Satukan Hati dan Pikiran Dengan Al Quran

Rambut sama hitam, isi kepala macam-macam.  Itulah peribahasa yang sering dikatakan orang.  Dan  dengan itu orang pesimis bahwa pikiran dan pendapat orang tidak mungkin disamakan.  Ada juga dalam peribahasa orang mengatakan, dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu.  Dari peribahasa ini tidak jarang orang pesimis untuk menyatukan hati manusia.  Rasa pesimis tersebut menghantarkan kepada pengertian yang salah kaprah: yakni pikiran dan hati orang itu tidak mungkin disatukan.  Maka biarkanlah orang dengan dan hati dan pikiran masing-masing.  Lebih parah lagi berbeda pikiran dan hati itu hak masing-masing orang.   Hanya saja orang lupa bahwa manusia itu makhluk sosial.  Dia akan kehilangan dirinya dalam kesendiriannya.  Manakala seluruh manusia itu secara ekstrim berbeda sama sekali satu sama lain.  Alias tidak ada orang yang sama atau memiliki ciri-ciri yang sama, atau tidak ada satu persoalan yang dipandang  sama olah dua orang atau lebih,  atau tidak ada  dua orang atau lebih yang memiliki kecenderungan hati dan hobby yang sama.  Maka pada saat itulah  (dan ini tentu sebuah khayalan belaka) orang akan kehilangan statusnya sebagai makhluk sosial dan akan mati dalam kesendirian masing-masing.
          Fakta manusia sebagai makhluk sosial manunjukkan bahwa manusia suka mengelompok, bertemu, dan menyatu lantaran kesamaan suatu pemikiran, atau suatu kesenangan (hobby), suatu perasaan, atau suatu kepentingan tertentu.   Kerumunan orang di lapangan bola, kerumunan orang  di pasar, kerumunan orang di masjid, kerumunan orang pada saat wukuf di padang Arafah, kerumunan orang klub malam atau diskotek, kerumunan orang dalam  demonstrasi,  dan lain sebagainya menunjukkan bahwa mereka berkumpul dan berkerumun karena ada kecenderungan kesamaan pikiran, perasaan, dan kepentingan tertentu, tanpa memandang solid tidaknya kumpulan orang-orang itu.
          Demikian juga berkumpulnya orang dalam mengemban dan memperjuangakan kebenaran dan di sisi lain berkumpulnya orang dalam mengemban dan memperjuangankan kebatilan menunjukkan adanya kecenderunagn kesamaan pemikiran dan perasaan dalam kumpulan orang-orang itu.   Kecenderunagn kesamaan pemikiran dan perasaan manusia sebqagai makhluk sosial tidak berarti manjadikan manusia itu sama persis satu sama lain dari segi pemikiran dan perasaan.  Realitas menunjukkan sebaliknya.   Dua kumpulan atau lebih menunjukkan adanya kecenderungan kesamaan pemikiran dan perasaan sekaligus adanya juga perbedaan dari dua kelompok atau lebih.  Oleh karena itu, pertanyaan kita, kecenderungan kesemaan pemikiran dan perasaan apa yang patut kita ambil sebagai manusia dan bagaimana memupuknya agar kita semakin solid dalam kecenderungan itu?

Bersatu dalam ikatan Islam

          Seabagai umat islam, sejak kita mengucapkan syahadat, jelas kita telah mengambil keputusan untuk mengambil kecenderungan kesamaan pemikiran dan perasaan Islam.  Hanya dalam situasi dan kondisi umat Islam yang kurang solid pada hari ini –lantaran tidak diterapkannya Islam dalam seluruh aspek kehidupan--  tidak jarang terjadi anomali-anomali dalam diri sebagian kita sehingga dalam sebagian pikiran dan perasaan orang-orang tersebut –sedikit atau banyak—ada kecenderungan ke arah pemikiran yang tidak standar pemikiran Islam dan ada kecenderuangn ke arah perasaan yang bukan merupakan perasaan Islami.  Hal demikian wajar terjadi karena penerapan sistem kehidupan sekuler di negeri-negeri Islam sehingga propaganda pikiran dan perasaan selain Islam sedemikian luas bahkan sampai melewati batas kewajaran. Warna uamat Islam pun menjadi tidak jelas lantaran tercelup celupan selain Islam.
          Umat Islam pun semakin terkotak-kotak dan beraneka ragam dalam mosaik sebagian warnanya keluar dari batas-batas warna Islam.  Kecenderungan yang keluar batas Islam inilah yang sebenarnya diharampakan oleh Allah  SWT dalam firman-Nya: 
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS. Ali Imran 103).
          Al Ustadz Muhammad Ali As Shabuni dalam tafsir Shafwatut Tafaasiir Juz I/198 mengemukakan sebab turunnya ayat ini adalah adanya kedengkian seorang Yahudi di Madinah yang melihat bersatunya orang-orang suku Aus dan Khazraj yang selama ratusan tahun bermusuhan dan berperang.  Tampaknya bangsa Yahudi itu mengambil keuntungan dalam perselisihan kedua suku Arab dan kini mereka tidak bisa lagi   mengambil keuntungan.  Bahkan persatuan dua suku di Madinah dengan ikatan Islam (sehingga mereka kemudian dikenal sebagai kaum Anshar, kaum yang menolong dan melindungan dakwah dan risalah Nabi Muhammad saw.) ditambah dengan bersatunya mereka dengan saudara seiman mereka yang baru datang dari kota Makkah (kaum Muhajirin) tampaknya menjadikan posisi orang Yahudi di Madinah semakin terdesak.  Lebih-lebih orang-orang Yahudi yang seharusnya beriman lebih dulu kepada risalah Nabi Muhammad saw. malah bersikap kafir terhadap Al Quran yang beliau saw. bawa, menolak risalah itu, padahal Allah melarang sikap mereka itu (lihat QS. Al Baqarah 41).  Syas bin Qais, nama Yahudi itu, menyuruh seorang pemuda untuk menyusup di antara kumpulan kaum muslimin dan menyebut-nyebut kepada mereka kisah perang Bu’ats dan melantunkan syair-syair yang biasa dikumandangkan pada suasana perang di zaman jahiliyah itu.  Tanpa terasa makar Yahudi itu telah membangkitkan  perasaan dan semangat jahiliyah kaum muslimin yang terdiri dari Aus dan Khazraj yang dulunya perang satu sama lain.  Perasaan saling bangga dan saling marah di antara mereka pun terjadi sampai mereka berteriak-teriak meminta senjata.   Peristiwa yang gawat itu sampai kepada rasulullah saw.  Beliau segera datang ke lokasi diringi kaum Muhajirin dan Anshar.  Beliau mengatakan kepada kaum muslimin yang terprovokasi oleh Yahudi itu:
أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ أَكْرَمَكُمُ اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ وَقَطَعَ بِهِ عَنْكُمْ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَلَّفَ بَيْنَكُمْ؟
“Apakah kalian hendak mengikuti seruan (propaganda) jahiliyah ini, padahal saya masih ada di tengah-tengah kalian, padahal Allah telah memuliakan kalian dengan Islam yang dengannya Allah memutus urusan jahiliyah kalian, dan Allah menyatukan hati kalian?”  
          Maka sadarlah orang-orang itu bahwa mereka telah terkena godaan syaithan dan tipudaya musuh mereka.  Mereka segera meletakkan senjata, menangis, dan berangkulan satu sama lain.  Lalu mereka pergi bersama Rasulullah saw. dengan sikap mendengar dan mentaati beliau saw.
          Dengan demikian nyatalah bahwa syaithan dan orang-orang kafir akan senantiasa menjerat kaum muslimin dalam perangkap dalam tipu daya mereka yang membuat  kaum muslimin bercerai-berai, tidak bersatu.  Kaum muslimin hanya bisa bersatu manakala mereka bersama-sama  memegang tali Allah (hablullah) dan pasti mereka akan bercerai-berai manakala mereka mencoba berikatan dengan tali-tali yang lain.  Sebab, pada hakikatnya tali-tali yang lain itu adalah tali-tali yang dilemparkan oleh syaithan dan orang-orang kafir sebagai tipu daya agar kaum muslimin melepaskan tali Allah dan asyik bermain-main dengan tali-tali itu. 
         

Bagaimana memegang tali Allah?

Bagaimana agar kita benar-benar memegang tali Allah agar tidak tertipu dengan tali-tali yang lain?
Pertama, harus kita pahami apa tali Allah yang dimaksud dalam ayat di atas.  As Shabuni (idem) menyatakan makna perintah Allah dalam ayat tersebut : berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan kitab-Nya.  Janganlah kalian bercerai berai darinya dan janganlah kalian berikhtilaf dalam agama ini seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum kalian. 
Imam Ibnu Katsir tatkala menguraikan tafsir ayat tersebut mengutip pendapat bahwa tali Allah itu adalah Al Quran berdasarkan hadits marfu’ yang diriwayatkan Al Harits Al A’war dai Ali r.a. dalam menggambarkan Al Quran:
(( هُوَ حَبْلُ اللهِ اْلمَتِيْنُ وَصِرَاطُهُ الْمُسْتَقِيْمُ ))
Dia (Al Quran) itu adalah tali Allah yang teguh dan jalan-Nya yang lurus.
Imam At Thabari yang dikutip Ibnu Katsir meriwayatkan hadits dari Abi Said yang mengatakan:
(( كِتَابُ اللهِ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ ))

Al Quran itu adalah tali Allah yang diulurkan dari langit ke bumi”

Ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits Abdullah r.a.
(( إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنُ وَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ وَهُوَ الشِّفَاءُ النَّافِعُ عِصْمَةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَنَجَاةٌ لِمَنِ اتَّبَعَهُ ))
“Sesungguhnya Al Quran inilah tali Allah yang teguh, dan dialah cahaya yang nyata dan penyembuh yang bermanfaat, pelindung bagi orang yang berpegang teguh padanya dan penyelamat bagi orang yang mengikutinya”. 
Dengan demikian jelaslah bahwa tali Allah itu maksudnya adalah ajaran agama Allah (yakni Islam) dengan simpulnya Al Quran, yang merupakan wahyunya, yang mampu mengikat siapapun di antara umat manusia yang mengimaninya dalam suatu kumpulan umat Islam.
Kedua,  agar semakin nyata ikatan dinul Islam yang bersimpulkan Al Quran itu, maka menjadi suatu keharusan bagi kita untuk senantiasa merajut ayat-ayat Al Quran itu dalam hati dan pikiran kita, agar benar-benar wahyu-wahyu Allah itu mengikat hati dan pikiran kita secara nyata.  Caranya adalah dengan senantiasa membiasakan membaca Al Quran setiap hari. Adalah suatu kemustahilan bilamana kita ingin terikat dengan tali Allah tapi tidak pernah membaca Al Quran.  Dan kenapa para sahabat Rasulullah saw. bisa solid dalam kehidupan Islam mereka, jawabannya adalah tradisi membaca Al Quran.  Mereka begitu cinta kepada Al Quran dan menjadikan bacaan ibadah mereka setiap malam.  Ada di antara mereka yang mengkhatamkan Al Quran setiap bulan, ada pula yang mengkhatamkan AL Quran setiap minggu.  Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwasannya Rasulullah saw pernah berpesan kepada Abdullah bin ‘Amr hendaknya ia mengkhatamkan Al Qur’an seminggu sekali. Demikian waktu yang digunakan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw, seperti Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, atau Ubay bin Ka’ab dalam mengkhatamkan Al Qur’an. Shahabat Utsman r.a. biasanya memulai bacaannya pada malam Jum’at dari Al Baqarah hingga Al Maidah, malam Sabtu dari Al An’Am hingga Hud, malam Ahad dari Yusuf  hingga Maryam, malam Senin dari Thaa Haa sampai Al Qashash, malam Selasa dari Al ‘Ankabut sampai Shaad, malam Rabu dari Az-Zumar sampai Ar-Rahman dan malam Kamis ia sempurnakan hingga khatam.
Ketiga, selain mentradisikan membaca Al Quran, agar semakin kuat ikatan Islam dalam hati dan pikiran kita, kita perlu mentradisikan membaca hadits Rasulullah saw. , terlebih yang berkaitan dengan Al Quran yang sedang kita baca.  Sehingga kita lebih jelas lagi makna dan aplikasi dari sebuah ayat sebagaimana yang pernah difahami dan diamalkan oleh Rasulullah saw., satu-satunya makhluk yang menerima dan menyampaikan Al Quran sebagai wahyu Allah SWT.   Selain itu, perlu kita pahami bahwa Al Quran tidak bisa dilepaskan  kaitannya dengan wahyu Allah SWT yang diungkap dalam sunnah Rasulullah saw., baik itu ucapan beliau saw., perbuatan beliau saw., maupun perbuatan sahabat yang beliau saw. diamkan.  Mengikatkan diri kepada sunnah Rasullah berati juga mengikatkan diri kepada Al Quran yang telah memerintahkan hal itu.  Allah SWT berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, ambillah !  Dan apa saja yang dicegah oleh Rasul, jauhilah !” 
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Ali Imran 31).

Khatimah
          Tentunya ketika kita berusaha menyatukan pikiran dan perasaan kita kepada Al Quran kita harus sadar bahwa Al Quran itu adalah firman Allah yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk petunjuk hidup manusia.  Ketika kita membaca Al Quran tanamkanlah di hati kita bahwa kita sedang membaca suarat-suarat dari-Nya yang berisi perintah dan larangan-Nya, berisi petunjuk apa yang membuatnya ridlo atau pun murka.  Maka pengertian kita terhadap firman-Nya dan ketundukan hati kita kepada titah-Nya merupakan prasyarat agar hati dan pikiran kita menyatu dengan Al Quran, tali Allah yang teguh.  Wallahua’lam!

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf