Mengoreksi Penguasa Tidak Harus Empat Mata

Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra,  dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.  Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
·        Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin 'Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah.  Imam Husain ra dibai'at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H.  Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin 'Aqil ra untuk mengambil bai'at penduduk Kufah untuk dirinya.  Dan tidak kurang 18 ribu orang membai'at dirinya.   Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )".[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217]  Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin 'Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu'awiyyah.
·        Sebelum Imam Husain bin 'Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin 'Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.   Inilah cara Ummul Mukminin 'Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.  Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
·        ’Abdullah bin Handzolah ra dan sebagian penduduk Madinah mendatangi Yazid bin Mu’awiyyah ra untuk menasehatinya.  Namun, nasehat itu tidak bermanfaat bagi Yazid.  Akhirnya mereka kembali ke Madinah dan memisahkan diri dari Yazid bin Mu’awiyyah.  Lalu mereka membai’at kepada ’Abdullah bin al-Zubair ra.  Penduduk Madinah pun menyetujui mereka.  Lalu, meletuslah perang al-Harrah, pada bulan Dzul Hijjah 63 H. [Lihat Imam Ibnu Atsir, Usud al-Ghaabah, juz 2/100, bab ’Abdullah bin Handzolah ra].  Kita tidak pernah menjumpai seorang shahabat ataupun ulama-ulama besar yang menyatakan bahwa ’Abdullah bin Handzolah ra dan penduduk Madinah yang mengikuti beliau termasuk kelompok sesat dan menyimpang dari Islam.
·    ’Abdullah bin Zubair ra dengan shahabat-shahabatnya juga memisahkan diri setelah kematian Yazid bin Muawiyyah.  Lalu, beliau ra meminta agar kaum Muslim membai’at dirinya.  Mayoritas kaum Muslim pada saat itu membai’at beliau, kecuali orang-orang Yordan.  Dengan demikian, beliau sah disebut sebagai Amirul Mukminin.  Namun, kepemimpinan beliau berakhir setelah diperangi oleh ahlul bughat, Marwan bin al-Hakam.[Imam ’Ali bin Ahmad bin Sa’id Hazm al-Andalusiy (Ibnu Hazm al-Dzahiriy), Jaami’ al-Siirah wa Khams Rasaail Ukhra, juz 1/358]
·   ’Abdurahman bin al-Asy’ats juga memisahkan diri dari al-Hajjaj.  Beliau juga memisahkan diri dari ’Abd al-Malik bin Marwan.  ’Abdurrahman bin al-Asy’ats ra didukung oleh ulama-ulama terpilih dan terkemuka dari kalangan kaum Muslim, yakni Sa’id bin Jabir –yang akhirnya terbunuh--, Imam Mufassir al-Mujahid radliyallahu ta’ala ’anhu, Imam Asy Sya’biy, dan ulama-ulama lainnya.[ Imam Ibnu Jauziy, al-Muntadzam, juz 2/319, dan kitab-kitab sirah terkemuka lainnya]
·   Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim dan melarang wanita Muslimah menetapkan mahar terlalu mahal, maka, beliau segera dikritik oleh seorang wanita.  Lalu Umar mengatakan bahwa wanita benar, sedangkan Umar yang salah. [HR. Imam Baihaqiy, dengan sanad mursal jayyid].  Jikalau menasehati penguasa harus rahasia, niscaya seorang wanita terlarang menasehati penguasa, karena terkena hukum khalwat.  Padahal, baik laki-laki dan wanita diperintahkan untuk melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar, termasuk melakukan muhasabah lil hukkam.
·     Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah.  Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, "Wahai manusia dengarlah dan taatilah..."  Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, "Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu".  Umar berkata, "Mengapa demikian?"   Salman menjawab, "Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi?   Beliau menjawab, "Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, "Wahai 'Abdullah".  Namun tidak seorang pun menjawab.  Lalu beliau ra berkata lagi, "Wahai 'Abdullah bin Umar..".  'Abdullah menjawab, "Saya wahai Amirul Mukminin".  Beliau berkata, "Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu?  Abdullah bin Umar menjawab, "Demi Allah, ya".  Salman berkata, "Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat". ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam (Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
·    Amirul Mukminin Mu'awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, "Dengarlah dan taatilah..".  Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, "Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu'awiyyah!".  Mu'awiyyah berkata, "Mengapa wahai Abu Muslim?".  Abu Muslim menjawab, "Wahai Mu'awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu?  Mu'awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, "Tetaplah kalian di tempat". Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi.  Mu'awiyyah berkata, "Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah.  Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air.   Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi".  Sebenarnya saya masuk untuk mandi.  Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian".[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
·      Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa'id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra.  Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum'atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
·       Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa'id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla.   Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, "Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih?   Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya". [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
·       Sulthan al-'Ulama, Al 'iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub.  Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum'at di hadapan penduduk Damaskus.  Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus.  Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al 'Iuz 'Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh.   Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
b.     Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang sirriyatun nashihah, sesungguhnya, hadits ini lemah, sehingga tidak layak dijadikan hujjah.  Seandainya hadits ini shahih, hadits ini juga tidak bisa mentakhshish keumuman hukum menasehati secara terbuka dan terang-terangan. Adapun pembahasan mengenai hadits ini akan diurai secara panjang lebar pada bab XIII
        Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan bahwa mengoreksi penguasa hukum asalnya adalah dilakukan secara terang-terangan.  Hanya saja, seseorang diberi pilihan untuk menasehati penguasa secara rahasia maupun terang-terangan.  Adapun kapan seorang Muslim menasehati penguasa secara terang-terangan dan kapan dengan cara sembunyi, hal itu tergantung dari keadaan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu.  Jika penyimpangan penguasa tersebut berkaitan dengan kebijakannya yang bisa mengakibatkan kesesatan, kesengsaraan, dan penderitaan umat, maka, kejahatan itu harus diungkap secara terbuka, agar umat terhindar dari kebijakan jahat tersebut.  Adapun jika penyimpangan penguasa itu berkaitan dengan kejahatan dan dosanya secara pribadi, maka menasehatinya lebih baik dilakukan dengan rahasia untuk menjaga kehormatan dirinya, kecuali jika penguasa itu sudah tidak malu-malu lagi dengan kemaksiyatan dirinya. 
(dinukil dari Buku Revolusi Dunia Islam, karya Syamsudin Ramadhlan, Al Azhar Press)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf