Mati dalam #SakinahCinta (2#) ~Sebuah MotiNafsi Pencolek Faceboker ~
[buat yang belum baca chapter 1#, sila liat di dinding saya]
Sahabatku, hari ini, kali ini kita masih lanjutkan langkah hidup kita
Tapi coba sejenak saja… bersama saya berhenti rasakan langkah kita
…awali dengan kalimat istighfar “Astagfirullah al’adzim…..”
….Sudah berhenti? …Mari sekarang kita coba lihat telapak kaki kita…
Apa
[buat yang belum baca chapter 1#, sila liat di dinding saya]
Sahabatku, hari ini, kali ini kita masih lanjutkan langkah hidup kita
Tapi coba sejenak saja… bersama saya berhenti rasakan langkah kita
…awali dengan kalimat istighfar “Astagfirullah al’adzim…..”
….Sudah berhenti? …Mari sekarang kita coba lihat telapak kaki kita…
Apa
yang kita saksikan di telapak kaki kita?
Ohw, sahabatku langkah kita ini, sadar atau tidak, meninggalkan jejak.
Entah sudah berapa langkah kita jejakkan di alam ini
Pun berapa pula jejak yang meninggalkan bekas
Sadarkah, ketika kita telah mati, orang lain bisa menyaksikan jejak kita
Sementara kita? Kita hanya bisa menikmati bekas jejak kita…
Jika kita pernah menjejakkan kebaikan, maka kita dikenang dan dicinta
Jika kita pernah menjejakkan keburukan, entah apalah jadinya kita?
Sahabatku, jejak apa yang telah kita tinggalkan di jejaring sosial facebook?
Hari ini, kita telah pasang status apa di facebook kita?
Jika dulu, status kita “aduhhh, kepalaku sakit…”
Jika kemarin, status kita “biyung, dagangangku koq nggak laku…”
Jika sebelumnya, status kita “hiiihh, takut ada ular di kamar…”
…. Setelah ini baiknya pikirkan lagi untuk buat status serupa
Karena statusmu adalah jejakmu…
Bukankah kita masih ingat kematian?
Dia bisa datang tanpa permisi dan tanpa diundang
Jika kematian datang, saat kita buat status demikian?
Jika kita memang sakit, minta tolonglah kepada sahabat terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita dalam kesulitan, mintalah tolong pada orang terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita lagi galau, futur, mintalah pada Rabb untuk menyudahinya
Karena facebookmu adalah pertanggungjawabanmu
Sahabatku, status kita adalah ‘harimau’ kita
Dia ada dan dilihat oleh saudara dan teman kita
Jika dia jinak, mungkin tidak akan menerkam
Tapi ‘harimau’ akan selalu menyalak ketika melihat ‘mangsa’
Jika kita bisa berbagi kebaikan, kenapa kita harus berbagi ‘ketidakbaikkan’?
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ watauwa shou bilhaq watuwa shou bishobbri (QS. Al ´Ashr: 1-3)
…. Itu kan kaedahnya?
Sahabatku, hidup di sini hanya sekali, esok kita, mati
Tak inginkah kita mati mulia dan berarti?
Jika akun ini telah kita buat, maka buatlah berarti
Kabarkanlah, saudara kita di luar sana yang meronta pinta pertolongan kita
Sebarkanlah, aroma harum kemakrufan dari status yang penuh kesakinahan
Publikasikan, gambar dan foto kebaikan yang mengundang keberkahan
Dakwahkanlah, Islam yang mencerahkan dan menyudahkan problem umat
Disitulah nanti jejak kita terekam, bukan oleh manusia, tapi oleh Rabb kita
Jikalau oleh manusia, adalah mereka yang hatinya selalu terpaut dengan Rabb kita
Sekali lagi sahabatku, jika kita telah mati, facebook kita masih hidup
Apa yang terjadi dengannya? Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan karenanya?
Maaf sahabatku, mari bersama saya meminta maaf ke diri kita masing-masing
Atas alpa yang telah kita buat, atas dosa yang telah kita lakukan
Laporkan semua itu kepada Rabb kita dipertiga malam, bukan kepada facebook.
Itu, jika kita ingin mati dalam kesakinahan (ketenangan)
Dan ingin dikenang dan dicinta oleh mereka yang cinta Rabbnya…
[perhatian: note ini, hanya bisa dibaca oleh yang terbuka mata dan hatinya.
Salam #SakinahCinta @LukyRouf on twitter]
Ohw, sahabatku langkah kita ini, sadar atau tidak, meninggalkan jejak.
Entah sudah berapa langkah kita jejakkan di alam ini
Pun berapa pula jejak yang meninggalkan bekas
Sadarkah, ketika kita telah mati, orang lain bisa menyaksikan jejak kita
Sementara kita? Kita hanya bisa menikmati bekas jejak kita…
Jika kita pernah menjejakkan kebaikan, maka kita dikenang dan dicinta
Jika kita pernah menjejakkan keburukan, entah apalah jadinya kita?
Sahabatku, jejak apa yang telah kita tinggalkan di jejaring sosial facebook?
Hari ini, kita telah pasang status apa di facebook kita?
Jika dulu, status kita “aduhhh, kepalaku sakit…”
Jika kemarin, status kita “biyung, dagangangku koq nggak laku…”
Jika sebelumnya, status kita “hiiihh, takut ada ular di kamar…”
…. Setelah ini baiknya pikirkan lagi untuk buat status serupa
Karena statusmu adalah jejakmu…
Bukankah kita masih ingat kematian?
Dia bisa datang tanpa permisi dan tanpa diundang
Jika kematian datang, saat kita buat status demikian?
Jika kita memang sakit, minta tolonglah kepada sahabat terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita dalam kesulitan, mintalah tolong pada orang terdekat kita
Tak perlu juga facebook harus tahu…
Jika kita lagi galau, futur, mintalah pada Rabb untuk menyudahinya
Karena facebookmu adalah pertanggungjawabanmu
Sahabatku, status kita adalah ‘harimau’ kita
Dia ada dan dilihat oleh saudara dan teman kita
Jika dia jinak, mungkin tidak akan menerkam
Tapi ‘harimau’ akan selalu menyalak ketika melihat ‘mangsa’
Jika kita bisa berbagi kebaikan, kenapa kita harus berbagi ‘ketidakbaikkan’?
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ watauwa shou bilhaq watuwa shou bishobbri (QS. Al ´Ashr: 1-3)
…. Itu kan kaedahnya?
Sahabatku, hidup di sini hanya sekali, esok kita, mati
Tak inginkah kita mati mulia dan berarti?
Jika akun ini telah kita buat, maka buatlah berarti
Kabarkanlah, saudara kita di luar sana yang meronta pinta pertolongan kita
Sebarkanlah, aroma harum kemakrufan dari status yang penuh kesakinahan
Publikasikan, gambar dan foto kebaikan yang mengundang keberkahan
Dakwahkanlah, Islam yang mencerahkan dan menyudahkan problem umat
Disitulah nanti jejak kita terekam, bukan oleh manusia, tapi oleh Rabb kita
Jikalau oleh manusia, adalah mereka yang hatinya selalu terpaut dengan Rabb kita
Sekali lagi sahabatku, jika kita telah mati, facebook kita masih hidup
Apa yang terjadi dengannya? Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan karenanya?
Maaf sahabatku, mari bersama saya meminta maaf ke diri kita masing-masing
Atas alpa yang telah kita buat, atas dosa yang telah kita lakukan
Laporkan semua itu kepada Rabb kita dipertiga malam, bukan kepada facebook.
Itu, jika kita ingin mati dalam kesakinahan (ketenangan)
Dan ingin dikenang dan dicinta oleh mereka yang cinta Rabbnya…
[perhatian: note ini, hanya bisa dibaca oleh yang terbuka mata dan hatinya.
Salam #SakinahCinta @LukyRouf on twitter]
( Tuturan dari Sebuah Perjalanan Panjang yang Tersendat )
Syabab, sebuah komunitas yang orang awam akan menyebutnya “aneh”. Orang tua, saudara, suami, isteri, anak akan menganggapnya “orang baru” di lingkungan keluarganya. Dari sikap, sifat, cara makan, cari tidur, cara duduk, cara bicara “beda” dari lumrahnya orang biasanya. Dia datang bukan dari luar angkasa atau alam kubur, tapi dia hidup di alam ini dan dilahirkan juga dari pertemuan sel sperma dan ovum. Lumrah, seperti manusia biasa sebenarnya. Namun mengapa perkataan, “aneh”, “orang baru”, “beda” harus melekat pada dia. Dari segi pakaian yang dipakai, rumah yang ditempati, makanan yang disantapnya pun tidak berbeda dengan orang pada umumnya.
Memang untuk mengatakan “beda” harus ada ukuran standarnya. Faktanya memang mereka tidak berbeda, secara standar manusiawi memang mereka tidak berbeda. Atau justru berangkat dari situlah, obsesi tinggi (bukan tertinggi) seorang syabab adalah akan menjadikan orang lain tidak berbeda dengan dirinya, dengan kata lain “kalau saya manusia, dia juga manusia, kenapa nggak saya ubah aja dia sama dengan aku (syabab)”. Itulah yang dalam tataran fakta mereka menyebutnya dengan dakwah.
Dakwah, dalam perjalanannya adalah menyampaikan atau setidaknya “menyeragamkan” manusia agar bisa paling tidak seperti syabab. Di tengah proses penyeragaman diri itulah, ada pribadi-pribadi syabab menemukan –bisa dikatakan- alasan, bahwa proses dakwah terpaksa harus terhambat, tertatih, slowly menuju puncak kejayaanya.
“Ustad, bukankah untuk mengajak orang lain jadi baik, kitanya harus baik duluan. Saya merasa belum bisa baik”
“Ustad, saya sibuk, maafkan saya, kalau tidak bisa optimal berdakwah”
“Ustad, bagaimana saya bisa berdakwah, sementara lingkungan keluarga, kerja, kuliah saya tidak mendukung untuk itu”
“Ustad, syabab itu telah banyak melakukan kesalahan, kenapa nggak disanksi?”
“Ustad, kalau musyrif saya saja molor berdakwah, bagaimana saya nggak?”
“Ustad, …………
…….. dan banyak lagi lontaran-lontaran klasik yang terus dinyanyikan para syabab seiring dengan jumud dan bekunya pemikiran. Dengan begitu, inilah kesempatan yang tepat untuk bisa menghindar dari taklif dakwah. Sungguh mengerikan.
Kepompong saja untuk bisa menjadi kupu-kupu yang indah, adalah melalui proses yang panjang dan mungkin membutuhkan kesabaran untuk menunggunya. Dakwah adalah proses yang harus dijalani syabab. Latar belakang keluarga, karakteristik ekonomi, sosial dan juga perbendaharaan pengetahuan islam masing-masing syabab berbeda. Akhirnya proses yang dijalaninya pun tidak sama. Ada syabab yang begitu mudah diterima dakwahnya, ada juga yang sulit diterima dakwahnya. Bagi yang diterima dengan mudah dakwahnya, paling tidak menyisakan sedikit permasalahan, yakni bagaimana membina keajegan itu agar tetap langgeng. Tapi bagi syabab yang dakwahnya diacuhkan, sulit diterima keluarga, masyarakat, bukan saja menyisakan masalah tapi membebani. Ini tidak saja berpengaruh bagi individu syabab, tapi juga bagi hizb utamanya dan bagi proses dakwah itu sendiri. Dari situlah jumud itu dimulai. Memang bukanlah kesalahan atau dosa bagi syabab jika tidak diterima dakwahnya, tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut, akan sama halnya dengan kita melubangi ban mobil atau mengambil bensin mobil, ketika mobil itu siap jalan.
Jumudisasi atau proses jumudnya syabab, bila disederhanakan akan hanya terangkum dalam dua hal. Pertama, problem pekerjaan. Dulu ketika sekolah atau kuliah, syabab permasalahannya begitu mudah diselesaikan, berdakwah temannya masih banyak. Ada kesulitan pembiayaan sekolah atau kuliah dia bisa minta ortunya, saudaranya atau bahkan pinjam temannya yang kebetulan punya simpanan. Tapi bukan berarti nggak ada masalah, syabab yang sekolah atau kuliah di sisi lain dia juga harus bekerja, ini yang biasanya bermasalah. Problematikanya mungkin bukan berasal dari adanya 2 aktivitas yang dijalani bersamaan itu, tapi masalahnya adalah idealisme. Seperti disinggung diatas, syabab memang asalnya adalah manusia biasa, tapi setelah menjadi syabab, setidaknya dia telah mengantongi idealisme, bahwa semua fakta yang di depannya harus dirubah sesuai dengan ide yang dia emban saat itu. Syabab jelas nggak mau, lingkungan kerjanya berbau KKN. Kalaupun ada bau itu, maka dia dihadapkan pada dua pilihan, tetap bekerja disitu tapi harus merubah bau itu menjadi bau harum Islam seperti yang selama ini dia idealisikan dalam halaqah. Atau kalau dia tidak bisa merubah bau itu, dia harus memilih keluar dari tempat itu, tapi dengan kenyataan, tidak semua lapangan pekerjaan bisa menampung dirinya, artinya dia harus nganggur. Menganggur bagi proses jumud adalah temperatur yang cocok.
Jumud terus berjalan, dan si syabab tak berkutik, dengan lingkungan kerjanya. Sementara dakwah semakin tersendat, karena harus banyak melintasi syabab lain dengan permasalahan lain yang mengalami jumud juga. Klop sudah fenomena itu, syabab yang jumud dengan dua pilihan diatas (antara tetap bekerja atau keluar dari pekerjaan tadi). Akhirnya kondisilah yang menjawab, bahwa syabab diperkuat posisinya di tempat kerja, karena syabab tadi melihat dakwah yang dilakukan dan dilakukan syabab lain toh tak berarti apa-apa, ditambah proses dakwah itu sendiri yang jumud. Syabab di tempat kerja itu, lengkap dengan segala kejumudannya, tak mampu merubah kondisi lingkungan kerjanya, tapi justru malah dia yang dirubah oleh lingkungan kerjanya. Dia menjadi “toleran” dengan kemaksiatan, mengiyakan yang menurutnya “kemunkaran kecil”.
Mungkin ada syabab yang memilih keluar dari tempat kerja itu, dengan harapan segera dapat pekerjaan baru, atau musrifnya memberi solusi. Tapi harapan itu tak kunjung terealisasi, karena sebenarnya bukan harapan syabab kalau ternyata musrifnya juga jumud. Proses halaqah dan syababnya hanya sekedar menjalankan rutinitas, bukan seperti adanya halaqah yang sesungguhnya. Untuk syabab yang memilih pilihan kedua ini juga tidak boleh tidak, jumud.
Kedua, setelah pekerjaan ada problematika syabab yang menyebabkan jumudisasi. Yakni masalah keluarga. Ambil contoh saja begini, syabab yang tidak terlalu bermasalah dengan lingkungan kerjanya, tapi syabab melihat teman sebayanya sudah menikah dan berkeluarga. Sementara pekerjaannya tidak menjamin syabab tersebut untuk bisa berbagi buat istri dan anaknya kelak, gajinya hanya mungkin cukup untuk jajan sebagai anak kost atau sekedar buat beli minyak tanah buat ibunya di rumah. Di sisi lain, jodoh tak jua menghampiri dirinya atau memang para calon isteri itu, tidak mau dijodohkan dengan syabab yang gajinya untuk beli baju jilbabnya saja nggak cukup. Kemana syabab itu mengadu, kalau tidak ke musyrif atau ke teman halaqah-nya. Namun disitu dia tak bisa menemukan jawaban yang jitu. Itupun kalau syabab mau curhat dengan musyrifnya, karena menurut pandangannya, musyrifnya saja belum menikah, dan mungkin lagi mengalami problem yang sama dengan dirinya, jauh dari jodoh dan rizki, bagaimana syabab itu akan mengadu pada musyrif. Klop, jumudisasi itu terus berjalan cepat, lebih cepat dari proses dakwah. Siapa yang cepat dialah yang menang.
Di waktu yang lain, ada syabab akhirnya dengan kondisi serba pas-pasan, bukan berani, tapi nekat untuk menikah. Jodoh yang didapatpun, pas-pasan juga, bisa dibilang cantik tapi pas, bisa dibilang baik tapi pas. Proses pernikahanpun dilakukan, syabab yang dengan sisa-sisa idealismenya tadi, mencoba untuk membuat ideal pernikahannya, tapi usahanya itu sia-sia, karena jodoh itu ternyata pas ketemu di jalan. Artinya, jodohnya bukan orang yang memegang Islam dengan baik, keluarganya apalagi. Menyerahlah si syabab, dibuat pernikahannya seideal mungkin, walaupun akhirnya terjadi penyimpangan disana-sini.
Proses pernikahan belum berjalan lama, tapi jumudisasi lebih tua dari umur pernikahan syabab. Dimulailah, syabab merintis usaha kecil-kecilan, pekerjaan sambilan (wiraswasta). Di pekerjaan lamanya, syabab bekerja mulai pagi sampai sore, di pekerjaan barunya, mulai bekerja sore kadang sampai malam. Lalu dimana waktu dakwah? Dakwah kalau sempat saja, kalau pas ketemu orang disampaikan dakwah, karena syabab sudah menemukan dalil “Mencari nafkah khan hukumnya wajib?”, “Khan masih ada yang muda (yang belum berkeluarga), saya dikurangi aja taklif dakwahnya”. Dakwah adalah aktifitas wajib yang kontinu, tidak bisa berhenti hanya karena masalah si pendakwah sudah berkeluarga atau taklif dakwah itu harus hilang karena ada taklif lain. Sungguh Naif.
Sebulan-dua bulan, tidak terasa pekerjaan, isteri, anak dan harta telah menyita waktu dakwah. Dakwah sudah menjadi nomor buncit. Kesibukan itu mengalahkan perhatian syabab untuk mencari halaqah umum, mengalahkan perhatian musyrif pada halaqahnya. Bahkan sampai-sampai waktu dan jadwal halaqah-pun menjadi lupa. Problem ini tak segera di respon oleh musyrif, sementara musyrif mengalami hal serupa, maka tepat sekali kalau ini disebut jumud, entah jumud yang keberapa.
Ada juga syabab yang sudah mapan dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Tapi demi melihat atau merasakan “koq, musyrif saya jumud”, “koq temen halaqah saya jumud”, “koq syabab saya jumud”, maka syabab yang tadinya tidak jumud itu berpikir “kenapa nggak sekalian aku ikut jumud”. Karena dia merasa sendiri berdakwah, artinya di jalan mana saja berjalan, syabab akan melalui pintu jumudisasi tadi. Padahal semakin lama syabab dibiarkan jumud, baik oleh musyrifnya atau karena syabab itu sendiri, maka akan semakin sulit penyelesainnya. Ibarat tinta yang tumpah di kain, namun tak segera dicucinya kain itu, tapi malah dibiarkan. Apa pilihan terakhir bagi orang seperti itu? Selain terpaksa memakai kain itu tapi dengan sisa tintanya yang sulit dihilangkan, atau membuang kain itu sama sekali untuk tidak memakainya lagi. Begitulah jumudisasi syabab, harus segera diselesaikan, kalau tidak maka dia akan dihadapkan dua pilihan tadi, tetap berdakwah tapi jumud menyertainya, atau meninggalkan dakwah sama sekali.
Disebutkan di kitab “Dukhulul Mutjama” (terjun ke masyarakat) “ketika hizb berdiri didepan pintu masyarakat, dan tidak kunjung berhasil memasukinya dengan mudah dan cepat, maka realitas parpol yang bersenyawa dengan masyarakat akan dijadikan alasan/bukti bagaimana partai tersebut mampu masuk dan mengambil kendali masyarakat, mengalahkan hizb”. Para syabab sekarang memang sedang berdiri di depan pintu masyarakat, tetapi dengan sejuta alasan jumudisasi tadi, proses dakwah tak menemui kejayannya, syabab kemudian tergoda untuk melirik uslub bahkan metode dan tariqoh lain dan mulai terkikis kesetiannya pada fikroh, tariqoh dan uslub hizb. Disadari atau tidak, syabab banyak berhibur dengan uslub selain hizb, dia merasa nyaman dengan uslub itu, semakin menggunung ketika kenyamanan itu tidak segera direspon musyrifnya.
Masih di kitab yang sama Syekh Taqiyudin an-Nabhani menulis “….begitu pula, Hizb wajib menjaga uslub yang dipilih dan ditentukan, seperti halnya menjaga fikroh dan tariqoh….. oleh karena itu, setiap kesalahan, meskipun tidak disengaja melaksanakan jenis pemikiran baik menyangkut fikroh, ataupun uslub yang dipilih dan ditentukan, dapat dianggap kesalahan yang berbahaya… apabila dilakukan dengan sengaja dan terus menerus, maka dapat dianggap sebagai bentuk penyelewengan yang disengaja”. Syabab teledor terhadap jadwal halaqoh, absensi syabab yang buruk pada pertemuan rutin seperti JM ataupun HS dianggap hal biasa. Seperti halnya orang biasa yang datang terlambat ke kantor, atau sama seperti orang biasa, yang molor atau ingkar membuat janji dengan rekan kerjanya. Lalu dimana karakteristik syabab? Bukankah syabab berbeda dengan orang biasa dalam hal ini? Bukankah seorang syabab menjadi mulia dengan dakwahnya ? Lalu siapa orang yang mendapat pahala 50 kali pahala para sahabat Rasulullah itu?
Halaqah atau pertemuan JM atau HS memang hanya uslub, tapi itu uslub yang telah dipilih dan ditentukan, sesuai dengan apa yang disampaikan Syekh Taqiyudin tadi, bahwa kalaupun uslub itupun juga dilanggar, maka akan samalah seperti kita membiarkan seseorang membuang puntung rokok yang masih menyala di sebuah ladang minyak yang berbahaya tentunya. Kecil memang api dari rokok itu, tapi kalau perbuatan kecil ini dibiarkan bukan hanya berbahaya bagi perokok tadi, tapi bagi semua orang yang ada di ladang itu. Itulah, mengapa syabab jumud, karena dia menyaksikan atau dia melakukan sendiri dirinya atau syabab dibiarkan oleh musyrifnya terlambat datang memenuhi janji halaqahnya, ini merusak dakwah sekaligus membuat peluang syabab untuk jumud.
Seorang musrif yang tidak melakukan monitoring terhadap syabab adalah kesalahan, sama salahnya dengan seorang masul, atau naqib ataupun a’dho yang mengangkat orang-orang tertentu, untuk menyelesaikan masalah seorang syabab. Karena permasalahannya bukan terletak pada syabab yang tidak mau atau tidak bisa menyelesaikan masalahnya, tapi karena musyrif tidak menjalankan kewajibannya untuk melakuan monitoring/mutabaah. Sekali lagi monitoring hanya uslub, yang asal hukumnya mubah tapi kalau ini dibiarkan, sementara aktivitas dakwah tidak akan berjalan sempurna dan efektif jika tanpa mutaba’ah, maka seorang musyrif yang cuek dengan masalah ini, sama saja dengan melalaikan dakwah itu sendiri.
Syabab yang membiarkan dirinya tidak membina umat dengan berbagai alasan adalah juga merupakan kesalahan, meskipun mencari halaqah umum itu juga hanya uslub, tapi sekali lagi itu uslub yang telah dipilih dan ditentukan (ditabani) oleh hizb. Apabila ini dibiarkan berlanjut, bukan saja telah berbuat dosa, tapi juga menjadi beban bagi dakwah itu sendiri. Bukankah eksistensi syabab adalah dalam rangka memperingan tugas dakwah yang diemban secara individu, bukannya malah membebani?
Pada awal abad 20 M, disebutkan di kitab “Mafahim Hizb”, “ …muncul banyak penghalang yang memisahkan Islam dengan kehidupan …. Pertama : …….mayoritas kaum muslimin mempelajari Islam hanya sekedar ilmu belaka, seakan Islam adalah filsafat yang bersifat khayali dan teoritis semata …, kedua. …. Orang-orang yang mempelajari Islam telah menjadi ulama yang jumud, ibarat buku yang berjalan, atau menjadi penasehat yang selalu mengulang-ulang ucapan dan perkataanya yang kering dan menjemukan”. Syabab memang tidak berpikir akan seperti yang digambarkan Syekh Taqiyudin itu, tapi kejumudan yang disebabkan oleh syabab itu sendiri, telah membuatnya melakukan itu. Syabab dengan tidak rutinnya datang halaqah, baik karena punya anggapan bahwa musrifnya menyampaikan halaqah terlalu monoton atau karena syabab itu sendiri yang menganggap halaqah hanya rutinitas transfer ilmu semata. Artinya bagi syabab tersebut tidak hadir halaqah tidak masalah, sebab inti materi yang disampaikan sudah pernah dia terima, dan hanya akan mengulang saja, seperti layaknya pelajaran hafalan. Sehingga tidak salah apa yang ditulis diatas, jumud terjadi bisa karena proses penyampaian tsaqofah (baca :halaqoh) yang salah. Dalam “qanun idari” atau di kitab “ta’rif hizbut tahrir” bahwa halaqah adalah tasqif (pembinaan), dimana dalam tasqif ada dua mata pedang yang harus selalu diasah, yakni muroqobah dan mutabaah. Muroqobah adalah kedekatan, halaqah merupakan proses memahamkan syabab terhadap materi yang disampaikan oleh seorang musyrif, yang mana di tangan musyriflah, mengerti tidaknya syabab itu terhadap materi halaqah. Sehingga kalau kemudian ada masalah dengan syabab, baik menyangkut materi maupun masalah pribadi syabab, maka kedekatan itu yang harus dimanfaatkan, maka musyrif bisa jadi adalah teman sejati bagi syabab.
Maka mata pedang yang kedua, yakni mutabaah juga harus dilaksanakan sebagai upaya monitoring permasalahan syabab, ada masalah nggak dengan materi halaqah, paham nggak dengan materi, syabab itu punya masalah pribadi nggak, dst. Ketika, dua pedang tasqif itu dilaksanakan maka halaqah tidak akan sama dengan taklim atau tabligh. Sebab diciptakannya uslub halaqah memang bukan untuk itu tapi tasqif.
Ketika dipahami bahwa musyrif dan syabab sedang melakukan proses tasqif, maka adalah tidak benar kalau kemudian ada syabab terlalu berharap banyak untuk bisa memuaskan dirinya dengan tsaqofah Islam atau pengetahuan Islam, kemudian syabab merengek kepada musyrif atau hizb. Hizb dengan tsaqofahnya akhirnya memunculkan fikroh, tariqoh dan uslub, artinya tsaqofah yang disediakan oleh hizb adalah tsaqofah murakazah, tsaqofah yang untuk bisa memahaminya perlu belajar tsaqofah lain, seperti bahasa arab, tafsir, hadits dll. Seperti sudah disampaikan dalam kitab “ta’rif” kalau hizb adalah hizbun siyasiyun bukan madrasah, sehingga untuk belajar seluruh tsaqofah Islam, syabab tidak akan bisa menemukannya dalam hizb.
Karena keberadaanya sebagai partai politik tidak mengharuskan bagi hizb untuk menyibukkan diri guna membekali syabab dengan seluruh tsaqofah Islam secara lengkap. Jadi syabab yang beralasan tidak bisa bahasa arab karena musyrif tidak pernah mengajarinya, adalah alasan yang salah kaprah. Keberadaan musyrif tidak untuk mengajarkan bahasa arab tapi memahamkan bahasa arab bagi syabab dan syabab tidak bisa bahasa arab adalah tanggung jawab musyrif untuk mencarikan pemecahannya, dan juga tugas bagi syabab untuk thalabul ilmi. Secara sadar syabab akan membekali dirinya dengan bahasa arab sebagai “pelicin” bagi dakwahnya. Dan sebuah kesalahan besar, dengan beralasan belajar bahasa arab, kemudian mengorbankan halaqoh yang harusnya jadi tempat untuk menyampaikan tsaqofah murakazah, bukan belajar mengeja bahasa arab, karena sekali lagi halaqah adalah tasqif bukan taklim. Apabila proses halaqah telah berubah dari tasqif menjadi taklim, maka halaqah dapat disimpulkan seperti proses transfer ilmu belaka, dan ketika merasa syabab itu sudah pernah mempelajari ilmu itu, dia enggan belajar (baca: halaqah). Kalau sudah enggan halaqah, maka artinya ini adalah investasi bagi kejumudan syabab dan dakwah itu sendiri.
Seperti diawal sudah disinggung, bahwa syabab berbeda dengan orang biasa. Berbedanya bukan karena statusnya sebagai syabab, melainkan karena dia terpilih untuk menjadi pengemban mabda yang agung berupa Dienul Islam. Adakah yang lebih mulia dari Islam ? emas permata-kah ? pekerjaan yang menjajikan-kah ? Isteri yang cantik-kah ? Itu hanya pantas bagi orang biasa. Memang, syabab bukan manusia luar biasa menyamai malaikat, syabab adalah manusia biasa yang mempunyai kebiasaan berbeda dengan manusia biasa, dalam tingkah laku, pemikirannya atau perasaannya. Semuanya diikat pada satu aqidah yaitu Islam. Proses itulah yang menyebabkan syabab seperti itu, halaqah/ tasqif yang menjadikan manusia menjadi syabab. Kalau masih ada syabab bertingkah laku, berpikir, berperasaan seperti orang biasa berarti dia orang biasa bukan syabab.(LBR)
Insya Allah Kepompong Ramadhan
(penggalan 3 dari 4 tulisan)
Episode I’tikaf II
Episode i’tikaf malam ke 25 super special bagi kepompong, karena dalam salah satu agenda acara yang telah disampaikan hari sebelumnya, bahwa shalat tarawih yang sebelumnya sudah dilaksanakan seusai sholat Isya, rencananya akan ditambah pada saat jadwal qiyamul lail. Istimewanya pada sholat tarawih sambungan itu, sudah diberitahukan kepada jamaah bahwa selama pelaksanaan tarawih akan dibaca 1 juz pada bacaan suratnya oleh Imam yang juga sekaligus hafiz quran. Subnallah, ini kesempatan langka yang tidak kepompong sia-siakan.
Pada sesion kajiannya membahas tentang menyikapi antara cobaan dengan malapetaka. Sebagai permualan perbandingan antara musibah dan malapetaka, coba kita simak firman Allah SWT, berikut ini:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum 40)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah 155-157)
Ayat yang pertama berbicara tentang malapetaka yang nyata disebabkan oleh tangan manusia (bima kasabat aidinass) karena perbuatan tangan manusia. Sedangkan ayat yang kedua berbicara tentang ujian atau cobaan dari Allah SWT.
Coba kita simak hadis berikut ini untuk lebih memahami yang namanya ujian atau cobaan. Saad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw., 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujian dan cobaannya?' Nabi saw. menjawab, 'Para nabi, kemudian yang menyerupai mereka, dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya tipis (lemah), dia diuji sesuai dengan itu (ringan); dan bila imannya kokoh, dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa'." (HR Bukhari)
Sesungguhnya ujian bagi seorang hamba itu berdasarkan agamanya. Jika agamanya kuat, ia akan diuji dengan ujian yang berat. Sebailknya, jika agamanya lemah, ia akan diuji dengan ujian yang ringan. Para rasul dan para nabi adalah orang-orang yang utama karena mereka mendapat ujian dari Allah sangat berat. Ujian yang mereka terima tidak akan sanggup dipikul oleh orang biasa (awam). Ketika berdakwah menyebarkan agama Islam, Rasululah saw. dituduh sebagai tukang sihir. Beliau difitnah dengan berbagai macam cara oleh orang-orang musrik kaum Quraisy. Orang-orang kafir membuat makar kepada Rasulullah, tetapi akhirnya Allah memenangkan agama Islam ini.
Sedangkan, untuk perkara musibah atau malapetaka yang disebabkan oleh tangan manusia, layaknya kita simak hadis berikut ini:
Ada lima perkara (yang harus kalian waspadai)—aku berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian: 1. Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka. 2. Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan diazab dengan paceklik, kesusahan hidup dan kezaliman penguasa. 3. Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat, melainkan mereka akan dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan itu tidak akan diturunkan. 4. Tidaklah para pemimpin mereka melanggar penjanjian Allah dan Rasul-Nya, kecuali Alah akan menjadikan musuh menguasai mereka, lalu merampas sebagian yang ada dari apa yang ada di tangan mereka. 5. Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka (HR Ibnu Majah).
Peringatan Baginda Nabi saw. ini semestinya menjadikan kita khawatir dan takut. Karena itu, kelima perkara yang diisyaratkan dalam hadis ini wajib harus dihindari. Perzinaan harus segera diberantas sampai ke akar-akarnya (bukan malah dilokalisasi dan dipelihara); ekonomi curang harus segera ditinggalkan (termasuk segala transaksi yang didasarkan pada ekonomi kapitalis seperti perbankan ribawi, bursa saham dan valas, utang luar negeri, privatisasi BUMN, dll); zakat harus segera ditunaikan; perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya tidak boleh dilanggar; dan hukum-hukum Allah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah harus segera diterapkan oleh negara. Jika tidak, berarti kita sedang menantang datangnya musibah yang lebih dahsyat, sebagaimana diisyaratkan Baginda Nabi saw. di atas. Jika demikian, betapa sombong dan bodohnya kita.
Sahabat, dengan memahami secara benar antara ujian/cobaan dengan musibah/ malapetaka, maka akan melahirkan penyikapan yang tepat. Kebanyakan dari kita menyangka bahwa semua yang menimpa kita adalah ujian/cobaan. Jadi kemiskinan yang menimpa negeri ini misalnya, dianggapnya sebagai ujian/cobaan, sehingga karena hanya ujian cobaan, maka sikap yang diambil kebanyakan dari kita hanya mengucapkan kalimat istirja’ “innalillahi wa innaillahi roji’un” dan sabar. Padahal yang namanya kemiskinan dan sejenisnya lebih disebabkan oleh “tangan” manusia, dalam hal ini penguasa yang disebut dengan kemiskinan structural. Bagaimana tidak dikatakan ada “tangan” manusia pada masalah kemiskinan, jikalau penguasa membiarkan kekayaan negeri ini yang harusnya dinikmati oleh rakyat sendiri, tapi dijual oleh pemerintah kepada asing dengan alasan PMA. Atau pemerintah mulai abai alias cuci tangan pelayanannya kepada rakyat, dengan menyerahkan urusan sekolah, kesehatan dan juga keamanan kepada publik atau masyarakat sendiri. Urusan kebutuhan pokok rakyat, mulai di swastanisasi atau komersialisasi, seperti Listrik, BBM dan sebagainya.
Sekali lagi, penyikapan terhadap musibah atau malapetaka yang tepat itu lahir dari pemahaman yang benar tentang apa itu musibah (QS Ar Rum 41), yang ternyata berbeda dengan cobaan/ujian (QS Al Baqarah 155-157). Sehingga untuk menyikapi musibah atau malapetaka, kita tidak cukup hanya bersabar dan menunggu Allah mendatangkan pertolongannya, melainkan kita harus melakukan sebuah “action”. Apa bentuk aksi itu? Tentu saja, karena sebagian manusia telah berbuat “kerusakan”, maka sebagai aksi lawannya adalah melakukan “perbaikan”. Dan metode untuk melakukan perbaikan telah dicontohkan oleh Rasulullah, yakni berupa “dakwah”. Pertanyaan berikutnya, dakwah seperti apa? Ya, berarti memang tidak dakwah sekedar berdakwah, alias perbaikan tidak sekedar perbaikan, melainkan dakwah yang “merubah” yakni dakwah revolutif yang menyentuh akar pokok persoalan dan menuntaskan problem utama umat.
Subhanallah, I’tikaf malam itu memang anugerah terindah bagi si kepompong, selain pikirannya lebih tercerahkan, juga dirinya lebih memahami dalam menyeimbangkan antara ujian yang menimpanya dengan musibah yang menimpa masyarakat, yang memang harus disikapi dengan dakwah. Ya, spirit dakwah tercharger full malam itu. Alhamdulillah, siap memfolow-up-i mad’u dakwah dari 3 sekolahan pasca Sanlat. Bismillah.
Episode I’tikaf III
Setiap malam ganjil memang tidak terlewatkan bagi kepompong untuk hadir di masjid tersebut. Malam 27 itu merupakan malam terakhir dirinya I’tikaf di masjid tersebut, karena esoknya kepompong harus mudik, menemui keluarga tercintanya. Malam istimewa itu, jadwalnya adalah dzikir bersama dan baru dilanjutkan dengan kajian. Dzikirnya baru dimulai pukul 22.00 WIB karena sebelumnya ada sholat tarawih istimewa malam itu, seperti hari sebelumnya dibacakan 1 juz al-quran. Dan kajiannya dilaksanakan seusai dzikir bersama, sekitar pukul 01.00 dini hari.
Pada penggalan acara dzikir, tentu saja kekhusyuan membersamai para peserta. Tak Nampak satu mata pun di malam itu yang tak meneteskan air mata dengan deras. Kalimat istigfar mengantarkan kita untuk mengingat semua dosa kita, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Yang besar maupun kecil, yang kita lakukan sendiri maupun secara bersama. Kita munajat kepada Allah di malam yang mulia itu, mengampuninya dan menghapusnya.
Dzikir tasbih, mengajak kita untuk menyucikan Allah yang selama ini barangkali kita kotori dengan niat tidak ikhlas kita dalam berbuat. Kita mohon Allah menerima kalimat tasbih kita, dengan diampuni segala khilaf kita dalam berniat. Dzikir tahmid, menegur kita agar kita ingat atas setiap nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita, baik yang kita minta maupun yang tidak kita minta, baik yang besar maupun kecil, baik nikmat yang malam itu diingat atapun yang sudah terlupa, baik yang telah dianugerahkan oleh Allah mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, mulai dari kita lahir, hingga kita kelak mati. Baik nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita sendiri, maupun kepada keluarga dan orang-orang terdekat kita. Dzikir kalimat takbir, mengantarkan kita untuk sadar bahwa kita kecil dan hanya Allah yang besar. Kita tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Allah, ibarat sebutir pasir di pantai diantara jutaan butir pasir yang lain.
Begitulah, kalimat-kalimat dzikir membasahi bibir kami malam itu, disambut dengan derasnya air mata. Tentu saja, disertai komitmen bagi setiap dari kita, untuk tidak melakukan dosa, kesalahan, kemaksiatan, penyimpangan baru dan juga semangat untuk berdakwah lebih giat. Apalagi setelah kegiatan dzikir di sesi kajian disampaikan materi tentang Nasrullah dan Bisyaroh. Berikut petikan resumenya yang ingin kepompong bagi kepada sahabat sekalian;
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah 214).
Allah Swt. berfirman: Am hasibtum an tadkhulû al-jannah (Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga). Menurut beberapa mufassir, huruf am itu munqathi‘ah (tidak bersambung dengan kata atau kalimat sebelumnya). Lebih lanjut, al-Ajili mengurai bahwa huruf am bermakna: bal dan al-hamzah. Kata bal untuk menunjukkan terjadinya perpindahan dari suatu kalimat ke kalimat lain, sementara huruf hamzah al-istifhâm memberikan makna li al-inkâr wa tawbîkh (pengingkaran dan teguran). Artinya, tidak sepatutnya kalian memiliki perkiraan atau anggapan demikian. Teguran tersebut berguna untuk melecut dan mendorong semangat mereka agar tetap bersabar.
Agar bisa sukses menghadapi berbagai ujian tersebut, penghayatan terhadap ayat ini menjadi amat penting. Menurut ayat ini, setidaknya ada dua keuntungan besar yang dapat dipetik ketika seseorang tetap tegar, sabar, dan istiqamah dalam menghadapi berbagai ujian keimanan. Pertama; bisa masuk surga. Jika ayat ini menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang yang mengira masuk surga sementara mereka belum terbukti dapat bersabar dan tetap istiqamah dalam keimanan tatkala menghadapi cobaan berat seperti yang dialami Rasul dan kaum beriman terdahulu, maka ayat ini bisa dipahami sebaliknya (mafhûm mukhâlafah). Artinya, jika mereka mampu bersabar dan tetap istiqamah dalam situasi apa pun, mereka boleh berharap dan merasa yakin bisa masuk surga.
Dengan harapan dan keyakinan tersebut, seseorang bisa terlecut semangatnya untuk bersabar dan kuat menahan berbagai beban penderitaan yang dihadapinya, betapapun berat penderitaan itu. Sebab, sebagaimana telah dimaklumi, surga adalah sebaik-baik tempat kembali. Di sana terdapat aneka kenikmatan tak terkira. Semua perkara yang diinginkan hati dan sedap dipandang mata dapat dinikmati di sana (QS al-Zukhruf 71).
Al-Quran banyak mengisahkan kaum yang sukses melewati cobaan saat mereka memiliki keyakinan tersebut. Demikian juga para sahabat Nabi saw. Mereka mampu bersabar menghadapi berbagai upaya jahat kaum musyrik. Keluarga Yasir, misalnya, mampu bersabar meskipun menerima siksaan di luar batas kemanusiaan. Sikapnya makin kukuh ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: Shabr[an] âla Yâsir, fainna maw’idakum al-jannah. (Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya yang dijanjikan kepada kalian adalah surga). Sumayyah—istri Yasir—pun menyahuti dengan penuh kayakinan, “Innî arâhâ zhâhirat[an], yâ Rasûlullah,” (Sesungguhnya aku telah melihatnya secara jelas, wahai Rasulullah).
Kedua: mendapatkan pertolongan Allah Swt. dalam waktu dekat. Ayat ini memberikan kabar gembira kepada Rasul dan kaum Mukmin yang mengalami penderitaan hingga mencapai puncaknya berupa dekatnya pertolongan Allah Swt. Kejadian serupa juga dapat mereka alami. Tatkala ujian penderitaan yang mereka hadapi sampai pada klimaksnya, itu menjadi pertanda pertolongan-Nya segera tiba. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya para saksi (Hari Kiamat). (QS Ghafir 51).
Keyakinan dan harapan akan dekatnya pertolongan Allah Swt. ini juga bisa membuat seseorang menjadi kian tegar dan tabah menghadapi berbagai ujian. Siapa yang tidak bergembira ketika penderitaannya segera berlalu dan kebenaran segera menang? Al-Quran pun menyebut pertolongan Allah Swt. dan kemenangan yang dekat sebagai perkara yang dicintai manusia (QS ash-Shaff 13).
Pertolongan hanya di tangan Allah Swt.; tidak akan datang kecuali dari-Nya (QS Ali Imran 126, al-Mulk 20, al-Kahfi 43). Ditegaskan pula, siapa yang ditolong Allah Swt., tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebaliknya, jika Allah Swt. membiarkannya, tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya (QS Ali Imran 160).
Dengan demikian, pertolongan Allah Swt. merupakan anugerah tak terkira. Tentu lebih membahagiakan jika anugerah itu segera tiba. Andai pertolongan yang dinantikan itu belum juga datang, mereka bisa melakukan evaluasi diri, apakah usaha yang mereka lakukan belum serius atau penderitaan yang mereka alami belum mencapai puncaknya.
Kita meyakini tanpa keraguan sedikit pun bahwa segala keberhasilan dan kemenangan semata karena pertolongan Allah Swt. Jika Allah menurunkan pertolongan-Nya, tak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Demikian pula jika Allah Swt mencabut pertolongan-Nya, tak ada seorang yang bisa mencegahnya. Ini berarti, untuk memperoleh keberhasilan dan kemenangan, mutlak dibutuhkan pertolongan Allah. Dan untuk mendapatkan pertolongan-Nya, tak usah kebingungan. Sebab, Allah Swt telah menjelaskan langkah yang harus kita tempuh. Langkah yang harus tempuh adalah menolong agama-Nya sebagaimana ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS Muhammad 7).
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS al-Hajj 40).
Pengertian ‘menolong Allah’, bukanlah bermakna hakiki. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth bahwa ungkapan tersebut bermakna menolong agama-Nya. Syekh Abdurrahman al-Sa’di dalam Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân menjelaskan bahwa amaliyyah praktis ‘menolong Allah’ adalah dengan melaksanakan agama-Nya, berdakwah kepadanya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya, yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah Swt. Ustadz Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam Haml al-Da’wah Wâjibât wa Shifât juga menegaskan bahwa ungkapan ‘menolong Allah’ itu meliputi: mengimani syariah yang dibawa Rasul, berpegang teguh dengan hukum-hukum dibawa, mentaati perintah, dan menjauhi larangannya.
Dari semua penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘menolong Allah’ itu adalah bertakwa kepada-Nya. Yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, dan disempurnakan lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah. Rasulullah saw bersabda:
Seorang hamba tidak sampai menjadi muttaqin hingga meninggalkan apa yang sebenarnya boleh karena khawatir terjatuh pada apa yang tidak boleh (HR al-Tirmidzi).
Takwa inilah yang harus kita kerjakan jika kita ingin mendapatkan pertolongan Allah. Dengan ketakwaan inilah kita dapat menghancurkan makar kaum kafir yang menghalangi dakwah. Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata:
Jika kita tidak mengalahkan musuh kita dengan ketaatan kita (kepada Allah), niscaya musuh akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.
Salah satu panglima dalam Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah juga pernah mengatakan: Kita memerangi manusia bukan dengan jumlah, kekuatan, dan pasukan yang banyak. Namun kita memerangi mereka dengan agama ini, yang dengan agama inilah Allah memuliakan kita (HR Ibnu Ishaq).
Berharap, dengan puasa yang ikhlas dan benar, ditambah dengan berbagai aktivitas berbagai ibadah nafilah di bulan Ramadhan, dan peningkatan aktivitas dakwah yang kita lakukan, membuat kita tercatat sebagai hamba-Nya yang muttaqin, sehingga Allah Swt pun memberikan pertolongan-Nya kepada kita. Berbagai kemudahan kita dapatkan dalam dakwah menegakkan syariah dan khilafah.
Sahabat, yuk kita tingkatkan semangat untuk melakukan aktivitas dakwah, menggencarkan aktivitas rekrutmen, dan membangun opini syariah dan khilafah di tengah-tengah masyarakat. Insya Allah, dengan kesungguhan, keseriusan, kesabaran, dan keikhlasan kita dalam menolong agama-Nya, Allah Swt berkenan memberikan pertolongan-Nya kepada kita. Kita tinggalkan egoisme kita, tinggalkan rasa sakit hati kita karena seseorang, karena sesungguhnya yang punya surga dan bisa memberi pahala hanya Allah Swt., maka berharap dan bersandarlah hanya kepada Allah SWT.
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Dear Sobatku di jalan dakwah,
Alhamdulillah wa sholawatu ‘ala rasulillah, wa la qaula wa la quwata illa billah. Ama ba’du.
Kaifa halukum? Lama saya tak menyapa antum semua sebagai seorang kakak, sebagai seorang teman yang dulu (saat kita pertama kali bertemu dan berkumpul) hingga detik ini, masih punya ghiroh memperjuangkan Islam.
Kawan, masih ingatkah engkau saat kita bersama-sama bersusah payah, bermandi hujan, berlari tersendat, mengayuh dalam kepayahan yang mungkin hingga saat ini masih ada yang melakukan hal seperti itu.
Ada yang ikhlas mengayuh sepeda pancal dari Setro sampe ke Ketintang. Ada yang rela bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan siaran radio. Ada yang harus mau menyisihkan uang jajannya, hanya demi nombokin kekurangan panitia. Ada juga yang mau-maunya, ngisi acara tapi nggak dapat uang saku. Ada yang rela waktu tidur, istirahat dan bermainnya jadi terganggu, karena harus nulis di bulletin, bikin acara, dsb nya.
Itu memory yang sebagian masih terlintas di benak saya. Tak lupa pula, saya juga masih ingat kalo saya pernah berbuat salah, khilaf pada kawan-kawan semuanya. Saya pernah memarahi, memaki, mencemooh, meremehkan. Maka mumpung masih ingat semua keburukan itu, saya minta maaf kepada kawan-kawan semuanya.
Kawan, kita memang sekarang terpisah oleh jarak, meski sesekali saya bersua dan saling menyapa kalian di dunia maya. Ada kangen yang merasuki relung hati saya untuk berjumpa dan ngobrol bareng dengan kalian, CLBK (cerita lama bersemi kembali)….
Ada diantara kalian yang sekarang sudah bekerja, ada yang masih kuliah, atau dua-duanya kerja dan kuliah, atau bahkan diantara kalian ada yang sudah merit dan siap-siap merit.
Kawan, ibaratnya perputaran roda, kadang hidup itu tidak selalu seperti yang kita inginkan. Adakalanya kita harus melegakan kesabaran, mengelus dada menapaki jalan hidup kita yang sebagiannya sudah kita garansikan untuk dakwah. Adakalanya juga hidup kita ditimang-timang oleh harta, dilenakan oleh kesenangan, dan kegembiraan yang jujur saja, itu bisa membuat kita terbuai karenanya.
Jujur saja ada satu hal yang saya “takutkan” ketika itu menimpa diri saya maupun saya khawatir juga menimpa diantara kalian. Satu hal itu adalah “FUTUR”, ya dalam teori saya menyebutnya Futur-isme. Menurut hemat saya, futur itu adalah sebuah “bonus” dari Allah yang diberikan agar kita bisa naik tingkat. Maka konsekwensinya cuman ada dua, kita lolos atau kita lulus. Jika kita pinter memanej, pandai mensiasati, canggih menghadapi, maka Insya allah kita lulus. Tapi sebaliknya kalo kita kurang pinter, nggak pandai, atau belum canggih, maka kita bisa lolos alias tinggal kelas.
Bagaimana sebenarnya Allah men-teori-kan futur itu? Coba perhatikan surat cinta dari Allah di Al-Ankabut ayat 2-3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? ….. Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Itulah hakekatnya kita di tes oleh Allah. Sekali lagi bagi yang nggak tahan uji, maka jelas sekali bahwa futur adalah “comfort zone” alias zona nyaman untuk berlari dan mendekam disitu.
(maaf kawan, bukan saya sombong tapi saya hanya sekedar berbagi sebagai orang yang “lebih dulu” lahir daripada kawan-kawan semuanya). Ada yang diuji dengan kekurangan harta, sehingga selepas SMA fokus hidupnya bukan lagi dakwah, tapi kerja, dan cari duit. Bahkan kalo perlu keluar negeri sekalipun akan dijabani. Ada yang diuji dengan keluarganya, sehingga lebih mencintai keluarganya daripada cintanya kepada Islam dan umat. Ada yang diuji dengan pekerjaan atau kuliahnya, sehingga menjadikan dakwah sebagai ‘kambing hitam’ persoalan. Sampe muncul opsi mana yang harus dikalahkan dan mana yang harus menang. Itulah yang dari dulu sering saya sebut ujian itu dengan singkatan 3K (Kuliah, Kerja dan Keluarga). Ujungnya ada diantara kita yang sudah terlempar karenanya. Menghinakan diri (maaf) dengan menekuni dunia. Semoga setelah ini, tidak ada lagi yang terlempar dan terbuang dari arena dakwah. Amin.
Kawan, saya punya teori atau jurus menghadapi si futur. Silahkan kalo kawan-kawan mau mendebat teori saya, atau silahkan juga kalo ada yang percaya dan memakainya untuk menghadapi si futur. Menurut hemat saya, futur itu suatu saat akan datang menghampiri setiap dari kita, hatta orang yang sholeh, taat sekalipun. Rasulullah Saw saja pernah mengalami hal itu. Coba antum perhatikan perikehidupan beliau Saw saat ditinggal oleh Istri tercintanya Khadijah sekaligus juga ditinggal oleh pamannya Abu Thalib. Beliau futur, tapi karena beliau adalah diantara kekasih Allah, maka Allah menghiburnya dengan isro wal miroj dan janji kemenangan Islam. Maka setelah itu bangkit bersama para sahabat yang lain, bahwa masa depan bisa ditorehkan mungkin tidak di Mekah, tapi Allah memberi tempat yang tepat, yakni Madinah.
Nah, kawan. Teori saya menyatakan “agar kita siap dan sekaligus kuat jika suatu saat si futur itu datang tiba-tiba menghampiri kita, maka ada 2 kedekatan (taqarub) yang harus senantiasa kita bangun dan kita pelihara”. Yang pertama taqarub kepada Allah Swt, yang harus kita lakukan setiap saat, setiap waktu dan kita harus berkomitmen bahwa kita harus menjadi “kekasih” Allah layaknya Rasulullah dan para sahabat. Kita lakukan amalan yang dicintai oleh Allah seperti sholat malam, baca quran, puasa senin-kemis, sholat dhuha, dan sebagainya. Tak lupa pula amalan wajib seperti berdakwah, berarti harus makin giat dan semangat. Nah, konsistensi ini harus kita jaga dan kita pelihara, agar kita kuat menghadapi si futur.
Yang kedua, kedekatan yang harus kita bangun dan pelihara adalah taqarub kepada musrif (guru ngaji) kita. Ingat, bahwa musrif itu mempunyai dua mata pedang, yang satu bernama muqarabah (kedekatan), yang kedua mutabaah (monitoring). Ya, kita harus dekat dengan musrif kita, karena musrif itu adalah orang tua kita, saudara kita, kakak kita dan seterusnya. Ketika kita menghadapi masalah pekerjaan, belum dapat kerja, atau penghasilan pas-pasan, kita curhat saja ke musrif. Ketika kita pengin nikah, dan lagi dekat dengan seorang akhwat atau pengin dikenalkan seorang akhwat langsung aja bilang ke musrif. Musrif itu yang utama dan pertama yang harus tahu permasalahan kita. Dan yakinlah bahwa ketika ada “aturan administrasi” membuat teori tentang musrif, itu sudah tepat, nggak perlu diragukan lagi. Ketika kita jauh dari musrif, halaqah sering terlambat, atau bahkan halaqah tidak datang, itu adalah penyumbang bagi rasa futur kita. Karena kita merasa jauh dengan musrif kita.
Kawan, dua kedekatan diatas harus sinergi, harus berjalan bareng, nggak bisa salah satu meninggalkan yang lain, atau mengabaikan yang lain. Saya pikir itulah yang membuat Rasulullah Saw (ketika berposisi sebagai manusia biasa), kuat menghadapi futur.
Demikian sebaliknya, ketika kita meninggalkan dua kedekatan diatas tadi, trus si futur datang, maka sudah pasti kita akan jadi “sampah” yang siap dibuang dari arena dakwah.
Sudah ada yang terlempar karena nggak kuat tahan godaan soal jodoh dan keluarga. Sudah ada yang terlempar karena urusan pekerjaan, penghasilan. Sudah ada yang terlempar karena interaksi ikhwan-akhwat. Sudah ada yang terlempar karena senioritas, merasa paling wah, dan seterusnya. Yang itu membuat kita kembali menilik di kitab Takatul al Hizby tentang dua bahaya, yakni “khatar mabda’I (bahaya ideologis)” dan “khatar thabaki (bahaya senioritas)”. Semoga kita yang tersisa ini, dijauhkan dari yang demikian. Amin
Wallahu’alam bi showab.
Wassalamualaikum wr wb.
Saudaramu yang kangen akan perjumpaan dengan kalian di tengah kemenangan Islam,
Luky B Rouf