Lazimnya sebuah masyarakat, di dalamnya pasti hidup secara bersama-sama beraneka macam jenis kelompok masyarakat. Ada laki-laki dan wanita; bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua renta. Tentu saja terdapat suku bangsa bahkan bangsa lain. Demikian pula terdapat perbedaan dari segi agama/keyakinan, golongan/kelompok politik, atau organisasi sosial. Di samping terjadinya sebuah kemajemukan anggota suatu masyarakat, tentu saja di dalam masyarakat pun harus terdapat sistem yang mengatur interaksi antaranggota masyarakat, antarmasyarakat dengan penguasanya/pemerintah, antarmasyarakat suatu negeri dengan negeri lainnya. Malah di suatu masyarakat pun dijumpai unsur-unsur emosional yang menjadi ciri khas masyarakat itu, seperti tipologi masyarakat kapitalistik dengan individualisme, liberalisme, transparansi, dll. Hal itu tentu akan berbeda dengan masyarakat sosialis-komunis dan juga Islam. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan sehingga pluralitas masyarakat adalah bagian dari eksistensi kehidupan masyarakat itu sendiri bahkan bagian dari penciptaan manusia itu sendiri. Perhatikan firman Allah swt. berikut ini:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS.Al Hujurat: 13)
Berdasarkan ayat ini, kita dpt memahami bahwa pluralitas sebuah masyarakat merupakan fakta yg tdk dapat terelakan dlm kehidupan manusia. Keadaan perbedaan dari jenis kelamin, usia, kelompok atau golongan, suku, bangsa, dan bahkan agama merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal itu merupakan gambaran dari keberadaan fitrah manusia yang memang berkecenderungan untuk hidup dalam suatu komunitas. Berkaitan dengan pluralitas ini, ternyata Islam tidak menolak hal itu. Bahkan Islam tidak mengenal 100% anggota masyarakatnya menganut agama Islam, karena hal itu tidak sesuai dengan fakta kefitrahan manusia dan tidak sesuai pula dgn firman Allah SWT., yaitu:
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua manusia yang ada di muka bumi itu seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?
(QS. Yunus:99)
Sejak masa Rasulullah saw. saat menegakkan sebuah masyarakat Islam di Madinah maka faktanya merupakan masyarakat yg di dalamnya hidup berbagai kelompok masyarakat yg berbeda agama/keyakinan, golongan, suku bangsa/ras, dan perbedaan lainnya. Di kota Madinah hidup orang-orang Yahudi dari suku Qainuqa, Nadhir, dan Quraidhah. Belum lagi terdapat qabilah Aus dan Khazraj, serta kaum muhajirin dari Makkah yg berasal dari berbagai anak suku Quraisy. Begitu pula ketika peradaban Islam masuk ke daerah2 Afrika Utara, Andalusia (Portugis, Spanyol, dan sebagian Perancis), Balkan, Asia Kecil, Asia Tengah sampai wilayah India, Pakistan, Bangladesh, Burma, & kawasan perbatasan dgn Xinjiang (Cina). Daerah2 tersebut kaya dgn ratusan suku bangsa maupun ras, juga keyakinan/agama (Hindi, Budha, Nasrani, Yahudi, Zoroaster, dll). Namun pluralitas tsb dibiarkan ada dan hidup sebagai sebuah kenyataan dan fakta yg tdk mungkin dielakkan.
Dgn demikian, pluralitas merupakan hal yg diterima, dihadapi, diatur secara adil mekanismenya & interaksinya agar menjadi dinamika masyakat yg positif dan bukan potensi negatif yg melahirkan anarkhisme massal dan chaos. Masyarakat kapitalisme (negara-negara Eropa Barat dan Amerika), masyarakat sosialisme-komunisme (negara-negara Blok Timur), maupun masyarakat Indonesia atau negeri-negeri lainnya menghadapi kenyataan yang sama, yaitu pluralitas masyarakat.
Jadi, kenyataan tentang madsyarakat itu dimanapun sama saja. Perbedaan yang fundamental dari masing-masing tipe masyarakat tersebut terletak pada jenis sistem mekanisme yang mengatur interaksi anggota-anggota masyarakat. Yang paling penting adalah sistem mekanisme itu haruslah benar dan adil, sehingga dapat dijaga dan dipelihara dengan tegas oleh negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebuah negeri atau peradaban akan ditimpa malapetaka kehancuran masyarakatnya hanya disebabkan tidak memiliki sistem yang shohih (benar) yang dapat mengatur interaksi anggota-anggota masyarakatnya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.
Sebuah kenyataan yg ironis di Indonesia adalah terjadinya upaya utk menjauhkan masyarakat dari kenyataan kemajemukkan masyarakat serta keharusan adanya sistem yg mengatur mereka sehingga muncullah istilah SARA dgn tujuan terciptanya toleransi, kerjasama, maupun kerukunan hidup beragama maupun masyarakat. Padahal kenyataan tentang hal itu adalah bahwa masyarakat sendiri buta tentang hak2 mereka & kewajibannya, malah justru mereka tdk memahami bagaimana negara bersikap terhadap perselisihan yg berujung pada masalah SARA. Pada akhirnya kerukunan dan toleransi ng terjadi hanyalah kerukunan dan toleransi semu, disebabkan ketakutan diruduh menyulut isu SARA. Ketika sendi-sendi masyarakat hancur, rasa takut masyarakat menjadi hilang, potensi konflik pun berubah menjadi amuk massa dan kerusuhan tidak terelakkan.
Oleh sebab itu, sekali lagi perbedaan yang asasi sebuah masyarakat terletak pada Sistem Nilai apa yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Jadi, pluralitas merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Di dalam Islam keberadaan pluralitas itu dapat melahirkan ikatan persaudaraan yang kokoh. Hal ini disebabkan Islam memandang semua manusia sama di hadapan Allah. Tidak ada diskriminasi dalam Islam. Islam tidak membedakan manusia dari sisi bangsa, suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Perbedaan seorang manusia dalam Islam disebabkan perbedaan tingkat ketakwaannya, ketaatannya kepada Allah, dan amal salehnya.
TIPOLOGI MASYARAKAT ISLAM
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersandar pada aqidah dan aturan-aturan Islam yang bersumber pada Al Quran dan As Sunnah. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Tidaklah mengherankan, di dalam ajaran dan hukum-hukum Islam sarat dengan prinsip-prinsip keadilan yang pernah ditarapkan sejak masa Rasulullah saw. Ha ini tidak lan karena kesempurnaan Islam yang berasal dari Dzat Yang maha Adil dan Sempurna, sebagaimana firmannya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu (Islam) dan telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu” (QS. Al Maidah:3)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Islam merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi ummat Islam dengan disempurnakannya agama mereka yang tidak lagi membutuhkan agama (ajaran, sistem hidup, sumber hukum) yang lain. Juga tidak lagi membutuhkan Nabi selain Nabi Muhammad saw. Hal ini pula yang menyebabkan Rasulullah Muhammad saw menjadi nabi akhir zaman dan pamungkas yang dibangkitkan untuk manusia dan jin, yang tidak ada hukum halal dan haram kecuali yang dihalalkan dan diharamkan Allah dan tidsak ada agama kecuali yang disyariatkan Allah (Tafsir Ibnu Katsir, juz II: 18).
Meskipun demikian, hal ini tidak berarti masyarakat Islam memvonis mati setiap unsur lain di dalam masyarakatnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam. Perlu diketahui bahwa makna keadilan dalam ayat di atas berlaku umum bagi siapapun dalam arti lintas warna kulit, bahasa, ras, suku, bangsa, maupun agama. Untuk itulah Islam memberikan landasan kuat berupa sikap yang ditegaskan dalam firman Allah swt.:
“Allah tidak melarang kamu (kaum muslimin) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..”
Allah swt. menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw. sebagai rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Kehadiran Rasulullah saw. dengan membawa wahyu Allah (Al Quran) dan perilaku beliau dibimbing wahyu tersebut telah menjadikan perilaku beliau, tutur katanya sebagai hukum syara’ dan teladan bagi manusia.
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya: 107).
Selain itu, kesempurnaan dan luasnya cakupan yang terdapat dalam Islam menjadikan tidak ada satu perkarapun yang luput dari nilai dan hukumnya, sehingga hal tersebut menunjukkan ketelitian, keagungan, kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur manusia dan alam semesta. Allah swt. berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl: 89).
Berdasarkan hal ini, maka seorang muslim tidak selayaknya berpaling dan beralih kepada aturan dan nilai yang lain. Apalagi jika sistem hukum tersebut merupakan produk manusia yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Jika Allah swt. telah memberikan kepada kita aturan kehidupan sempurna dan lengkap maka tdk boleh bagi seorang muslim berpaling dari aturanNya itu.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzab:36)
Oleh sebab itulah, siapapun orangnya, apapun juga jabatannya, selama ia seorang mukmin yang meyakini pada kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah maka wajib baginya untuk menerapkan dan mengikuti aturan yang telah Allah tentukan.
“Maka putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al Maa-idah: 48)
Imam Al Qasimiy dalam kitab Mukhtashar Tafsir Al Quran menyatakan bahwa pengertian “fahkum bainahum bimaa anzalallahu” tersebut bermakna diterapkan pula di tengah ahlul kitab jika mereka merujuk kepadamu (Muhammad). Imam Nasafiy menyatakan: “Allah swt. mengingatkan tentang diturunkannya Taurat kepada Musa as. kemudian diturunkannya Injil kepada Isa as., setelah itu diturunkannya Al Quran kepada Muhammad saw. dan hal itu bukan sekdar untuk didengar saja, melainkan untuk diterapkan” (Perhatikan kitab Mukhtashar min Mahaasini at Takwil karya Imam Al Qasimiy).
Demikianlah, setiap muslim berkewajiban memperlakukan seluruh manusia dengan kebajikan dan keadilan, meski mereka tidak beragama Islam, selama mereka tidak memerangi, membuat makar, dan memusuhi kaum muslimin.
JAMINAN ISLAM TERHADAP NON-MUSLIM
Dalam ajaran Islam keberadaan warga masyarakat nonmuslim yang berada dalam lingkungan kehidupan masyarakat Islam disebut dengan istilah ahlu Dzimmah. Dzimmah memiliki pengertian perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka disebut sebagai ahlu dzimmah disebabkan mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan RasulNya, serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan sistemnya. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan pada aqad dzimmah. Orang-orang nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain yang beragama Islam, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Aqad dzimmah ini berlaku selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang nonmuslim tetap memeluk agama mereka sekaligus menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara. Kewajiban mereka adalah hanya menunaikan jizyah (semacam pajak pertahun bagi yang mampu), tunduk pada aturan-aturan Islam sepanjang tidak berhubungan langsung dengan perkara-perkara agama dan ibadah mereka.
Adapun hak-hak nonmuslim yang dijamin Allah dan RasulNya, antara lain:
1. Hak (Jaminan) Perlindungan.
Hak ini meliputi perlindungan dari serangan eksternal maupun kezaliman internal sehingga mereka merasa aman dan tentram. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang bertindak dzalim terhadap seseorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridlaannya, maka akulah yang akan menjadi lawan si dzalim itu pada hari Qiamat” (HR. Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, juz V:205). Imam Qarafiy Al Malikiy dalam kitab Al Furuq, juz III:14-15) menyatakan bahwa: “...Apabila orang kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan dzimmah rasulNya”. Khalifah Umar bin Khatthab sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tarikh Thabariy, juz IV: 218, selalu bertanya kepada orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahlu dzimmah, karena beliau khawatir ada di antara kaum muslimin yang menimbulkan gangguan terhadap mereka. Lalu orang-orang yang datang itu menjawab: “Tidak ada sesuatu yang kami ketahui melainkan perjanjian itu dijalankan sebaik-baiknya oleh (penguasa daerah) kaum muslimin”
Perlindungan (Jaminan) nyawa dan badan. Nyawa atau darah para ahlu dzimmah dipelihara dan dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu, pembunuhan atas nonmuslim diharamkan dalam Islam. Berkaitan dengan ini Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (orang yang terikat perjanjian dengan masyarakat kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah memerintahkan seorang muslim untuk dihukum qishash (dihukum bunuh) karena ia membunuh non-muslim (ahlu dzimmah). Namun sebelum hal itu terlaksana, datang keluarga korban memaafkannya. Lalu Ali ra. bertanya: “Jangan-jangan ada orang yang mengancam atau menakut-nakuti engkau”. Mereka menjawab, “Tidak, namun aku fikir pembunuhan itu tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku tebusan (diyat) dan aku rela sepenuhnya”. Ali pun lalu berkata: “Engkau lebih tahu, barang siapa terikat dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum muslimin) dan diyatnya seperti diyat kami”. (HR. Thabrani dan Baihaqi dalam Sunan al Kubra, juz VIII: 34)
2. Perlindungan (Jaminan) terhadap harta benda.
Imam Abu Yusuf dalam kitabnya Al Kharaj: 72 menukil riwayat mengenai perjanjian Nabi saw. dengan orang-orang Nasrani Najran: “Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah & dzimmah Muhammad, Nabi dan RasulNya atas harta benda mereka, tempat peribadatan serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak”
3. Perlindungan (Jaminan) atas kehormatan
Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh mencaci maki seorang dzimmi atau mengajukan tuduhan palsu, menjelek-jelekkannya, menggunjingkan dengan ucapan yang tidak disukainya, dan lain-lain. Imam Qarafiy dalam kitab Al Furuuq, juz III: 14, menyatakan: “Aqad dzimmah mewajibkan berbagai hak utk mereka, sebab mereka ada dlm lindungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan RasulNya, serta agama Islam. Maka barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan maka ia berarti menyia-nyiakan dzimmah Allah, RasulNya, serta dzimmah Islam”.
4. Jaminan hari tua dan terbebas kemiskinan (Jaminan Ekonomi)
Orang-orang nonmuslim dalam masyarakat Islam berhak atas jaminan hidup, apalagi jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin. Sebab, seorang kepala negara merupakan pemimpin atas seluruh rakyatnya dan ia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasulullah bersabda: “Seorang imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Muslim). Berkenaan dengan hal ini Umar bin Khatthab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis. Ketika ditanyakan padanya, ternyata usia dan kebutuhan hidup mendesaknya untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya pada bendahara Baitul maal (kas negara) dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang tua itu dan orang-orang seperti dia uang dari baitul mal (kas negara) yang mencukupi hidup mereka. Lalu Umar berkata: “Kita telah bertindak zalim terhadapnya, menerima pembayaran jizyah ketika ia masih muda, kemudian menelantarkannya dikala telah lanjut usia” (Perhatikan kitab Al Kharaj: 26). Dalam aspek ekonomi (perdagangan) warga nonmuslim diberikan keleluasaan untuk berusaha dan beraktivitas sebagaimana yang terdapat bagi kaum muslimin. Hanya saja, melakukan perbuatan riba, suap, KKN, dumping, menimbun, curang dan menipu dalam transaksi yang terjadi diharamkan untuk dilakukan bagi mereka sebagaimana hal itu juga berlaku bagi kaum muslimin. Perkara ini dapat kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw. ketika menulis surat kepada orang-orang majusi Hijr: “... Hendaklah kalian meninggalkan riba atau jika tidak besiap-siaplah untuk menerima pernyataan perang dari Allah dan RasulNya”. Merekapun dapat menjadi pegawai negeri dalam jabatan-jabatan yang terkait dengan sains-teknologi, manajemen dll.
5. Jaminan kebebasan beragama
Kebebasan beragama dan beribadah bagi orang-orang nonmuslim adalah wajib, sebagaimana firman Allah swt. :
“Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya ?” (QS. Yunus:99).
Pada saat Umar bin Khaththab ra. memasuki kota Al Quds (Yerusalem/Illiya), beliau membuat perjanjian dnegan orang-orang Nasrani di kota itu. Adapun bunyi sebagian teksnya adalah: “Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi mereka harta benda, gereja-gereja, salib-salib, serta egala kepeluan peribadatan. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, ataupun dikurangi luasnya, diambil salib salib-salibnya, atau apapun dari harta mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka ata diganggu dnegan suatu gangguan dan tidak akan dobolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka (Nasrani) ” (perhatikan Tarikh Thabariy, juz III: 609). Satu-satunya yang diminta Islam adalah mereka mampu menenggang perasaan dan ibadah kaum muslimin dan menjaga kesucian Islam.
(Arif B Iskandar, Materi Dasar Islam, Al Azhar Press)