Kulitnya yang tipis
hampir membungkus ketat tulang belulangnya. Punggungnya sudah tidak bisa tegak
menahan beban yang dideritanya. Langkah kaki dan ayunan tangannya tak lagi
bertenaga. Hampir semua bulu rambut memanjang, termasuk bulu hidungnya menjalar
bagaikan benalu hampir menutupi mulutnya. Usianya yang baru kepala dua, tapi
wajah dan perawakannya begitu melebihi usianya, karena giginya bisa dihitung
jari, pipinya lebih mirip kakek peyot, dan bola matanya cembung menyembul.
Pemandangan seperti itu, berbeda ketika masih 10 tahunan yang lalu. Dulunya,
dia adalah pemuda gagah yang bisa melumpuhkan hati para gajah alias gadis
jahiliyah. Pesonanya yang cool, calm, confident, dibumbui dengan dandanan yang
selalu menampakkan kejantanan, seperti tongkrongan macam motor HD, selalu bisa
membuat para wanita akan mengatainya ‘sem-pur-na’.
Ya itulah Arul Jahil,
lelaki dambaan dan pujaan para cewek waktu itu. Tetapi kini semuanya jadi berketerbalikan,
Arul yang sekarang telah menjadi pesakitan karena dihantam HIV/AIDS. Pesona Don
Juan, kini telah luntur bahkan sirna, para gadis yang dulu memujanya, kini
semua telah menjauh pergi tak tentu rimbanya. Kegemarannya ‘jajan’, gonta-ganti
pasangan, telah memberi Arul sebuah pelajaran yang tak terlupakan dalam
hidupnya, sebuah penyakit yang mematikan, AIDS.
Arul yang bernama
asli, Sahrul Gungun adalah personil dari grup musik Peterporn. Bapaknya adalah
orang yang biasa menyingkatnya sebagai Bapak Agak Gundul Sedikit, tapi
Gundulnya menaWan, disingkat Agus Gunawan. Ya, Arul memang mewarisi kegantengan
bapaknya yang dulunya juga mantan peragawan dan kini telah menjadi anggota
dewan dari Partai PKB alias Partai Kepala Banteng. Tentu memiliki anak yang
sekarang dalam kondisi seperti itu, adalah sebuah aib besar bagi Pak Agus.
Maka, Arul pun ditempatkan di rumah khusus yang bisa disebut rumah karantina
pribadi yang letaknya di Vila Bukit, Puncak. Setiap seminggu sekali, Pak Agus
yang sudah ditinggal kawin lagi sama istrinya itu, menjenguk anak semata
wayangnya, Arul. Seminggu sekali pula, biasanya didatangkan para ustadz untuk
memberikan terapi fisik maupun psikologis bagi Arul.
Pak Agus berharap sekali, Arul bisa sembuh dan normal lagi, karena
mengingat Arul adalah satu-satunya pewaris perusahaan keluarga Pak Agus. Tapi
rupanya harapan itu sedikit demi sedikit mulai tergerus pada diri pak Agus,
karena memang penyakit AIDS belum ada obatnya. Pak Agus hanya berharap sebuah
keajaiban saja terjadi pada diri anaknya tersebut.
Minggu ini adalah jadwalnya Arul untuk terapi, dan Pak Agus memilih Si Emen
untuk memberikan terapi mental, kejiwaan bagi Arul. “Saya bersedia memberikan
pembinaan atau istilah bapak adalah terapi, kepada Arul. Meskipun bisa
dikatakan ini sebagai sebuah keterlambatan, akan tetapi ini sebagai sebuah
usaha untuk menyelamatkan seorang anak manusia. Diluar sana, masih banyak
korban keganasan HIV/AIDS yang sengaja dipelihara dan dibiarkan berkeliaran
untuk menularkannya kepada yang lain. Pemerintah kita sudah pusing dengan
kriminalitas yang tiap detik terus bertambah, sehingga penjara sudah tak mampu
menampung orang jahat. Terapi mental
spiritual sebenarnya keterlambatan atas diri Arul. Justru orang yang
dalam kondisi sehat, kuat macam bapak ini yang harusnya diberikan pembinaan.
Jadi saya menawarkan yang dibina bukan hanya Arul, tapi bapak pun juga harus
mengikuti pembinaan intensif” dengan persuasif Emen
mencoba untuk meluluhkan hati bapaknya Arul. Pak Agus pun manggut-manggut,
tanda setuju atas apa yang diuraikan Emen.
Sejak saat itulah Emen, diminta secara rutin untuk mengisi kajian dan
pembinaan intensif di keluarga besar Pak Agus. Tentu ini sebuah kesempatan
dakwah yang tak boleh disia-siakan oleh Emen. Bukan karena memburu rupiah
bahkan dolar mungkin yang dimiliki Pak Agus, akan tetapi ini upaya dakwah yang
semuanya harus dilakukan secara maksimal.
“... Islam itu agama paripurna, bahkan Islam itu ideologi (mabda), itu bisa
terlihat dengan nyata kemampuan Islam menyelesaikan segala persoalan kehidupan,
bahkan terbukti sekian abad diterapkan untuk dunia. Sehingga adalah sebuah
pilihan bodoh, jika manusia masih mempertahankan ideologi dan aturan yang
terpancar darinya yang jelas-jelas rusak, macam kapitalisme yang diterapkan
negeri ini. Justru sebuah keanehan sekarang terjadi, Islam hanya diambil macam
pil penenang sebelum tidur. Islam hanya dipakai untuk terapi mental, saat
keruwetan hidup menimpa. Islam hanya ada di pojok-pojok mushola, diambil ketika
diperlukan, dicampakkan ketika merasa merisaukan...” Pak Agus hanya mendengus lirih mendengar kajian perdana Emen malam itu.
Menyisakan banyak pertanyaan dalam benak Pak Agus yang membuatnya ingin berdiskusi
lebih lanjut dengan Emen.
Dalam diri Pak Agus, muncul sebuah kegelisahan. Setelah kegelisahan atas
nasib anaknya Si Arul yang memang sulit terselamatkan. Kini keresahan itu
muncul pada dirinya sendiri, yang memang pekerjaannya sebagai anggota dewan,
pembuat hukum, tapi dikatakan oleh Emen, bahwa hukum yang sekarang ini adalah
hukum kufur dan menyengsarakan rakyat. Tentu hal ini, membuat Pak Agus tidak
terima dikatakan seperti itu.
“Sekarang coba perhatikan generasi-generasi kita yang senasib dengan Arul
bahkan lebih parah, bahkan sudah banyak juga yang sudah meninggal terhantam
AIDS. Itu semua hasil kebijakan yang telah dibuat para pemegang kekuasaan di
negeri ini, yang undang-undangnya dibuat para legeslator. Gimana nggak
dikatakan hukum kufur, lha wong hukum itu yang membuat manusia, yang berarti
mengingkari Allah sebagai pembuat hukum yang Maha Adil dan Bijaksana. Hasilnya?
Lahirlah undang-undang yang justru melegalkan kemaksiatan, macam lokalisasi
pelacuran, penyediaan ATM kondom, pornografi dan pornoaksi yang dilabeli seni,
dan sebagainya. Bukankah itu semua pekerjaan anggota dewan?” Pertanyaan itu menohok diri Pak Agus. Pak Agus semakin ‘panas’ saja
mendengar uraian Emen, tapi naluri kebenarannya mengatakan bahwa apa yang
dikatakan Emen tidak salah. Apa yang dilakukan dirinya dan rekan-rekannya di
legislatif, yang justru membuat remaja macam Arul jadi bertambah banyak
jumlahnya. Dan yang lebih parah lagi, ketika sudah ada korban macam Arul, kita
baru panik dan berlari ke Islam. Dan Anehnya, Islam hanya sebagai obat
spiritual.
Di pertemuan kajian berikutnya, Pak Agus mengajak para anggota dewan untuk
mengikuti kajian yang digelar di Vila Bukti Puncak, tempat Pak Agus biasa
bertemu Emen. Nampak pimpinan fraksi, pimpinan partai ikut dalam kajian itu,
sengaja ingin mengetahui dan berdialog langsung dengan Emen, yang menurut
cerita Pak Agus, argumennya sulit dipatahkan.
“Lalu solusi Anda Apa? Apa hanya duduk disini, mengumpulkan sekian orang,
mengumpulkan dana dan kemudian memberontak kepada pemerintah” tanya pak Hamdi dari Partai Bulan-Bulanan. Emen pun tersenyum simpul, “gerakan
perubahan ini adalah gerakan yang terjiwai dari gerakan dakwah yang dilakukan
oleh Rasulullah.... ini harus revolutif, solutif dan tanpa menggunakan
cara-cara kekerasan. Saya dan teman-teman aktif terus berdakwah seperti ini,
bahkan kami juga sudah berkali-kali menghadapi para penguasa negeri-negeri
Islam agar mereka mau menjadikan syariat Islam sebagai aturan negara. Seperti
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, waktu itu dengan mengirim surat dan
delegasi agar ‘aslam-taslim’ masuklah Islam, maka kalian selamat”
“Setahu saya, Anda dan kelompok anda hanya suka
berkoar-koar di jalanan, tanpa pernah memberi solusi praktis untuk umat” Pak Junadi, dari Fraksi Keluarga Sejahtera menyela
pembicaraan Emen. Lagi-lagi Emen menanggapinya dengan tegas “Apakah dengan
solusi-solusi praktis yang sekarang ini sudah diberikan, telah terbukti
menyelesaikan masalah? Akal sehat mana yang bisa menerima, jika masalah AIDS
dikasih solusi praktis pembagian kondom? Orang waras mana yang bisa menerima
solusi praktis dari merebaknya HIV dengan lokalisasi? Jika solusi praktis
selama ini tidak bisa menyelesaikan masalah, maka harusnya membuat kita
berpikir dua hal: (1) bahwa solusi itu sendiri salah alias tidak tepat; dan
atau (2) cara menyelesaikan masalah yang kurang tepat. Memberi solusi praktis
di tengah sistem yang rusak, seperti menyiram bensin dalam kobaran api. Disamping
itu, pemberian solusi praktis macam begitu, justru itu adalah bentuk pembodohan
umat. Nyata dan faktanya, bapak-bapak pasti lebih tahu, data-data penyakit
sosial macam HIV/AIDS di negeri ini, bukan malah melorot tapi makin meroket.
Dan umat terninabobokan dengan solusi praktis yang sejatinya malah membuat
masalah tambah membesar dan melebar. Jadi, yang diperlukan solusi praktis atau mengedukasi
umat untuk mengganti sistem?” tanya Emen tegas, dan para hadirin hanya
saling memandang, saling bertanya dalam diri mereka masing-masing “Bener
juga ya apa yang dikatakan Emen?”