya ditentukan ketakwaannya (QS. Al Hujurat 13)
Hidup di dunia yang sekali inilah, harus kita buat berarti
Sekali yang berarti, karena setelah ini, mati..
Tanda hidup adalah bergerak, maka bergeraklah berarti, karena setelah ini, mati
Memahami hidup berarti adalah berbagi
Karena hidup tak sekedar tentang AKU, atau KAMU, tapi tentang KITA
Sahabatku, jika ingin hidup berarti maka buatlah tanda di alam semesta
Alam ini masih cukup luas untuk menampung tanda kita
Alam pernah menampung tanda orang-orang mulia sebelum kita
Lihatlah MUSH’AB BIN UMAIR, menandai alam menjadi pembuka pintu dakwah Madinah
HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB, menandai alam menjadi pemimpin para syuhada
BILAL BIN RABAH, menandai alam menjadi mu’adzin pertama umat Islam
USAMAH BIN ZAID, menandai alam menjadi panglima perang termuda
SAYFUDDIN QUTUS, menandai alam menjadi ‘pengutuk’ pasukan mongol
THARIQ BIN ZIAD, menandai alam menjadi pemberani penginjak Spanyol
SHALAHUDIN AL AYYUBI, menandai alam menjadi pelibas pasukan salib
MUHAMMAD AL FATIH, menandai alam menjadi penakluk Konstantinopel
dan tak lupa MUHAMMAD RASULULLAH SAW, sebagai nabi dicintai dan dirahmati alam semesta
Mereka yang telah menyematkan tanda di alam semesta, akan dikenang dan dicinta
Walau jazad telah ditelan bumi, namun tanda mereka selalu di hati
Mereka mati bukan karena AKU, atau KAMU, tapi karena KITA
Mereka mati dalam kesakinahan, ketenangan
Ketenangan, karena telah menyematkan tanda di alam semesta
Demi memenuhi amanat sebagai hamba, sebagai ‘khalifah’, sebagai pendakwah
Itulah mati dalam keadaan berarti dan mulia
Mati yang telah meninggalkan tanda cinta di alam semesta
Apakah kita tak rindu, mati seperti mereka?
Lalu tanda apa yang telah kita siapkan untuk mati dalam SakinahCinta?
[@LukyRouf on twitter, sakinah itu urusannya gak sekedar keluarga]
Sebagian orang mungkin akan berkata, "Saya belum lama ber-iltizâm (berkomitmen) dengan Islam. Saya khawatir tidak bisa tegar saat menghadapi banyak cobaan atau saya tidak bisa sabar karenanya."
Kepada orang seperti itu, saya ingin menyitir sebuah sabda Rasulullah saw.:
»وَمَنْ يَتَصَبَّرُ يُصَبِّرُهُ اللهُ «
Siapa saja yang meminta kesabaran (kepada Allah), Allah akan membuatnya sabar (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ahmad, Malik, ad-Darimi dan al-Baihaqi).
Rasulullah saw, juga pernah bersabda:
»وَمَنْ يَتَحَرُّ اْلخَيْرَ يُعْطِهِ، وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرُ يُوَقِّه ِ«
Siapa saja yang menginginkan kebaikan, Allah akan memberinya kebaikan. Siapa saja yang menjauhi keburukan,Allah akan melindunginya.
Siapa saja yang berusaha menyiapkan aspek-aspek kesabaran di jalan Allah. maka Allah pasti akan memberinya kesabaran. Siapa saja yang menyiapkan apek-aspek kehinaan, kerendahan dan keterpurukan, maka pasti dia tertipa kehinaan. Allah SWT berfirman:
Allah tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS an-Nahl [16]: 33).
Karena itulah, Saudaraku aktivis Islam, Anda harus senantiasa meningkatkan kesabaran. Caranya adalah dengan menyiapkan jiwa Anda untuk bersabar, niscaya setelah itu Anda akan mendapati jiwa Anda bersabar, bahkan menjadi jiwa yang ridha kepada-Nya, insya Allah. Salah seorang generasi salaf pernah berkata, "Saya membawa jiwaku kepada Allah dalam keadaan menangis. Saya terus-menerus membawanya kepada-Nya hingga akhirnya ia pulang kepadaku dalam keadaan tertawa."
Jika kelelahan Anda memuncak, cobaaan demi cobaan atas diri Anda semakin meningkat, musibah demi musibah datang menimpa Anda silih berganti, sementara hawa nafsu anda yang selalu cenderung memerintahkan keburukan itu memprovokasi Anda untuk lebih 'memilih' dunia—padahal umur dunia hanyalah sesaat—atau jiwa Anda membangkang kepada anda, maka Anda harus mengendalikan jiwa Anda itu hingga gampang diatur, tunduk kepada kepemimpinan Anda dan merespon seruan Allah SWT dengan penuh keridhaan, setelah sebelumnya merasa enggan.
Jika Anda menghendaki demikian, katakan kepada jiwa Anda:
Jiwaku, engkau sudah menghabiskan sebagian besar langkah dan sudah sedemikian jauh menempuh perjalanan menuju Allah. Karena itu, perjalanan tidak akan lama lagi berakhir dan yang tersisa tinggallah kemudahan. Jadi, bersabarlah engkau!
Jiwaku, janganlah engkau sia-siakan amal-amal shalihmu selama ini, begadangnya engkau sepanjang malam dan selama berhari-hari, rasa lelahmu selama bertahun-tahun; janganlah engkau sia-saikan hanya dalam tempo sesaat. Bersabarlah karena sesungguhnya sabar itu sebentar. Karena itu, bersabarlah. Sebab, cobaan itu laksana tamu. Biasanya tamu tidak akan berlama-lama berada di rumah yang di kunjunginya. Betapa indah pujian dan sanjungannya kepada tuan rumah yang dermawan. Wahai kaki yang bersabar, teruslah beramal. Tidak lama lagi pekerjaan akan selesai.
Anda mesti bersikap terhadap diri Anda, seperti yang di kerjakan Bisyr al-Hafi terhadap murid-muridnya yang ikut bepergian bersamanya pada suatu waktu. Di tengah jalan salah seorang muridnya kehausan, lalu berkata kepada Bisyr al-Hafi, "Bolehkah saya minum air sumur ini?" Bisyr al-Hafi berkata, "Sabarlah sampai ketemu sumur lain." Ketika Bisyr al-Hafi dan rombongannya tiba di sumur lainnya, Bisyr al-Hafi berkata, "Sabarlah sampai ketemu sumur lain." Setiap kali tiba di salah satu sumur, Bisyr al-Hafi berkata, " Sabarlah sampai ketemu sumur lain." Lalu Bisyr al-Hafi berkata kepada muridnya yang kehausan itu, "Beginilah cara melintasi dunia." (Ibn al-Jauzi, Shayd al-Khâthir, hlm. 107).
Anda harus berkata kepada diri Anda, "Sungguh fajar pahala telah merekah dan malam cobaan telah berlalu. Pengembara di sanjung, karena telah melewati kegelapan malam. Ketika matahari pahala terbit, ia tiba di tempat aman." Demikian sebagaimana dituturkan oleh Ibnu al-Jauzi rahimahullah (Ibn al-Jauzi, ibid., 87).
Saya sangat tertarik dengan kata-kata agung yang sering diucapkan Imam Ahmad rahimahullâh, "Ini bukanlah sembarang makanan dan minuman. Ini hanyalah hari-hari yang sebentar." Kalimat pendek ini perlu sekali untuk sering-sering direnungkan dan dipikirkan secara mendalam.
Anda juga mesti berkata kepada diri Anda, "Tidakkah engkau melihat banyak penduduk bumi ditimpa berbagai musibah dan bencana yang lebih banyak dan lebih sering daripada musibah dan bencana yang menimpamu, tetapi mereka tidak diberi pahala dan dikaruniai kesabaran oleh Allah? Biasanya mereka bersedih, kalut, sesak dada bahkan menjadi gila gara-gara ditimpa musibah itu. Apakah engkau tidak pernah mendengar sekali saja informasi tentang sebuah mobil yang ditumpangi oleh sebuah keluarga tenggelam di sungai dan mereka semuanya meninggal dunia seketika? Apakah musibah yang engkau alami sebanding dengan musibah yang menimpa mereka?"
"Barangkali musibah terberat yang bakal engkau alami ialah dibunuh oleh musuh-musuhmu. Itu sebetulnya bukan musibah, tetapi sebuah kehormatan, bahkan merupakan kehidupan yang paling indah. Engkau juga tidak merasakan penderitan dan sakit karena musibah itu. Musibah itu hanya berupa satu atau beberapa timah panas yang mengoyak tubuhmu dan engkau tidak merasakan apa-apa selain seperti disentuh timah, sebagaimana pernah dsabdakan Rasulullah saw." (Lihat: HR at-Tirmidzi[hadis no. 1668], an-Nasa'i [VI/36], Ibn Majah (hadis no. 2802] dan Ahmad [II/297])
Anda juga harus berkata kepada diri Anda, "Apa sih yang bisa dilakukan musuh terhadapmu? Paling banter mereka hanya memenjarakanmu sebulan atau dua bulan, setahun atau beberapa tahun, atau mungkin seumur hidupmu. Engkau justru beruntung karena dengan itu engkau berarti menghabiskan umurmu di jalan Allah SWT. Engkau justru mulia karena dengan itu engkau berarti mengikuti jalan hidup Nabi Yusuf as. yang juga pernah menghabiskan setengah usianya dengan mendekam di penjara."
Anda pun mesti berkata kepada jiwa Anda yang selalu cenderung memerintahkan keburukan, "Wahai jiwaku, tidakkah engkau melihat ribuan manusia dijebloskan ke penjara karena mereka bermaksiat kepada Allah SWT? Karena itu, engkau harus bangga karena engkau diuji justru karena ketaatanmu kepada Allah 'Azza wa Jalla. Lihatlah olehmu, lihat si fulan dihukum mati gara-gara melampiaskan syahwat hinanya, yaitu memperkosa seorang wanita; si fulan yang lain dihukum penjara seumur hidup karena akrab dengan setan dan narkoba; dan si fulan yang lainnya lagi, yang banyak sekali tak terhitung, dihukum dengan berbagai macam hukuman karena sebab yang bermacam-macam."
Pikirkanlah oleh Anda ribuan manusia penduduk bumi, bahkan orang-orang kafir, yang lumpuh atau buta! Mereka mengalami cobaan yang lebih berat dan lebih menyakitkan ratusan kali daripada cobaan yang Anda alami. Padahal boleh jadi cobaan yang Anda derita selama beberapa bulan atau beberapa tahun itu menjadikan diri Anda memperoleh kedudukan tinggi dalam agama, menjadikan Anda lebih mengenal Allah SWT dan perintah-Nya, serta mengantarkan diri Anda untukcapai kedudukan para ahli ibadah, orang-orang zuhud dan mereka yang selalu berlaku khusyuk. Bukankah banyak aktivis Islam, yang justru sanggup mengerjakan shalat malam saat berada dalam situasi yang amat sulit? Bukankah banyak aktivis Islam yang sebelumnya tidak memahami al-Quran berikut tujuan dan hikmahnya yang mencengangkan kecuali setelah ia berada dalam situasi yang genting? Bahkan ia juga mampu menghapalnya dan mempelajari tafsirnya.
Lebih dari itu, tidak jarang justru di penjaralah ia bisa meraih banyak ilmu yang tidak selama ini mungkin dapat dipelajari dari buku atau lembaran-lembaran saat ia berada di luar penjara; ia juga mungkin bisa mendapatkan makna-makna yang tidak ia ketahui dan ia rasakan manisnya sebelumnya—kendati ia membaca, mempelajari dan menghapalnya—kecuali saat ia ada dalam penjara. Di sanalah ia bisa memahami makna-makna seperti tawakal, tobat, takut kepada Allah SWT, kehinaan dan keridhaan. Semoga Allah merahmati Syaikh Islam Ibnu Taimiyah yang pernah berkata, "Surga dan tamanku ada di hatiku. Ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku, tidak pernah berpisah denganku. Sesungguhnya pemenjaraan diriku adalah saat terbaik bagiku untuk berkhalwat, kematianku adalah mati syahid dan pengusiran diriku adalah rekreasi." Ibn al-Qayyim, Al-Wâbil ash-Shayb, hlm. 105)
Saudaraku aktivis Islam, hendaknya Anda berkata sebagaimana yang dikatakan Ibnu al-Jauzi rahimahullâh saat ia berdialog dengan Tuhannya:
Ya Allah, betapa beruntungnya aku dengan apa yang telah Engkau diambil dariku jika hasilnya ialah aku dapat berlindung kepada-Mu; betapa melimpahnya perolehanku jika buahnya ialah aku bisa berkhalwat dengan-Mu; betapa kayanya aku jika Engkau membuatku butuh kepada-Mu; betapa damainya aku jika Engkau menjadikan diriku tidak butuh kepada makhluk. Ah, betapa aku menyesali waktu yang hilang tanpa disii dengan pengabdian dan ketaatan kepada-Mu.
Ya Allah, dulu jika aku bangun waktu subuh, tidurku semalam suntuk tidak menyakitkanku. Jika waktu siang habis, aku tidak merasa sakit atas hilangnya siang itu. Aku tahu, semua itu terjadi pada diriku disebabkan karena beratnya penyakit. Namun sekarang, ketika angin kesembuhan telah bertiup, aku merasakan sakit dan mendambakan kesehatan. Ini sungguh merupakan nikmat yang agung. Sempurnakanlah, ya Allah, kesembuhan untukku." (Ibn al-Jauzi, Shayd al-Khâthir, hlm. 93). [] (dikutip dari buku Pesan-Pesang Menggugah, Arif B Iskandar, Al Azhar Press)
Untuk menghadapi kematian ada beberapa hal yang patut dilakukan:
1. Ingat akan Mati dan Akhirat
Yakin akan mati tidak ada gunanya tanpa beriman akan akhirat. Orang beriman memahami betul bahwa kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan akhirat. Dalam kehidupan akhirat itulah terdapat kehidupan abadi, kehidupan tempat diputuskannya tempat tinggal sebenarnya: kenikmatan jannatun na’im ataukah neraka jahim. Untuk itu seseorang yang bersiap diri menghadapi kematian berupaya tanpa henti menangkap gambaran kehidupan kelak seperti diberitakan Allah Swt. dalam al-Quran maupun hadis Nabi saw. Seseorang yang merasa yakin akan datangnya kematian, namun di benak dan di jiwanya tidak terpatri realitas kehidupan akhirat yang akan dihadapinya itu, keyakinannya itu tak akan memberi bekas dan pengaruh apapun.
Utsman bin ‘Affan dalam salah satu khutbahnya pernah menyampaikan: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi kalian dunia agar dengannya kalian dapat memperoleh akhirat. Dia tidaklah memberikan dunia itu kepada kalian agar kalian berlutut kepadanya. Sungguh, dunia itu fana, sedangkan akhirat itu kekal abadi. Janganlah yang fana itu melalaikan dan melupakan kalian dari akhirat yang kekal. Utamakanlah yang kekal daripada yang fana. Sebab, sungguh dunia itu pasti akan putus hubungan dan sungguh tempat kembali itu hanyalah kepada Allah Swt.”
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk mengingat kematian dalam hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi:
“Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan (kematian).” Bahkan, saking besarnya pengaruh mengingat kematian ini Nabi r memberitakan: “Andaikan saja hewan-hewan itu mengetahui kematian seperti yang diketahui oleh anak-anak Adam niscaya kalian tidak akan memakan dagingnya dalam keadaan gemuk” (HR. Al-Baihaqi)
Rasulullah dan para sahabatnya memiliki karakter untuk senantiasa mengingat kematian. Al-Baihaqi meriwayatkan suatu waktu turunlah ayat:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ ‚ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُون ‚
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (QS. an-Najm [53]: 59 – 60)
Pada saat turun ayat ini para ahlu suffah menangis hingga air matanya membasahi janggut. Rasulullah pun menangis bersama dengan mereka. Seraya beliau bersabda:
“Api neraka tidak akan menyentuh orang yang menangis karena takut kepada Allah, dan tidak akan masuk surga orang yang terus menerus bergelimang dalam kemaksiatan.”
Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang pada kebenaran. Namun, dalam hal kematian beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat. Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar !”
Bukan hanya sahabat, para penerusnya pun demikian. Diceritakan bahwa khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz setiap malam mengumpulkan para fuqaha. Mereka saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan akhirat. Mereka pun menangis seakan-akan menghadapi kematian.
Begitulah, Rasulullah, para sahabat, beserta pengikut sesusadahnya yang shalih senantiasa berupaya mengingat kematian. Siang hari mereka berjuang sebagai mujahid, mencari nafkah, berdakwah, dan aktivitas lainnya. Pada saat yang sama ketika mereka teringat akan akhirat dan kematian hati mereka tersungkur, mata mereka lembab berlinangkan air mata. Betapa banyak pengorbanan mereka, betapa besar kebaikan mereka, betapa luhur pengetahuan Islam mereka, namun mereka takut dan selalu mengingat kematian dan akhirat. Sementara, kita yang tidak punya apa-apa, ilmu sedikit, amal pun kurang, perjuangan hampir-hampir jadi sampingan, kok tak pernah mengingat akan kematian.
2. Merasa diawasi oleh Allah Swt. (muraqabatullah)
Allah Mahamengetahui lagi Mahamendengar. Seseorang yang memahami betul hakikat kehidupan setelah mati akan berupaya terus untuk menjaga seluruh perbuatannya senantiasa terikat dengan hukum-hukum syara. Sebab ia yakin Allah senantiasa mengetahui apapun yang ia lakukan. Allah Maha Melihat terhadap seluruh perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat Allah. Banyak sekali nash-nash yang menegaskan hal ini.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian beristiwa di ‘arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan apa yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik kepadanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid [57]: 4)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiadalah satu perkataan pun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada Raqib dan Atid.” (QS Qaaf [50]: 18)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang melainkan Dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang melainkan Dia yang keenamnya, dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang meeka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh, Allah Mahamengetahui tiap-tiap sesuatu” (QS. al-Mujadilah [22]: 7)
Hanya saja, terkadang manusia tidak konsisten dalam bersikap. Misalnya, ketika sedang melakukan shalat, ia betul-betul menjaga perhatiannya, konsentrasinya, bahkan gerakannya. Semua itu dilakukannya karena khawatir shalatnya itu bertentangan dengan aturan Allah hingga amalnya itu tidak diterima. Begitu pula saat melakukan shaum bulan Ramadlan. Betapa pun sepinya tempat ia tinggal, dia pun hanya seorang diri, sementara haus pun sedang puncak-puncaknya, namun ia tidak minum setetes air pun. Andaikan ia melakukannya juga tidak ada orang lain menyaksikannya. Hal ini disebabkan ia menyadari betul bahwa sekalipun tidak ada orang lain menyaksikan tapi Allah mengetahui seluruh gerak-geriknya termasuk lintasan dalam hatinya. Sayangnya, pada sebagian orang sikap demikian tidak muncul saat tengah sekolah, kuliah, bergaul, berbelanja, jalan-jalan di super market, berekreasi, bekerja di kantor, rapat di ruang sidang, duduk di angkot, berdiskusi menetapkan hukum, ataupun saat mengurusi urusan masyarakat. Boleh jadi ia menyangka bahwa Allah itu hanya mengawasi saat di masjid dan di bulan Ramadhan saja. Padahal, sangkaan itu hanyalah bisikan syaithan. Sebab, Allah akan mengetahui apapun yang diucapkan dan dilakukan manusia dimana saja berada, dan semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
3. Senantiasa Introspeksi Diri
Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab oleh Allah. Itulah pegangan seorang muslim yang tengah bersiap-siap diri menghadapi kematian. Berkaitan dengan persoalan ini Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)
Dia senantiasa berupaya untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukannya dan merenungi betapa banyak kesalahan dan dosanya. Saat ia menemukan perbuatannya bertentangan dengan hukum Islam seperti ucapan kotor, di hati terdapat rasa iri ataupun dengki, shalat tidak khusyu, ibadah lemah, ada janji tidak ditepati, hubungan dengan keluarga memburuk, mendalami Islam malas-malasan, dakwah terabaikan, dan perbuatan lainnya; bersegeralah ia beristighfar dan bertaubat diikuti perbuatan baik. Sebaliknya, saat ia menemukan dirinya berbuat kebaikan, bibirnya dan jiwanya pun segera memuji Allah, alhamdulillah. Kemudian, berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kebaikannya tersebut.
4. Memperbanyak Amal Kebaikan
Hidup merupakan pengembaraan menuju akhirat melewati gerbang kematian. Seseorang yang kini berumur 50 tahun berarti ia telah mendekati gerbang kematian selama 50 tahun. Begitu juga orang yang sekarang berumur 23 tahun ia sudah menghabiskan waktunya sebanyak 23 tahun mendekati pintu kematian. Hanya saja entah siapa yang lebih dahulu sampai pada pintu kematian masing-masing. Semakin bertambah usia berarti semakin dekat pada pintu kematiannya. Hal yang penting menghadapi hal ini adalah persiapan menuju kematian. Bila persiapan bagi seorang musafir adalah makanan, minuman, dan tempat berteduh, persiapan menuju negeri akhirat adalah amal kebaikan dalam ketakwaan. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah [2] ayat 197.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa,”
Rasulullah saw. memerintahkan:
قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِ كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tetapi pada waktu sore ia kafir, pada waktu sore ia beriman tetapi pada waktu pagi ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia (HR. Muslim)
Dan hadis Rasulullah yang lain:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعًا هَلْ تَنْتَظِرُونَ إِلَّا فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى
“Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal; apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesom-bongan, sakit yang mengendorkan, tua renta yang dapat mele-mahkan, mati yang dapat menyudahi segalanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang sangat berat dan sangat menakutkan.” (HR. at-Turmudzi)
Berdasarkan hal itu, beramal shalih seoptimal mungkin merupakan suatu yang hendak diraih bagi yakin akan datangnya kematian. Bila seseorang dipanggil oleh manajernya, misalnya, dan memberitahunya bahwa ia akan ditanya tentang hasil kerja dan bukti-buktinya. Tentu saja, ia akan mempersiapkan pekerjaan-nya beserta karya dan bukti-buktinya selengkap mungkin. Sulit dibayangkan orang yang normal berani menghadap manajernya tanpa mempersiapkan segala sesuatupun. Ia pun takut, cemas dan penuh harap menanti pertemuan tersebut. Kini, yang memanggil orang itu bukanlah manusia melainkan Pencipta manusia: Allah Swt. Ia akan memintai pertanggungjawaban seluruh perbuatan yang dilakukan. Orang yang betul-betul yakin akan kehidupan akhirat, tentu saja, tidak akan berani lalai dalam mempersiapkan semuanya itu. Ia akan berupaya senantiasa taat, tunduk, dan patuh pada semua aturan Islam yang merupakan wahyu dari Allah. Akhirnya, kita perlu merenungkan firman Allah Swt. berikut:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada al-haq (kebenaran) yang telah turun (kepada mereka)?” (QS. al-Hadid [57]: 16)
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu (ajal) yang diyakini.” (QS. al-Hijr [15]: 99)
Jelaslah, kematian pasti tiba. Hal terpenting adalah bagaimana saat kita mati benar-benar berada dalam ketaatan total pada Allah Swt. (M. Rahmat Kurnia, dalam buku Menjadi Pembela Islam, Al Azhar Press)
Pernah dengar pepatah “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”? Mari bersama-sama kita sindir diri kita sendiri dengan pepatah tersebut. Kalau belum juga tersindir, hati-hati saja, jangan-jangan memang kita tergolong orang yang suka mencari kesalahan orang dan pandai menutupi kesalahan kita sendiri. Termasuk ketika berurusan dengan pasangan hidup kita. Bisa jadi sebagai suami barangkali kita sering menuntut tidak boleh ada kesalahan sedikitpun terhadap isteri kita. Sedikit saja kesalahan isteri kita, sudah seperti kotoran gajah yang ada di mata kita.
Sadar atau tidak dan ini juga bukan tuduhan, kita sebagai laki-laki rasa superioritas kadangkala menjadi mahaguru yang kita kedepankan untuk menyudahi problem rumah tangga. Jika sikap seperti itu kita pertahankan, maka niscaya keutuhan rumah tangga akan sulit dipertahankan. Kalau tidak bisa dikatakan perceraian, kemungkinan terkecilnya adalah isteri akan merasa menjadi mahluk kecil yang selalu duduk di bangku pesakitan.
Bisa jadi pada saat pra married, kita sebagai suami/isteri membayangkan akan duduk di singgasana raja/ratu yang akan dilayani dengan manis oleh pasangan kita. Minta apa saja, tinggal menyuruh sana-sini. Tapi apa yang terjadi pada saat akad nikah usai digelar, bulan madu pun sudah ditunaikan, maka kemanisan, kemanjaan, keenakan, sedikit demi sedikit meninggalkan perjalanan hidup rumah tangga kita. Nah, pada saat itulah kita merasa bukan raja lagi, bahkan selevel dengan isteri kita. Setiap kesalahan, kekeliruan, kekhilafan isteri, seakan menjadi noktah hitam yang senantiasa kita simpan dalam memori otak kita. Dalam perjalanannya “kuman di seberang lautan tampak”, tapi karena kita sering mengoreksi orang atau mengumpulkan kesalahan orang, maka “gajah di pelupuk mata tidak tampak”.
No Body Perfect
Allah Swt menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, laki-laki dan perempuan. Secara fitrah, Allah memberikan potensi kehidupan yang sama antara keduanya. Jika laki-laki butuh makan, minum, BAB dan seterusnya, maka demikian pula dengan seorang perempuan. Jika ada perempuan tertarik dengan lawan jenisnya, tidak berbeda pula dengan kaum laki-laki. Begitu seterusnya, hingga Allah memberikan “nilai lebih” laki-laki dibanding dengan perempuan, sebagaimana firman Allah Swt:
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa 32)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka… “(QS. An Nisa 34)
Dari “nilai lebih” itulah, Allah membebankan hak dan kewajiban bagi seorang laki-laki, baik karena sebagai laki-laki an sich, ataupun seorang laki-laki sebagai suami.
Di saat pemenuhan potensi kehidupan maupun saat seseorang memenuhi hak dan kewajiban itulah, ada diantaranya yang mungkin kurang sempurna. Misalnya, saat isteri memasak sayur ternyata kurang mak nyus, maka kita buru-buru memasukkannya dalam daftar black list. Padahal ini khan hanya persoalan sepele, yang bisa selesai kalau kita terus terang bilang sama isteri kita, bahwa masakannya kurang garam lah, kurang pedas lah, dan seterusnya. Dan catatannya, persoalan seperti ini harus segera diselesaikan. Jangan menunggu berlarut-larut, sebab jika ada sikap pembiaran, maka saat isteri kita melakukan kesalahan lain, saat itulah kita berusaha mengeluarkan catatan hitam yang sudah ada dalam daftar black list tadi.
Oleh sebab itu, siapapun kita, apapun kedudukan dan posisi kita, harus ingat bahwa kita hanya manusia yang berposisi sebagai mahluk. Sebagaimana fitrahnya mahluk dan manusia, maka dia pasti mempunyai ciri lemah, membutuhkan yang lain, dan terbatas. Fisik kita misalnya, jika kita forsir bekerja seharian tanpa tidur dan istirahat, bisa jadi akan lemas atau jatuh sakit. Telinga kita yang ternyata hanya mampu mendengar dari jarak sekian meter. Otak kita yang tidak bisa menjangkau sesuatu yang diluar kemampuan otak kita, seperti memikirkan hal-hal yang ghaib, dan seterusnya. Itu semua terjadi pada diri kita, sebagai manusia dan mahluk Allah Swt.
Sehingga ketika Allah membebankan kewajiban bagi suami untuk mencari nafkah, sedang bagi isteri sebagai ibu rumah tangga, sudah pas sesuai dengan porsinya, dan itu tidak menjadi soal. Yang menjadi soal adalah ketika kita mempersoalkan masalah “ketidaksempurnaan” pasangan kita, saat menjalankan tugasnya masing-masing. Padahal ketikdaksempurnaan itu harusnya dikembalikan pada posisi sebagai manusia dan mahluk Allah tadi. Dan akan selesai soalnya, jika keduanya memahami “no body perfect” alias tidak ada manusia yang sempurna.
Jadi adalah sebuah kesalahan dan kebohongan besar apa yang dilakukan kaum feminis yang sok modernis, kalau mereka mengotak-atik “nilai lebih” laki-laki dan “nilai rendah” wanita. karena sejatinya, bukan disitu persoalannya. Persoalannya adalah pada ketidakmampuan kita (suami-isteri) mengelola “nilai” tadi, sehingga sering menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Dan itu mencuat di permukaan karena sering di ekspos oleh media. Padahal Islam juga telah memberi rambu-rambu bagaimana sebenarnya menyelesaikan masalah internal rumah tangga, sehingga jangan sampai masalah itu terekspos keluar.
Kita bicarakan dulu masalah mengelola “nilai”. Ketika Allah Swt memberikan porsi masing-masing antara suami-isteri, kita yakin secara imani bukan karena Allah mau men-super-kan laki-laki dan mem-babu-kan perempuan. Dan sekali lagi bukan itu persoalannya. Kalau kita sibuk berkonsentrasi menyoal itu, maka ujung-ujungnya kita akan menggugat hak prerogratif Allah Swt, seperti yang dilakukan oleh kaum feminis. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa sejatinya persoalan akan muncul pada dua kondisi. Pertama, saat masing-masing tidak bisa menempatkan diri sesuai dengan porsinya, dan; Kedua saat keduanya tidak bisa memahami posisi pasangannya masing-masing.
Pada dua kondisi tersebut, saya perinci sebagai berikut:
A. Suami sebagai qawam
Meski secara fitrah laki-laki adalah menjadi qowam, tapi kadangkala hal ini banyak diabaiakan oleh mayoritas suami, sehingga akhirnya menimbulkan masalah yang cukup serius dalam kehidupan rumah tangga. Justru sebagian orang ada yang beranggapan bahwa pengabaian seorang suami tentang hak kepemimpinannya terhadap sang isteri, akan membahagiakan keduanya. Tapi faktanya malah justru sebaliknya. Karena disamping ini tidak sesuai dengan fitrah, juga bertentangan dengan syariat Allah. Wajar saja jika sesuatu yang bertentangan dengan fitrah dan syiariat Allah, akan menimbulkan kerusakan. Contoh riilnya, akhirnya wanita atau istri merasa wajib untuk bekerja, sedang suaminya membiarkan saja, dengan alasan kebutuhan hidup. Pada perjalanannya, karena keluarga tersebut tidak dibangun dengan pondasi imani dan diperkuat dengan syariat, timbullah masalah pertentangan tentang pembagian waktu buat anak, pembagian porsi untuk pemenuhan kebutuhan, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya perceraian mereka sudah di muka pintu, dan hak pengasuhan anak serta harta gono-gini selalu jadi rebutan.
Sungguh ini adalah sebuah persepsi yang salah. Karena pada dasarnya wanita itu menurut fitrahnya, senang untuk berteduh dan berpegangan kepada sebuah tiang penyangga yang mana dia bisa berlindung kepadanya. Maka jika istri mendapati sang suami tidak bisa lagi menjadi tempat berteduh, karena suami sudah menyuruhnya bekerja, apalagi ternyata penghasilan istri lebih banyak daripada suami. Saat itulah benih perselingkuhan akan muncul. Itupun jika kondisi kantor istri, ternyata kondusif ada lelaki yang lebih pantas jadi suami cadangan, alias ada pria idaman lain.
Oleh karena itu, seorang laki-laki seberapa rapuh pun dia tetap harus menjadi pemimpin rumah tangganya. Jika memang harus berbagi mencari nafkah, maka sang suami harus berpesan bahwa tugas utama istri adalah ibu rumah tangga. Dan tugas itu harus ditunaikan lebih dahulu. Adalah kurang bijak jikalau penyerahan tugas ibu rumah tangga itu dibebankan kepada pembantu rumah tangga. Karena statusnya sebagai “pembantu”, maka dia hanya bertugas membantu istri menyelesaikan “pekerjaan” sebagai ibu rumah tangga. Tapi tetap saja tugas utama sebenarnya ada pada istri, bukan pembantu.
Pilihan untuk “memperkerjakan” istri adalah alternative terakhir yang harus dipilih oleh suami. Jika ternyata di rumah tersebut hanya ada satu anak, rumahnya juga sederhana, maka sebenarnya cukup suami saja yang bekerja. Mungkin istri membantu mencari nafkah cukup di rumah, dengan menunggu toko atau berjualan butik seadanya yang hanya melayani tetangga sekitar atau teman-teman pengajian. Tetapi jika pada kondisi ini, suami tetap membiarkan bahkan memaksa istri bekerja di luar rumah, maka itu artinya dunia telah membeli tujuan hidup mereka. Menurutnya kekayaan harta adalah utama, sehingga keduanya harus bekerja siang-malam, padahal hanya untuk menghidupi satu anak. Berlebihan bukan?
Disinilah pentingnya suami mendiskusikan dengan istri tentang hak dan kewajiban masing-masing. Agar jangan sampai terjadi tumpang tindih, atau pelanggaran hak dan kewajiban. Kewajiban utama suami adalah mencari nafkah, sedang istri adalah sebagai ummun wa rabbatul bait, maka suatu saat suami tidak boleh menuntut agar istri memberi porsi lebih pada keuangan rumah tangga—karena itu sebenarnya porsi suami-. Yang harus dituntut dari seorang suami kepada istri adalah persoalan urusan di dalam rumah sudah beres apa belum. Lain lagi persoalannya jika memang istri harus bekerja dan faktanya penghasilan istri lebih banyak daripada suami, maka pada saat itu, bukan berarti secara otomatis istri mengambil alih kepemimpinan rumah tangga. Bukan, bukan seperti itu, karena memang kepemimpinan rumah tangga itu yang menentukan adalah nash dari Allah dan juga secara fitrah memang demikian. Bukan karena senioritas dalam pencarian nafkah dan penghasilan. Jikalau memang ternyata istri lebih banyak penghasilannya, suami pun tidak boleh “meminta” uangnya istri dinafkahkan untuk keluarga. Yang boleh dilakukan suami adalah mengajak istri berdiskusi, apakah istri ridha dan ikhlas jikalau penghasilannya “sementara” digunakan untuk menambah mencukupi kebutuhan rumah tangga. Tetapi tetap saja, bahwa yang berhak dan berkewajiban menghidupi istri dan anak-anak adalah suami sebagai pemimpin rumah tangga. Sedangkan uang istri posisinya hanya sebagai shodaqoh.
Persepsi seperti diatas harus dipahami oleh suami-istri, agar kendali kepemimpinan ada pada suami. Jika tidak, maka akan ada sebagian wanita yang berkata dengan penuh kebanggaan dihadapan sahabat-sahabatnya bahwa suaminya sangat taat kepadanya dan tidak pernah mengingkari perintahnya. Karena dalam hal ini, istri dibiarkan tanpa didiskusikan memberi porsi lebih pada pencarian dan pemberian nafkah keluarga daripada suaminya. Hal ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan suami atas isterinya, maka pada hakikatnya, sebenarnya lubuk hati wanita tersebut merasakan adanya kelemahan dan kerapuhan dalam bangunan rumah tangganya.
Begitu juga sebaliknya, jika ada wanita yang mengadukan bahwa suaminya memiliki kepribadian yang kuat dan kepemimpinan yang sempurna, maka –meskipun dia mengeluhkan hal itu- pada hakikatnya, dia tengah merasakan adanya naungan kedamaian yang sesuai dengan fitrahnya dan kebahagiaan yang selaras dengan ihwal penciptannya.
Oleh karena itu, jika seorang suami mengabaikan kepemimpinannya, maka sungguh, hal itu adalah perkara yang akan mencelakakan wanita dan tidak akan membahagiakannya. Bahkan justru akan menimbulkan kerapuhan dalam bangunan rumah tangga, serta akan merobohkan tiang-tiangnya. Agar terciptanya kesejahteraan kehidupan suami-isteri, maka hendaknya seorang wanita meminta kepada suaminya untuk menunaikan hak kepemimpinannya terhadap keluarga; sebagaimana seorang wanita juga boleh menuntut suami untuk memberikan nafkah jika suatu saat ia mengabaikannya.
B. Ketaatan istri terhadap suami
Dalam hal istri mentaati suami adalah penunaian kewajiban istri terhadap suami. Ini berlangsung terus, hingga didapatinya suami menyuruh kepada yang maksiat. Pada posisi ini, hendaknya kita simak dalil dari sunnah adalah apa yang terdapat pada kisah bibi Hushain bin Muhshan yang datang kepada Rasul Saw, yang kemudian beliau bertanya kepadanya:
“Apakah engkau memiliki suami?” Wanita itu menjawab “Ya”, Beliau bertanya “Bagaimana sikapmu kepadanya?” Wanita itu menjawab, “Aku tidak pernah berhenti untuk berkhidmat dan taat kepadanya kecuali dalam hal-hal yang tidak aku mampu”. Maka Beliau berkata kepada wanita itu, “Lihatlah di mana posisimu dari dirinya, karena dia adalah surga dan nerakamu” (HR. Ahmad)
Sang suami pun jika memang melihat istrinya didapati kurang taat kepadanya, maka suami boleh menasehatinya bahkan dipisahranjangkan. Sebagaimana dalilnya, berupa firman Allah SWT:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya” (QS. an-Nisa 34)
Sedangkan bila istri sudah mentaati suami, maka tidak boleh para suami mentang-mentang sudah punya lirikan lain, akhirnya mencari jalan agar tetap merasa istri tidak taat kepadanya. Ini adalah sikap yang disalahkan oleh nash diatas.
Berbeda dengan yang dipersepsikan oleh kaum feminis bahwa ketaatan istri pada suami adalah suatu bentuk kediktatoran yang harus digugat. Menurut mereka sudah saatnya kaum wanita menuntut hal yang sama dengan pria dalam rumah tangga. Wanita juga harus ditaati, wanita boleh mengajukan talak, wanita tidak harus menjadi pengasuh anak, dll. Ini adalah suatu bentuk pelanggaran fitrah manusia. Ketaatan istri kepada suami bukanlah ketaatan seorang budak pada majikannya, atau seorang karyawan kepada atasannya. Melainkan ketaatan itu karena nash yang menunjukkan demikian. Dan dalam implementasinya, perintah ketaatan istri kepada suami lebih didasari oleh sikap dan sifat persahabatan. Sehingga dari sini, Allah pun memerintahkan untuk tidak taat kepada suami ketika dalam perintahnya mengandung bermaksiat kepada Allah.
“Tidak ada ketaatan kepada seorang mahluk untuk bermaksiat kepada Allah” (al hadits)
Tentu sebagai seorang sahabat tidaklah akan berlaku seperti itu kepada sahabatnya. Jikalau ada seorang suami yang memerintahkan istrinya untuk bermaksiat, pada hakekatnya dia telah menjerumuskan sahabatnya. Dan suami seperti itu belum layak menjadi sahabat sekaligus seorang pemimpin yang dhalim.
Perintah kepada suami untuk menasehati, pisah ranjang, dan memukul istri jika didapati istri melakukan nuzyus adalah step-step yang harus dilalui. Sehingga seorang suami harusnya tidak akan mengambil langkah-langkah itu, jika memang istrinya tidak melakukan nusyuz. Demikian pula suami juga akan menghentikan langkah-langkah tersebut, bila ternyata istri sudah menunjukkan ketaatannya. Hal ini menunjukkan keluasan syariat Islam dalam mengatur urusan rumah tangga, bukan malah menunjukkan bahwa syariat Islam itu diskriminatif, seperti yang dituduhkan kaum feminis. Sekali lagi bahwa suami akan mengambil langkah seperti qur’an surat nisa 34, jikalau ada “masalah”, disisi lain jikalau emang istri si empunya “masalah” itu tidak berlanjut, maka suami pun tidak boleh mencari-cari masalah dengan istrinya.
“Lho kalau begitu Islam menganggap bahwa istri sumber masalah, padahal justru sebaliknya malah mungkin para suami sumber masalahnya?” Para pembaca yang budiman, herarki bahwa suami boleh mengambil langkah-langkah seperti qur’an surat an nisa 34 diatas, itu karena memang Islam memposisikan lelaki sebagai pemimpin rumah tangga. Dan mesti diingat bahwa suami melaksanakan tugas diatas tetap didasari oleh sikap dan sifat persahabatan, bukanlah layaknya majikan menghukum bawahannya, atau bahkan layaknya seorang kepada musuhnya. Nah, jikalau memang yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu banyak lelaki yang selingkuh, serong, main perempuan, punya WIL dan lain-lain. Maka Islam pun punya solusi terhadap hal itu, yakni seorang istri boleh menuntut cerai kepada suaminya, jika memang dia sudah tidak bersabar dengan sikap suaminya seperti itu. Jadi adalah sebuah kekeliruan besar apa yang diteriakkan kaum feminis yang mencap Islam tidak adil.
Dengan banyaknya fakta kaum lelaki berselingkuh, atau para suami mengabaikan urusan rumah tangga, bukan berarti kita boleh mengubah hukum seenak perut kita. Sehingga timbul inisiatif untuk me”merdeka”kan kaum hawa alias para istri, dengan mengambil sikap membangkang kepada suami. Jikalau memang fakta itu riil terjadi pada rumah tangga kita, ternyata Islam pun memberi hak kepada wanita untuk minta diceraikan oleh suaminya. Namun kita harus ingat, meski perceraian itu boleh, tapi itu perkara yang dibenci oleh Allah. Sebagaimana sabdanya:
''Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian'' (HR Abu Dawud dan HR. Ibnu Majah)
Talak atau perceraian adalah upaya untuk melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan simpul perkawinan. Keputusan untuk men-talak ada pada suami, tapi bukan berarti sang isteri atau wanita, berdiam diri ketika di dholimi oleh suami selama berumah tangga. Seorang isteri bisa atau boleh mengajukan hak pembatalan pernikahan (fask) atau menuntut perceraian (khulu’).
Islam menetapkan meskipun hak talak berada di tangan suami, bukan berarti isteri tidak boleh menuntut cerai dan menghendaki adanya suatu perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Hanya saja, koridor syariat Islam menetapkan hukum asal talak berada di tangan suami. Seorang isteri boleh menceraikan dirinya dari suaminya, dan menghendaki adanya perpisahan antara dirinya dengan suaminya dalam keadaan tertentu. Taqiyudin an-Nabhani dalam bukunya Nidzamul Itjmai fil Islam, menyebutkan keadaan yang membolehkan bagi wanita atau isteri melakukan faskh (pembatalan) terhadap akad perkawinan, antara lain:
1. Jika suami menyerahkan wewenang talak kepada isterinya. Misalnya “Aku telah menceraikan diriku sendiri dari suamiku, si Fulan” atau “Aku telah menceraikan diriku darimu” kepada suaminya. Tapi tidak bisa wanita tadi mengatakan “Aku telah menceraikan kamu” atau “Kamu aku ceraikan”. Sebab talak itu menimpa atas isteri bukan suami.
2. Jika isteri mengetahui bahwa ternyata suaminya, memiliki cacat sehingga tidak bisa melakukan hubungan suami-isteri. Seperti misalnya impotensi atau telah dikebiri, sedangkan isteri tidak memiliki penyakit seperti itu. Sang suami diberi tempo waktu satu tahun terhadap penyakitnya itu, jika telah sampai waktunya satu tahun dan isteri menjumpai suaminya tetap pada kondisi semula, maka isteri berhak melakukan khiyar (pilihan).
3. Jika sang isteri mendapati suaminya memiliki penyakit yang membahayakan seperti, lepra, kusta, TBC, sipilis, AIDS, dll. Dalam keadaan seperti itu, isteri bisa mengajukan masalahnya kepada hakim (penguasa) dan menuntut adanya perceraian antara dirinya dengan suaminya.
4. Jika suami, setelah terjadinya akad nikah, ditemukan dalam keadaan gila, maka isterinya dapat mengadukan masalahnya kepada qadhi (hakim) dan menuntut cerai dari suaminya. Qadhi bisa menunda keputusan perceraiannya sampai satu tahun, jika penyakit gila suami tidak bisa sembuh, sementara isteri tetap dalam tuntutannya, maka qadhi bisa menjatuhkan vonis perceraian.
5. Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat maupun jauh, kemudian menghilang dan tidak ada kabar beritanya, sementara isterinya terhalang untuk mendapatkan nafkahnya. Maka si isteri berhak menuntut cerai dari suaminya.
6. Jika suami tidak memberi nafkah kepada isterinya, padahal dia mampu. Akibatnya, sang isteri terhalang memperoleh harta dari suaminya, untuk keperluan nafkah dari berbagai sudut. Maka isteri dapat menuntut perceraian dan qadhi dapat memutuskan perkaranya tanpa menunda-nunda.
7. Jika suami-isteri terdapat pertentangan dan perselisihan. Dalam kondisi tersebut, isteri dapat mengajukan tuntutan untuk berpisah dengan suaminya. Dalam masalah ini qadhi dapat menunjuk juru damai baik dari pihak isteri ataupun suami. Dewan keluarga inilah yang akan mendengarkan keluhan atau pengaduan dari kedua belah pihak, dan berusaha sungguh-sungguh untuk mendamaikan keduanya. Jika memang tidak ada kata sepakat, maka dewan keluarga bisa memisahkan keduanya.
Realitas diatas menunjukkan bahwa Allah SWT sebagai Asy-Syari’ (pembuat hukum) telah memandang seorang isteri sebagai sahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-isteri. Setiap ketidakbahagiaan dan kebencian yang terjadi di dalam rumah tangga yang dirasakan oleh suaminya pasti akan dirasakan pula oleh isterinya. Oleh sebab itu, harus ada jaminan bahwa dalam rumah tangga, seorang isteri bisa terlepas dari kesengsaraan. Tidak dibiarkan seorang isteri merasa terpaksa tinggal bersama suaminya, jika dia tidak menemukan ketenangan atau kebahagiaan hidup selaku suami-isteri. Sehingga Islam, memberi hak kepada isteri untuk melepaskan ikatan perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, manakala tidak ada peluang lagi untuk hidup berumah tangga atau untuk memperoleh kebahagiaan hidup suami-isteri.
Sekaligus realitas diatas, juga menjawab tuduhan bahwa Islam itu diskriminatif. Tuduhan itu jelas tidak beralasan, jika mereka secara mendalam mengenal Islam. Islam sebagai syariat yang dibikin oleh Sang Khalik (Sang Pencipta) tentu memiliki kesempurnaan dan tentu saja menentramkan manusia. Berbeda dengan aturan atau sistem kapitalis, yang sekarang diterapkan di bumi pertiwi ini. Sudah tidak bisa mensejahterakan manusia, malahan membuat sengsara
(dipenggal dari buku No Body Perfect, Karya Luky B Rouf)
Benci karena Allah adalah membenci hamba Allah disebabkan kekufuran dan perbuatan maksiatnya. Kebencian kepada kekufuran bagi seorang beriman adalah mutlak dan menjadi salah satu perkara utama. Diriwayatkan hadits dari Anas ra., sesungguhnya Nabi bersabda:
«ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ»
Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya ia telah menemukan manisnya iman. Yaitu orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya; orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah; dan orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke Neraka. (Mutafaq 'alaih).
Oleh karena itu, ketika kita membenci seorang yang melakukan tindakan kekufuran, pada hakikatnya bukanlah membenci orangnya, tapi membenci kekufurannya.
Benci sebagai Wujud Pelaksanaan Perintah Allah SWT
Dan sikap kita membenci orang-orang yang melakukan tindakan kekufuran, bukan semata sentimen pribadi, tapi karena Allah SWT memang memerintahkan kita untuk membenci kekufuran dan para pelakunya, disamping perintah untuk mengajak mereka meninggalkan tindakan kekufuran dan masuk kepada keimanan.
Allah SWT telah melarang kaum Muslim mencintai orang-orang kafir, munafik, dan fasik yang terang-terangan melakukan maksiat. Hal ini berdasarkan Firman Allah:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (TQS. Mumtahanah [60]: 1)
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ$ هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: "Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 118-119)
Thabrani telah meriwayatkan dengan isnad yang baik dari Ali ra., ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
«ثَلاَثٌ هُنَّ حَقٌّ: لاَ يَجْعَلُ اللهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي اْلإِسْلاَمِ كَمَنْ لاَ سَهْمَ لَهُ، وَلاَ يُوَلِّى اللهَ عَبْدٌ فَيُوَلِّيْهِ غَيْرَهُ، وَلاَ يُحِبُّ الرَّجُلُ قَوْمًا إِلاَّ حُشِرَ مَعَهُمْ»
Ada tiga perkara yang merupakan hak yaitu Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai andil dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai andil apapun. Dan tidaklah seorang hamba menjadikan Allah sebagai kekasihnya lalu dia menjadikan yang lain sebagai kekasihnya. Serta tidak ada seseorang yang mencintai suatu kaum kecuali ia akan dikumpulkan bersama mereka.
Dalam hadits ini terdapat larangan yang tegas untuk mencintai pelaku kejahatan, karena khawatir akan dikumpulkan bersama mereka.
Tirmidzi telah mentakhrij, ia berkata hadits ini hasan, dari Muadz bin Anas Al-Juhani bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ أَعْطَى ِللهِ وَمَنَعَ ِللهِ وَأَحَبَّ ِللهِ وَأَبْغَضَ ِللهِ وَأَنْكَحَ ِللهِ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ إِيمَانَهُ»
Barangsiapa yang memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.
Imam Muslim juga telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
«وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي اْلأَرْضِ…»
Apabila Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan memanggil Jibril dan berfirman, “Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia.” Rasulullah saw. bersabda, “Kemudian Jibril pun membencinya dan menyeru kepada penghuni langit, sesungguhnya Allah telah membenci si Fulan, maka bencilah ia.” Rasul saw. bersabda, “Kemudian mereka pun membencinya dan setelah itu kebencian baginya akan diletakan di bumi.”
Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
«ثُمَّ تُوْضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي اْلأَرْضِ»
“Dan setelah itu kebencian baginya akan diletakan di bumi” adalah kalimat yang bermakna tuntutan (perintah). Hal ini bisa diketahui dengan adanya dilalah al iqtidha. Karena terdapat orang yang mencintai kaum kafir, munafik, dan fasik yang terang-terangan melaksanakan maksiat, ia tidak membenci mereka, maka kebenaran perkara yang diberitakan dalam hadits itu mengharuskan bahwa yang dimaksud dengan berita adalah tuntutan. Jadi dalam Hadits tersebut Rasulullah saw. seolah-olah bersabda: “Wahai para penghuni bumi, bencilah orang yang dibenci Allah.” Dengan demikian hadits ini menunjukan wajibnya membenci orang yang dibenci oleh Allah.
Siapa-siapa yang Wajib Dibenci?
Ayat-ayat dan hadits di atas menyebut orang-orang kafir yang merupakan musuh Allah dan musuh kaum muslimin sebagai pihak yang harus dibenci secara syar’i.
Termasuk dalam perbuatan membenci orang yang dibenci oleh Allah adalah membenci:
1. Orang yang suka mendebat perintah Allah, sebagaimana terdapat dalam hadits Mutafaq 'alaih dari ‘Aisyah dari Nabi saw., beliau bersabda:
«إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ اْلأَلَدُّ الْخِصَمُ»
Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang suka menentang (mendebat) perintah Allah.
2. Orang yang membenci kaum Anshar, yang dikategorikan oleh rasulullah saw. sebagai orang munafiq. Diriwayatkan hadits Mutafaq 'alaih dari Bara’, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
«اْلأَنْصَارُ لاَ يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ»
Tidak mencintai kaum Anshar kecuali orang yang beriman. Dan tidak ada yang membenci mereka kecuali orang yang munafik. Maka barangsiapa yang mencintaai mereka, ia pasti dicintai Allah. Dan barangsiapa membenci mereka ia pasti dibenci Allah.
3. Orang yang mengatakan hak (kebaikan), tapi tidak melampaui tenggorokannya (tidak masuk ke hatinya, pent.). Dasarnya adalah hadits riwayat Muslim dari Ali ra., ia berkata:
«إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَ نَاسًا إِنِّي َلأَعْرِفُ صِفَتَهُمْ فِي هَؤُلاَءِ يَقُوْلُوْنَ الْحَقَّ بِأَلْسِنَتِهِمْ لاَ يَجُوزُ هَذَا مِنْهُمْ وَأَشَارَ إِلَى حَلْقِهِ مِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللهِ إِلَيْهِ»
Sesungguhnya Rasulullah saw. telah menyebutkan kriteria orang-orang tertentu --aku mengetahui sifat mereka pada orang-orang itu-- mereka mengatakan hak dengan lisan mereka, tapi tidak melampaui ini dari mereka. Kemudian Rasul saw. menunjuk ke tenggorokannya. Mereka termasuk makhluk Allah yang paling dibenci Allah. Sabda Rasul “la yujawizu” maksudnya adalah “la yata’ada” artinya tidak melampaui.
4. Orang yang berbuat keji dan jorok. Sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Darda riwayat Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih, sesungguhnya Nabi saw bersabda:
«...وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ»
Sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berbuat keji dan seronok.
5. Orang-orang kafir. Terdapat banyak atsar tentang kebencian para sahabat kepada kaum Kafir. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salamah bin Al-Akwa, ia berkata:
«...فَلَمَّا اصْطَلَحْنَا نَحْنُ وَأَهْلُ مَكَّةَ وَاخْتَلَطَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ أَتَيْتُ شَجَرَةً فَكَسَحْتُ شَوْكَهَا فَاضْطَجَعْتُ فِي أَصْلِهَا قَالَ فَأَتَانِي أَرْبَعَةٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَجَعَلُوا يَقَعُونَ فِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبْغَضْتُهُمْ فَتَحَوَّلْتُ إِلَى شَجَرَةٍ أُخْرَى...»
Ketika kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, aku mendatangi suatu pohon kemudian aku menyingkirkan durinya dan aku merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepadaku empat orang kaum Musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah, maka aku pun membenci mereka, hingga aku pindah ke pohon yang lain.
6. Orang-orang Yahudi. Hadits Jabir bin Abdillah diriwayatkan Ahmad bahwa Abdullah bin Rawahah, ia berkata kepada Yahudi Khaibar:
«يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ أَنْتُمْ أَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَيَّ قَتَلْتُمْ أَنْبِيَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَّاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ...»
Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku untuk berlaku sewenang-wenang kepada kalian.
7. Orang muslim yang menampakkan kejahatan secara terang-terangan. Yaitu, orang-orang yang tidak malu lagi melakukan perbuatan jahat, bahkan bangga memamerkan kejahatannya. Imam Ahmad, Abdur Razak, dan Abu Ya’la telah mentakhrij hadits dengan isnad hasan, juga Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Dari Abu Faras, ia berkata; Umar bin Khathab pernah berkhutbah dan berkata:
«...مَنْ أَظْهَرَ مِنْكُمْ شَرَّا, ظَنَّنَا بِهِ شَرًّا، وَأَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ»
Barang siapa di antara kalian menampakan suatu kejahatan, maka kami akan menduganya berlaku jahat, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu.