Untuk menghadapi kematian ada beberapa hal yang patut dilakukan:
1. Ingat akan Mati dan Akhirat
Yakin akan mati tidak ada gunanya tanpa beriman akan akhirat. Orang beriman memahami betul bahwa kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan akhirat. Dalam kehidupan akhirat itulah terdapat kehidupan abadi, kehidupan tempat diputuskannya tempat tinggal sebenarnya: kenikmatan jannatun na’im ataukah neraka jahim. Untuk itu seseorang yang bersiap diri menghadapi kematian berupaya tanpa henti menangkap gambaran kehidupan kelak seperti diberitakan Allah Swt. dalam al-Quran maupun hadis Nabi saw. Seseorang yang merasa yakin akan datangnya kematian, namun di benak dan di jiwanya tidak terpatri realitas kehidupan akhirat yang akan dihadapinya itu, keyakinannya itu tak akan memberi bekas dan pengaruh apapun.
Utsman bin ‘Affan dalam salah satu khutbahnya pernah menyampaikan: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi kalian dunia agar dengannya kalian dapat memperoleh akhirat. Dia tidaklah memberikan dunia itu kepada kalian agar kalian berlutut kepadanya. Sungguh, dunia itu fana, sedangkan akhirat itu kekal abadi. Janganlah yang fana itu melalaikan dan melupakan kalian dari akhirat yang kekal. Utamakanlah yang kekal daripada yang fana. Sebab, sungguh dunia itu pasti akan putus hubungan dan sungguh tempat kembali itu hanyalah kepada Allah Swt.”
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk mengingat kematian dalam hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi:
“Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan (kematian).” Bahkan, saking besarnya pengaruh mengingat kematian ini Nabi r memberitakan: “Andaikan saja hewan-hewan itu mengetahui kematian seperti yang diketahui oleh anak-anak Adam niscaya kalian tidak akan memakan dagingnya dalam keadaan gemuk” (HR. Al-Baihaqi)
Rasulullah dan para sahabatnya memiliki karakter untuk senantiasa mengingat kematian. Al-Baihaqi meriwayatkan suatu waktu turunlah ayat:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ ‚ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُون ‚
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (QS. an-Najm [53]: 59 – 60)
Pada saat turun ayat ini para ahlu suffah menangis hingga air matanya membasahi janggut. Rasulullah pun menangis bersama dengan mereka. Seraya beliau bersabda:
“Api neraka tidak akan menyentuh orang yang menangis karena takut kepada Allah, dan tidak akan masuk surga orang yang terus menerus bergelimang dalam kemaksiatan.”
Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang pada kebenaran. Namun, dalam hal kematian beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat. Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar !”
Bukan hanya sahabat, para penerusnya pun demikian. Diceritakan bahwa khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz setiap malam mengumpulkan para fuqaha. Mereka saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan akhirat. Mereka pun menangis seakan-akan menghadapi kematian.
Begitulah, Rasulullah, para sahabat, beserta pengikut sesusadahnya yang shalih senantiasa berupaya mengingat kematian. Siang hari mereka berjuang sebagai mujahid, mencari nafkah, berdakwah, dan aktivitas lainnya. Pada saat yang sama ketika mereka teringat akan akhirat dan kematian hati mereka tersungkur, mata mereka lembab berlinangkan air mata. Betapa banyak pengorbanan mereka, betapa besar kebaikan mereka, betapa luhur pengetahuan Islam mereka, namun mereka takut dan selalu mengingat kematian dan akhirat. Sementara, kita yang tidak punya apa-apa, ilmu sedikit, amal pun kurang, perjuangan hampir-hampir jadi sampingan, kok tak pernah mengingat akan kematian.
2. Merasa diawasi oleh Allah Swt. (muraqabatullah)
Allah Mahamengetahui lagi Mahamendengar. Seseorang yang memahami betul hakikat kehidupan setelah mati akan berupaya terus untuk menjaga seluruh perbuatannya senantiasa terikat dengan hukum-hukum syara. Sebab ia yakin Allah senantiasa mengetahui apapun yang ia lakukan. Allah Maha Melihat terhadap seluruh perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat Allah. Banyak sekali nash-nash yang menegaskan hal ini.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian beristiwa di ‘arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan apa yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik kepadanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid [57]: 4)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiadalah satu perkataan pun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada Raqib dan Atid.” (QS Qaaf [50]: 18)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang melainkan Dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang melainkan Dia yang keenamnya, dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang meeka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh, Allah Mahamengetahui tiap-tiap sesuatu” (QS. al-Mujadilah [22]: 7)
Hanya saja, terkadang manusia tidak konsisten dalam bersikap. Misalnya, ketika sedang melakukan shalat, ia betul-betul menjaga perhatiannya, konsentrasinya, bahkan gerakannya. Semua itu dilakukannya karena khawatir shalatnya itu bertentangan dengan aturan Allah hingga amalnya itu tidak diterima. Begitu pula saat melakukan shaum bulan Ramadlan. Betapa pun sepinya tempat ia tinggal, dia pun hanya seorang diri, sementara haus pun sedang puncak-puncaknya, namun ia tidak minum setetes air pun. Andaikan ia melakukannya juga tidak ada orang lain menyaksikannya. Hal ini disebabkan ia menyadari betul bahwa sekalipun tidak ada orang lain menyaksikan tapi Allah mengetahui seluruh gerak-geriknya termasuk lintasan dalam hatinya. Sayangnya, pada sebagian orang sikap demikian tidak muncul saat tengah sekolah, kuliah, bergaul, berbelanja, jalan-jalan di super market, berekreasi, bekerja di kantor, rapat di ruang sidang, duduk di angkot, berdiskusi menetapkan hukum, ataupun saat mengurusi urusan masyarakat. Boleh jadi ia menyangka bahwa Allah itu hanya mengawasi saat di masjid dan di bulan Ramadhan saja. Padahal, sangkaan itu hanyalah bisikan syaithan. Sebab, Allah akan mengetahui apapun yang diucapkan dan dilakukan manusia dimana saja berada, dan semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
3. Senantiasa Introspeksi Diri
Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab oleh Allah. Itulah pegangan seorang muslim yang tengah bersiap-siap diri menghadapi kematian. Berkaitan dengan persoalan ini Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)
Dia senantiasa berupaya untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukannya dan merenungi betapa banyak kesalahan dan dosanya. Saat ia menemukan perbuatannya bertentangan dengan hukum Islam seperti ucapan kotor, di hati terdapat rasa iri ataupun dengki, shalat tidak khusyu, ibadah lemah, ada janji tidak ditepati, hubungan dengan keluarga memburuk, mendalami Islam malas-malasan, dakwah terabaikan, dan perbuatan lainnya; bersegeralah ia beristighfar dan bertaubat diikuti perbuatan baik. Sebaliknya, saat ia menemukan dirinya berbuat kebaikan, bibirnya dan jiwanya pun segera memuji Allah, alhamdulillah. Kemudian, berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kebaikannya tersebut.
4. Memperbanyak Amal Kebaikan
Hidup merupakan pengembaraan menuju akhirat melewati gerbang kematian. Seseorang yang kini berumur 50 tahun berarti ia telah mendekati gerbang kematian selama 50 tahun. Begitu juga orang yang sekarang berumur 23 tahun ia sudah menghabiskan waktunya sebanyak 23 tahun mendekati pintu kematian. Hanya saja entah siapa yang lebih dahulu sampai pada pintu kematian masing-masing. Semakin bertambah usia berarti semakin dekat pada pintu kematiannya. Hal yang penting menghadapi hal ini adalah persiapan menuju kematian. Bila persiapan bagi seorang musafir adalah makanan, minuman, dan tempat berteduh, persiapan menuju negeri akhirat adalah amal kebaikan dalam ketakwaan. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah [2] ayat 197.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa,”
Rasulullah saw. memerintahkan:
قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِ كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tetapi pada waktu sore ia kafir, pada waktu sore ia beriman tetapi pada waktu pagi ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia (HR. Muslim)
Dan hadis Rasulullah yang lain:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعًا هَلْ تَنْتَظِرُونَ إِلَّا فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى
“Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal; apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesom-bongan, sakit yang mengendorkan, tua renta yang dapat mele-mahkan, mati yang dapat menyudahi segalanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang sangat berat dan sangat menakutkan.” (HR. at-Turmudzi)
Berdasarkan hal itu, beramal shalih seoptimal mungkin merupakan suatu yang hendak diraih bagi yakin akan datangnya kematian. Bila seseorang dipanggil oleh manajernya, misalnya, dan memberitahunya bahwa ia akan ditanya tentang hasil kerja dan bukti-buktinya. Tentu saja, ia akan mempersiapkan pekerjaan-nya beserta karya dan bukti-buktinya selengkap mungkin. Sulit dibayangkan orang yang normal berani menghadap manajernya tanpa mempersiapkan segala sesuatupun. Ia pun takut, cemas dan penuh harap menanti pertemuan tersebut. Kini, yang memanggil orang itu bukanlah manusia melainkan Pencipta manusia: Allah Swt. Ia akan memintai pertanggungjawaban seluruh perbuatan yang dilakukan. Orang yang betul-betul yakin akan kehidupan akhirat, tentu saja, tidak akan berani lalai dalam mempersiapkan semuanya itu. Ia akan berupaya senantiasa taat, tunduk, dan patuh pada semua aturan Islam yang merupakan wahyu dari Allah. Akhirnya, kita perlu merenungkan firman Allah Swt. berikut:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada al-haq (kebenaran) yang telah turun (kepada mereka)?” (QS. al-Hadid [57]: 16)
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu (ajal) yang diyakini.” (QS. al-Hijr [15]: 99)
Jelaslah, kematian pasti tiba. Hal terpenting adalah bagaimana saat kita mati benar-benar berada dalam ketaatan total pada Allah Swt. (M. Rahmat Kurnia, dalam buku Menjadi Pembela Islam, Al Azhar Press)