Jangan Undang Kecemburuannya

Cemburu itu ibarat sekam yang menunggu peniupnya agar menjadi sebuah api yang menyala. Maka jangan sekallpun kita coba untuk menghidupkannya, sebab sekecil apapun “tiupan” api cemburu, akan membawa dampak rusaknya persahabatan suami-isteri yang selama ini kita jalin. Dan jika tidak ada kesadaran dari kita untuk mengakhiri rasa cemburu isteri, itu artinya kita jadi orang pertama yang merusak cinta dan persahabatan tulus. Maka, jikalau kita tidak mau menaruh rasa cemburu kepada isteri, maka hendaknya kita jangan memulainya dengan mengundang kecemburuan isteri.               
             Menjaga pergaulan dengan lawan jenis yang bukan mahram menjadi suatu keharusan yang kita lakukan, selain karena status kita sebagai suami yang sudah menjadi “hak milik” isteri kita dan syariat Islam juga mewanti-wanti hal itu. Seperti kita bisa lihat pada sabda Rasulullah Saw :

“Tiada bersepi-sepi (berada di tempat yang sunyi) seorang lelaki dengan perempuan, melainkan syaithan merupakan orang yang ketiga diantara mereka” (HR. Tirmidzi)
             Bergaul bebas dengan lawan jenis memang bukan kepribadian seorang muslim, apalagi kita harus menjaga perasaan isteri kita. Interaksi dengan lawan jenis, meskipun itu saudara atau kerabat dekat kita (ipar) atau bahkan teman isteri yang dulunya mungkin juga teman kita. Kita tetap harus bisa memahami perasaan isteri. Baik itu berupa interaksi secara langsung, maupun tidak langsung misalnya lewat telepon, sms atau chating.

Hadits Nabi Saw :
“Uqbah bin Ami r.a., berkata : Rasulullah Saw bersabda: “Awaslah kamu masuk kepada orang-orang perempuan” Seorang sahabat Ansor bertanya : “Bagaimana kalau ipar (alhamwu) ?’ Jawab Nabi : “Alhamwu berarti maut” (HR. Mutaffaqun ‘Alaih)
             Kepada seorang isteri seharusnya kita berlaku baik, bertutur kata yang sopan, lemah lembut serta tidak menunjukkan kecenderungannya pada wanita lain. Sebab yang demikian itu, lebih bisa menumbuhkan keteduhan jiwa, ketenangan batin dan tak lupa lebih mempererat persahabatan sejati antara suami-isteri.
             Suami pulang dari berpergian jauh yang membutuhkan waktu tidak sedikit, bisa menimbulkan gundahnya perasaan isteri kita. Jika kita pulang dari berpergian, kemudian kembali pada isteri dengan wajah dan sikap yang tidak wajar atau tidak seperti biasanya, maka sikap ini jelas memancing kecurigaan isteri kita. Maka alangkah afdholnya sebelum berpergian kita berbincang dulu bersama isteri dengan suasana penuh keakraban dan kemesraan. Bisikkan kepada isteri nasehat dan wasiat untuk selalu memegang teguh amanah terhadap apa saja yang di rumah, ketika kita tidak berada di rumah. Selingilah ditengah perbincangan itu dengan senda gurau yang menyenangkan dan berjanji untuk setia kepadanya dan cepat kembali ke rumah begitu menyelesaikan keperluan kita.
             Adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan, mintalah do’a kepada isteri, agar diberi keteguhan, dimudahkan urusannya dan kembali dalam keadaan sehat. Bisa jadi, bagi suami ini hal yang sepele, tapi meski memang sepele, kenapa tidak kita coba saja, kalau ternyata hal ini bisa memperkokoh cinta kita kepada isteri, karena akan diliputi rasa rindu jika jauh dari isteri?
             Sesampainya di tempat tujuan, kita sempatkan untuk menelpon atau memberitahu kepada isteri bahwa berkat doanya kita sudah sampai dengan selamat. Kemudian, tidak lupa menanyakan kepada isteri, minta oleh-oleh apa sesampainya di rumah nanti. Jika oleh-oleh itu merupakan kesenangan isteri, usahakan jangan kita kecewakan dengan tidak membawakannya ketika pulang ke rumah. Ya benar, meski tidak dibawakan oleh-oleh, mungkin rasa cinta isteri kita tidak berkurang. Tapi apa kita tidak ingin rasa cinta isteri kita yang tidak berkurang tadi malah bertambah dengan membawakannya oleh-oleh kesukaan dia?
             Ingat, luangkan waktu kita untuk curhat kepada isteri tentang pengalaman selama berpergian, sebab ini akan membuat jalinan cinta semakin menancap kokoh.
             Salah satu sikap mulia juga sebagai suami, kalau kita tidak memancing isteri kita cemburu lantaran kita sering bercerita atau memuji kebaikan, kecantikan, kesempurnaan wanita lain di depan isteri kita. Pujian yang kita berikan kepada wanita lain selain isteri kita, secara tidak sengaja kita telah merendahkan kedudukan isteri kita sendiri. Tentu sang isteri, akan merasa sakit hati, karena ternyata suaminya selama ini menyimpan rasa kekagumannya bukan kepada isteri tapi kepada wanita lain selain dirinya.
             Saat kita memilih dia sebagai isteri kita, seharusnya kita sudah yakin bahwa dia pilihan terbaik yang diberikan oleh Allah dari sekian wanita yang ada. Meski saat kita mendapatkannya, itupun karena dijodohkan oleh saudara, teman, tetangga dan lain sebagainya. Dan bisa jadi, dalam perjalanan berumah tangga kita mendapatkan godaan dengan datangnya bayangan wanita lain dalam hidup kita. Jika itu yang terjadi, maka segera saja kita siram dan bersihkan pikiran itu dari benak kita. Bukan berarti pikiran itu kotor, tapi akan menjadi kotor, jikalau kita tidak berterus terang kepada isteri bahwa kita mempunyai kecenderungan pada wanita lain. Semuanya pasti bisa didiskusikan, bukan dengan mengambil sikap sepihak, yang tentu akan membuat sakit hati pihak lain, tiada lain isteri kita.
             Apa sih yang membuat kita tertarik pada wanita lain yang bukan isteri kita sehingga membuat kita berlaku curang dengan memuji dia sementara isteri tidak pernah dapat pujian itu? Apa karena dia lebih cantik, kaya, dari keluarga yang terhormat yang sangat berbeda dengan isteri kita? Kalau itu pertimbangannya, bukankah waktu kita memilih isteri kita sebagai teman hidup, kita sudah menetapkan 4 kriteria seperti yang Rasulullah Saw, perintahkan dalam haditsnya :

“Wanita itu lazimnya dinikahi karena 4 hal : karena hartanya, kemuliaan keturunan, kecantikan serta agamanya, maka pilihlah wanita yang memiliki agama (jika tidak), maka binasalah engkau” (HR. Bukhari Muslim)
             Alkisah, Umar bin Khatab r.a menikahkan putranya Ashim dengan seorang anak penjual susu, karena sewaktu beliau menjadi Khalifah, pada suatu malam dia berkeliling masuk ke daerah kampung-kampung. Tiba di suatu rumah, Umar mendengar percakapan antara ibu dan anak perempuannya : “Ayo bangunlah ! Campurlah susu itu dengan air. Apakah ibu belum mendengar larangan dari Amirul Mukminin ? Apa larangan beliau, Nak ? Beliau melarang umat Islam menjual susu yang dicampuri air. Aah… ayolah bangun. Cepatlah kau campur susu itu dengan air. Janganlah engkauu takut pada Umar, mana dia ada disini. ; Memang Umar tidak melihat kita bu, akan tetapi Allah, Robbnya Umar melihat kita. Maafkan bu, saya tidak dapat memenuhi permintaanmu. Saya tidak ingin jadi orang yang munafik, mematuhi perintahnya di depan umum akan tetapi melanggar di belakangnya.” Mendengar ucapan si anak tersebut, pada pagi harinya memerintahkan putranya Ashim : “Pergilah ke sebuah tempat terletak di daerah itu. Disana ada seorang gadis penjual susu, jika ia masih sendiri pinanglah !” (Arsadul Ghabah fii ma’rofatis Shahabah, Ibnu Katsir)
             Jadi hilanglah 3 kriteria sebelumnya, jika agama yang jadi standar kita memilih isteri. Dan pada faktanya, sampai kapan kita bisa mendapatkan isteri kita cantik? Kita akan tua, diapun akan begitu. Apa kekayaan yang jadi pertimbangannya? Buat apa kita kaya harta, tapi kalau kita tidak “kaya hati” yakni menerima isteri dengan apa adanya, mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah dari isteri kita. Ingat, kemulyaan seseorang bukan ditunjukkan oleh harta, kecantikan, bukan pula keturunan, akan tetapi ukurannya hanya satu yakni ketakwaan kepada Allah. Hanya dengan memilih isteri karena agamanya (baca : sholihah) kita bisa selamat dan menyelamatkan keluarga kita nantinya. Hanya isteri yang sholehah yang pantas jadi sahabat sejati bagi suami yang sholih membentuk rumah tangga full ridhlo Allah.
              Bagi orang yang berpikiran positif, kesempurnaan wanita lain dibanding isterinya, merupakan tantangan bagi kita. Baik tantangan untuk menghadapi problem itu dengan jantan, atau tantangan untuk menjadikan isteri kita seperti dia. Jika memang dalam perjalanan kita tidak bisa mencapainya, berpikir positiflah akan membuat kita menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti kita tidak berusaha. Mensyukuri apa yang dimilikinya Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak bisa dipunyainya, itu hanya akan membuat hidup jadi sempit.
Wallahu’alam bis showab
(dikutip dari buku "Isteriku sahabat sejatiku" karya Luky B Rouf, Smile Pro)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf