Dan kita memang patut prihatin terhadap maraknya penyakit yang belum
ketemu obatnya ini. Sebab di negerinya si unyil ini aja, kasus HIV-AIDS nggak
kalah mengerikan. Menurut laporan Triwulan per 30 Juni
2010, Kementrian Kesehatan menunjukkan telah terjadi 21.770 kasus HIV-AIDS,
dengan 4.128 orang meninggal. Mungkin bisa jadi jumlah 21.770 itu jumlah yang
dikit kalo dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 230 juta, berarti
hanya 9,4 per 100.000 penduduk terkena HIV-AIDS. Tapi sob, jangan diliat
datanya yang cuman segitu, sebab (1) bisa jadi ada jumlah yang nggak dilaporkan
atau terdeteksi di lapangan; (2) coba kalo diperhatikan trend angkanya tiap
tahun naik, sehingga ibaratnya seperti bola salju yang kian kesini, kian
membesar aja, dan siap-siap aja yang diem-diem bisa terlibas… hiiiii
naudzubillah min dzalik.
Meluruskan
benang kusut
Btw, dari tadi ngobrol HIV-AIDS, udah pada tahu belum dengan yang
namanya HIV-AIDS? Kalo belum tau, coba kita kasih paparan singkat. HIV merupakan singkatan dari ’human immunodeficiency
virus’. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem
kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages–
komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau
mengganggu fungsinya. AIDS adalah singkatan dari ‘acquired immunodeficiency
syndrome’ dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait
dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai
penyebab AIDS. Intinya AIDS adalah jenis penyakit menular yang mematikan, dan belum
ada obatnya.
Oiya Sob, kayaknya disini kita perlu luruskan persepsi seputar
HIV-AIDS, biar kita bisa menyikapi dengan bijak, nggak terjebak dengan opini
dan bisa mengambil ibroh/pelajaran berharga darinya. Pertama: soal penyakit
HIV-AIDS itu sendiri; Kedua: soal ODHA; Ketiga: soal safe sex yang katanya
sebagai solusi.
Pertama: penyakit atau sakit, dilihat dari segi datangnya sakit bisa
dikategorikan jadi 2. Ada sakit/penyakit yang bisa karena ulah kita sendiri,
misalnya karena kita jorok, atau salah makan, trus akhirnya kita sakit perut
atau diare, dan seterusnya. Ada juga penyakit/sakit yang datang sendiri, mungkin
sebagai bentuk ujian kesabaran, kalo yang ini banyak contohnya, nggak usah
disebutin udah pada tahu. Nah, kalo soal AIDS dari segi datangnya penyakit,
emang itu penyakit datang dari Allah. Tapi kalo melihat dari segi penularannya,
ini yang jadi bahan pikiran kita. Sebab AIDS atau virus HIV, menurut beberapa
penelitian dan data yang ada, penyakit ini penularan yang paling efektif adalah
hubungan seks (heteroseksual maupun homoseksual), jarum suntik atau transfusi
darah, dan sejenisnya. Sehingga predikat “baik-buruk” atau “terpuji-tercela”
nggak bisa secara otomatis ditempelkan begitu aja kepada mereka yang terkena
AIDS atau penyakit itu sendiri. Kalo AIDS itu membawa bencana itu iya, tapi
kalo yang terkena AIDS, tertular AIDS itu kudu dibedakan. Karena bisa jadi
orang yang sehat bisa terkena AIDS karena gara-gara salah pake jarum suntik,
atawa transfusi darah tadi. Yang memang pantas dapat cap “buruk”, “tercela”
adalah mereka para pelaku, mulai dari para WTS, lelaki hidung belang, germo,
dan seterusnya. Bagi mereka nggak ada alasan memberi cap “baik” dan “terpuji”
hanya karena alasan mereka sedang mencari uang dan kesenangan. Apalagi ngasih
label yang bias “pekerja seks”, seakan-akan mereka emang murni pekerja,
sehingga boleh-boleh aja, nggak dosa dan haram. Hemmm.. payah.
Kedua: seringkali ODHA (orang dengan HIV-AIDS) dijadiin “tameng”
oleh mereka yang katanya pejuang HIV-AIDS. Mereka justru menjadikan ODHA
sebagai “alat” untuk mengkampanyekan seks bebas. Kalo memang ODHA itu tahu
bahwa dirinya terinsfeksi virus dan masih aktif menularkan penyakit tersebut,
maka ODHA semacam itu nggak ada ampun bagi dia. Sementara kalo ada ODHA yang
nggak tahu apa-apa, misalnya bayi yang tertular dari ortunya, maka bagi bayi
semacam itu kita perlu mengasihani. Ya, sebagai orang yang terkena musibah,
kita tetap prihatin dan care terhadap mereka. Tapi “memanfaatkan” ODHA untuk
tetap melegalkan seks bebas, ini yang nggak bener.
Ketiga: upaya dari mereka yang katanya pejuang HIV-AIDS, mempromokan
yang namanya “safe-sex” alias seks aman. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan kondomisasi, baik itu ngasih kondom gratis, atau adanya ATM
Kondom. Kondom adalah sejenis alat kontrasepsi atau semacam “bendungan” yang
dipergunakan oleh suami-isteri yang tidak menginginkan anak atau alias nggak
mau hamil. Jadi kalo menelusur dari pembahasan pertama tadi, bahwa “pekerja
seks” itu adalah pekerjaan yang haram, trus menjadi lelaki hidung belang alias
selingkuh itu adalah perbuatan tercela, maka perbuatan melindungi mereka dengan
dalih “safe seks” itu juga perbuatan yang kurang ajar. Sama aja ada maling,
dilindungi dan dibilang ini bukan maling, trus difasilitasi, khan parah tuh?
Makanya Sob, buat kamu yang selama ini kemakan opini yang
dibikin-bikin itu, segera sadar dan bangkit membela atau memperjuangkan solusi
yang benar dan tuntas penyakit HIV-AIDS. Jangan latah dan atau malah menjadi
pejuang pembela yang keliru. Catet ya !
Menuntaskan
Secara Sistemik
Islam sebagai agama terakhir yang membawa rahmat seluruh alam, tentu
saja bisa menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan di masa kini
berupa HIV-AIDS. Seperti tadi udah diungkap bahwa AIDS itu termasuk jenis “penyakit
kelamin”, sehingga sangat mungkin terjadi penularan kalau ada interaksi antar
manusia. Bukan berarti nggak boleh interaksi/ berhubungan dengan manusia yang
lain, nggak mungkin lah seperti itu. Cuman kalo dilihat faktanya di sekitar
kita, interaksi antar lawan jenis itulah yang bermasalah. Kenapa kita katakan
“masalah”? Karena Islam mengatakan itu “masalah”. Ya, gimana nggak masalah,
kalo cara gaul di sekitar kita udah bebas dan liar.
Yang remaja doyan pacaran, kalo udah pacaran udah nggak bisa tahan diri.
Mulai dari kissing, sampai intercourse (making love) pun mereka lakukan. Yang
putri rela jadi ayam abu-abu, ayam kampus, atau kupu-kupu malam alias pelacur.
Yang lain malah ada yang jadi gigolo, homoseks, lesbi dan seterusnya.
Sementara yang udah married
keranjingan main seks diluar, baik dengan pelacur maupun punya
selingkuhan di kantor. Para mucikari, rumah bodir, prostitusi masih marak di
negeri ini dan cenderung dipertahankan. Maka kalo interaksi macam gitu masih
dipertahankan, maka omong kosong banget kalo kita bisa menyelesaikan masalah
AIDS, karena aktivitas macam di atas itulah, sumber penularan AIDS. Meskipun
mereka mengajukan solusi “seks aman”, itu ibaratnya hanya tambal sulam, nggak
menyelesaikan masalah pokok, malah bisa jadi timbul masalah baru dan memperbesar
masalah. Buktinya trend data penyakit AIDS semakin naik, bukan malah turun.
Maka pergaulan bebas atau interaksi di tengah-tengah kita, itu yang
jadi konsen untuk dirubah. Dirubah dengan apa? Ya, jelas dengan seperangkat
aturan Islam, diantaranya harus dipatuhi rambu-rambu berikut: (1) Jangan
mendekati zina: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra 32)
(2) tidak berduaan alias tidak boleh pacaran "Janganlah
sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita
itu disertai mahramnya." (HR Bukhari dan Muslim). (3) tidak
menggoda dengan dandanan dan pakaian: “Wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka
melenggak-lenggokkan tubuhnya dan kepalanya bagai punuk unta yang miring,
mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan keharumannya, meskipun
harum surga itu dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.”(HR Muslim). (4) menjaga iffah dengan pakaian islamy: “Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-nya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."(QS. al-Ahzab 59).
Berikutnya faktor “orang”nya, dalam hal
ini lebih ke mindset (cara berpikirnya). Yup, cara berpikir kebanyakan manusia
dewasa ini dalam memandang arti kebahagiaan dan kemuliaan adalah teraihnya
banyak materi alias kaya, disanjung banyak orang alias terkenal, dan
sejenisnya. Para remaja kalo ditanyai kenapa pacaran atau kenapa suka
dipacarin, maka alasan yang paling ngena adalah “just having fun”. Mereka yang
jadi ayam kampus, kupu-kupu malam, alasannya jadi seperti itu karena pengin
tajir, duitnya bejibun, kalo udah duitnya banyak, mau apa aja bisa kebeli. Para
lelaki hidung belang, karena yang dikejar hanya kesenangan, maka merasa “nggak
puas” dengan istri di rumah, lari lah ke pelacur atau ke istri simpanan. Begitu
seterusnya.
Bagi seorang muslim arti kebahagiaan
adalah teraihnya ridhlo Allah, sementara ridlo itu bisa nyampe ke kita, kalo di
setiap melakukan aktivitas selalu sesuai dengan syariat-Nya, dan Ikhlas
karena-Nya. Jelas banget bahwa pacaran itu kredit zina, maka Allah nggak akan
ridlo kalo kita ngelakuin perbuatan itu. Allah bakal murka kalo para wanita
keliaran keluar rumah tanpa menutup aurat, bahkan untuk melakukan pekerjaan
yang haram, berupa melacurkan diri, dan seterusnya. Karena bagi muslim, hidup
tidak hanya berhenti di dunia, tapi berlanjut ke akhirat, justru disanalah kita
akan mempertanggungjawabkan semuanya. Maka amal/aktivitas kita ketika dunia,
harus senantiasa terikat dengan syariat-Nya, menjalankan segala perintah dan
menjuhi segala laragan, alias ketakwaan itulah patokan kita. Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya
kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan
sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.”
(QS.
Al Baqarah 103).
“Kehidupan
dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang
hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu
lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS. Al Baqarah
212).
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’aam 32)
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
di antara kamu.” (QS.
Al Hujurat 13)
Faktor berikutnya, justru ini yang nggak
kalah pentingnya adalah faktor “sistem”. Ya, sistem Negara itu ibaratnya
“orang tua” bagi masyarakat yang hidup didalamnya. Sistem Negara lah yang
mengasuh, melindungi, dan melayani warga negaranya. Kalo sistemnya rusak alias
nggak bisa ngasih pelayanan, perlindungan, maka sudah bisa dipastikan, warga
negaranya akan ikut rusak. Untuk itu dibutuhkan sistem yang bisa ngasih solusi
tuntas sekaligus ngasih proteksi buat umat agar tidak timbul penyakit-penyakit
baru selain AIDS.
Nah, sistem negara itu tercermin dalam aturan atau undang-undangnya,
sehingga harus ada undang-undang yang bisa menghukum dengan tegas para pelacur
berikut mucikarinya, karena mereka termasuk biang muncul dan berkembangnya
penyakit AIDS. Artinya Negara harus menutup peluang apapun yang bisa
memunculkan tertularnya penyakit AIDS itu. Sehingga solusi safe sex, jelas
harus dibuang jauh-jauh. Sementara di sisi yang lain, harus ada perhatian dari
Negara terhadap nasib rakyatnya, agar mereka tidak memilih pekerjaan sebagai
pelacur, sehingga kesejahteraan rakyat terjamin. Yang muda pun dijamin oleh Negara
agar bisa menikah dengan mudah, serta mendapat pekerjaan atau penghasilan agar
bisa cepet nikah.
Well, semua itu hanya bisa
direalisasikan oleh Islam. Atau semua itu dijawab oleh system Islam, mulai dari
masalah hukum sampai masalah kesejahteraan (mungkin lain kali akan kita
jabarkan masalah ini). Fakta penerapan syariah Islam mulai di masa Rasulullah
Saw hingga tahun 1924, bisa membukitkan dan menjawab hal itu. Selama 1300
tahun, sejarawan mencatat “hanya” terjadi 200 kasus kriminal, ini sekaligus membuktikan
bahwa system yang asalnya dari Allah tidak akan pernah diragukan bisa
menyelesaikan masalah: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (QS Al Maidah 50).
Wallahu’alam bis
showab. [LBR]