Bejat Tapi Bangga


Ya terus terang berani saya bilang disini bahwa sampai hari ini kita masih disuguhi “sampah” yang ada di depan kita. Saya tidak menemukan kosakata yang bagus untuk mewakili berita infotaiment. Bahkan saya juga berani mengatakan kalau para seleb itu, lebih bangga kalau dirinya bejat, dan kebejatannya ditonton dan ditiru oleh para plagiatornya, siapa lagi kalau bukan kita ini para penontonnya.
Kawan, saya bukan mengada-ada, atau memprovokasi agar mematikan teve kalau ada berita selebritis, tapi saya dan kita semua punya bukti kalau dunia artis itu memang bejat, penuh kepura-puraan, bahkan yang lebih tepat munafik. Lihat saja, banyak dan sering para wartawan itu bertanya tentang gosip kehamilan seorang seleb wanita. Si artis wanita tersebut, dengan entengnya bahkan diembel-embeli sumpah, berani bilang kalau dirinya nggak hamil, tapi belum genap setahun dari omongannya, terbukti si seleb tersebut positif hamil. Dan yang lebih mengherankan lagi, ini yang tadi saya sebut ‘bejat tapi bangga’, si seleb tersebut dan yang menghamili (artis juga), nggak malu gitu loh tampil di publik. Ckckck...
Demi mengangkat namanya para seleb itu berani membeli jam tayang, bahkan kalau perlu membuat berita sensasional tentang dirinya. Dan secara sengaja, teve sebagai media paling murah dan mudah di akses oleh masyarakat, menayangkan berita sampah tersebut. Sangat kentara banget, bahwa infotaiment, dalam hal ini pengusaha teve maupun produser program gosip sebuah stasiun teve, mempunyai andil atau bahkan kecipratan pundi-pundi duit dari para seleb itu. Sehingga tepat sekali kalau saya bilang bahwa Infotaiment adalah sebagai perpanjangan mulut marketing dari para artis.
Inilah simbiosis mutualisme, media membutuhkan artis untuk menambah genre dan jam tayang, sementara artis butuh media untuk meningkatkan popularitas dan pundi-pundi pribadinya. Kalau berita gosip atau infotaiment tersebut diibaratkan sebuah serangan, maka tentu saja ada ‘target’ dari serangan itu. Kalau diibaratkan sebuah tendangan, maka tentu saja ada ‘goal’ yang hendak disarangkan ke gawang. Kalau diibaratkan pukulan, maka tentu saja ada ‘korban’ yang hendak dipukul. Lalu siapa target, goal dan korban dari tayangan itu? Sudah pasti ketemu jawabannya.
Kita yang diserang, ditendang, dipukul, enjoy aja malah ada yang dengan bangganya membela para seleb dengan mengatakan ‘artis juga manusia’. Iya, kita tidak pernah mengatakan para artis itu sebagai binatang. Tapi yang membuat kita geregetan menggolongkan mereka sebagai ‘bukan manusia’ karena kalau kita pikir-pikir dengan nalar sehat kita, mereka (para seleb) itu mikirnya pake otak atau nggak? Sebab kalau mereka berpikir dengan otak warasnya, coba perhatikan ‘kejanggalan’ realitas berikut:
(1)      Ada artis, memberikan klarifikasi tentang gosip dirinya (yang udah pasti buruk) bahwa dirinya bukan pelaku keburukan tersebut, tapi akhir dari fakta tersebut membuktikan dengan nyata bahwa dia melakukan keburukan tersebut;
(2)      Realitas menunjukkan ada artis yang dengan sengaja menontonkan dirinya sebagai pemberi contoh keburukan (kemaksiatan), tapi artis tersebut merasa tidak berdosa, malah bangga dan menyatakan itu adalah hak asasinya;
(3)      Realitas di dunia artis juga bahwa si artis bukan hanya sekali melakukan ‘kesalahan’ dalam hal keburukan, tapi dengan masih bangga, artis tersebut esok harinya menampakkan muka dihadapan publik. Dan anehnya masyarakat menganggap itu wajar dan termaafkan;
(4)      Banyak artis yang bermuka palsu alias bermuka alim di satu kondisi dan bermuka ‘setan’ di kondisi yang lain. Anehnya, mereka bangga dan merasa enjoy dengan perilaku itu, demi alasan uang dan ketenaran.
(5)      Dll

Kata yang tepat untuk menasehati para seleb itu adalah ‘janganlah menjadi lilin’. Ya, meskipun kalimat itu sudah terlalu sering diucapkan, akan tetapi kalimat tersebut masih harus sering kita nasehatkan kepada para seleb. Sebab mereka memang menjadi lilin, menerangi orang lain, membuat senang orang lain yang dipikirnya bisa mencahayai orang disekitar, akan tetapi diri mereka sendiri terbakar.
Saya yakin pada diri para seleb itu timbul sebuah pergumulan batin yang sangat kencang, antara terus membuat senang (mencahayai) orang lain (pemujanya), akan tetapi dirinya sendiri belum tentu bahagia. Kenapa saya berani mengatakan ‘belum tentu bahagia’? Karena bagaimana bisa bahagia jikalau kemudian dia bisa mengatakan kebaikan kepada orang lain, sementara dirinya sendiri tidak pernah bisa mempraktikkan kebaikan itu pada dirinya sendiri atau keluarganya? Seorang seleb, bisa mencontohkan kebaikan lewat film, sinetron, baik perilaku, peran, maupun skenarioanya, tapi dibelakang atau di dunia nyata, dia sendiri tidak bisa seperti yang ada di dunia film atau sinetronnya sendiri.
Jikalau ada diantara para seleb tersebut yang bahagia dengan menumpuknya pundi kebahagaian, mendapat apa yang mereka inginkan, tapi yakin saja bahwa sejatinya dibelakang dia menyembunyikan kegundahan, keresahan sebagai publik figur. Kalau pun masih terlihat bermuka manis, senyum bahagia, sejatinya dia sedang menyembunyikan duka yang dalam terhadap perilaku yang sudah ditontonkannya kepada khalayak. Kalau pun duka itu tidak kelihatan di dunia, maka di akhirat duka itu telah bertumpuk menjadi dosa, karena sekali lagi mereka telah menjadi lilin, mampu menerangi orang lain, tapi dirinya sendiri terbakar. Pas dengan firman Allah : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. as Shaf 3)
Selain jangan jadi lilin, kata nasehat yang tepat juga buat para selebritis kita, adalah ‘jangan jadi badut’. Ya, seorang yang berperan sebagai badut, adalah memang membuat senang orang yang melihatnya, meskipun dirinya sendiri harus rela didandanin ‘jelek’. Menjadi badut berarti berlindung dibalik baju kesenangannya, berlindung di balik topeng, yang bisa menghibur orang lain. Itulah ketidakaslian wajah dan perilaku mereka, para seleb.
Satu lagi, kata nasehat yang tepat juga untuk selebritis kita adalah ‘jangan jadi bunglon’. Ya, bunglon adalah binatang yang diberi keistimewaan bisa beradaptasi dengan lingkungan dimana dia berada, terutama dari segi warna tubuhnya. Nah, kita bisa melihat dengan mata dan kepala kita sendiri, para seleb itu mirip banget dengan bunglon, dimana dia hinggap disitulah dia menyesuaikan diri. Nggak perduli, tampilannya menipu, nggak perduli setelah keluar dari lingkungan tersebut, dan berada di komunitas yang lain, dia berbeda penampilan bahkan berbeda perilaku, yang penting tetap jadi artis.
Saya memang bukan artis, dan nggak berharap jadi artis, tetapi itu fakta yang ada di depan mata kita, yang tiap hari berseliweran entah itu di teve, koran, majalah, sehingga membuat saya gerah untuk ikut mengomentari fakta tersebut. Itulah dunia selebritis, dunia yang penuh dengan kepura-puraan, manusia yang munafik.
Saya menulis begini bukannya saya benci dengan para seleb, apalagi sampai ngiri dengan popularitasnya. Bukan, sama sekali bukan karena itu. Sikap saya ini, justru sebagai wujud kasih sayang saya sesama muslim. Saya cuman mengingatkan kalau perilaku bunglon, berpakaian badut, menjadi lilin, adalah sifatnya orang munafik.
Saya melakukan protes kepada para seleb, bukan karena merasa paling bener, paling suci dan nggak pernah melakukan salah. Jangan pernah ada persepsi bahwa para seleb itu tempatnya salah tok, alias nggak ada benarnya. Bukan, maksudnya bukan itu. Saya sebagai manusia pasti pernah berbuat salah. Nah, saya pun juga mengaku pernah melakukan salah. Tapi, ketika sudah tahu tentang suatu kebenaran, maka wajib khan bagi kita untuk berubah sesuai dengan ‘isi’ kebenaran itu, trus menyampaikannya kepada orang lain. Jangan dipikir saya menulis disini ini benci dengan seleb, tapi saya hanya benci pada tingkah lakunya. Kalo selama mereka muslim, maka mereka adalah saudara dan kewajiban kita adalah menasehati sesama muslim.
Dan disitulah letak indahnya ukhuwah sesama muslim, saling nasehat-menasehati tanpa melihat siapa dia, sudah kesohor kah, orang biasa kah. Namun ukhuwah itu sudah tergerus, kita yang dengan baik-baik dan Insya Allah ikhlas menasehati, tapi dinilai buruk oleh mereka. Itulah fakta nyata, bahwa kebenaran dinilai dari siapa yang memberi nasehat, dan kepada siapa nasehat itu diberikan, dan fakta itu hanya terjadi di negeri kapitalis, yang memisahkan urusan individu, masyarakat dan negara diatur dengan agama (Islam). Saatnya, kita sudahi kapitalisme-sekularis, ganti dengan sistem Islam, yang terbukti menjaga ketakwaan individu, menstabilkan kontrol masyarakat dan menerapkan hukum manusiawi yang teridhai. Wallahu’alam bis showab. (LBR-disarikan dari buku 'Santri Emperan', karya Luky B Rouf)

1 komentar

  1. begitulah indonesia,..

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf