Televisi, koran, majalah lagi pada rame bin ribut memberitakan soal pornografi maupun pornoaksi. Ya, wajar aja kalo para pemilik media itu gerah dengan adanya isu pornografi. Sebab mereka, boleh dibilang adalah selama ini pihak yang paling getol menayangkan porno-pornoan itu.
Misal aja di televisi, tayangan porno maupun aksi porno bukan barang baru lagi. Dulu pernah ada goyang ngebor yang diprakarsai Inul Darahnista, yang akhirnya diterusin para pengekornya, seperti Uut permatasari, Anisa Bahar, Dewinta Bahar Dewi Persik, de es be. Trus di dunia sinetron atawa film juga nggak sedikit yang berbau porno. Kita bisa liat, Komedi Tengah Malam miliknya Lativi, Komedi Nakal punyanya Trans TV, atawa film Burun Cium Gue.
Di koran, majalah atau tabloid, nggak terbilang juga gambar syur yang mengelontorkan iman kita. Dulu Sophia Lajubah pernah gambar seronok di majalah Popular. Di negerinya anak singkong ini, majalah waralaba bikinan orang bule, juga ada yang mengusung pornografi, sebut aja majalah FHM, dan yang akan datang majalah Playboy. Di Surabaya, pas lagi rame-ramenya penggrebekan media pornografi, telah ditangkap Singgih Sutoyo pengusaha tabloid pornografi yang berdiri dibawah payung PT. Top Media Group, yang memproduksi tabloid TOP, Buah Bibir dan Online, semuanya nggak ada gambar atawa foto yang nggak porno. (kompas, 10/02/’06)
Meski nggak semua media, mengusung pornografi dan pornoaksi, tapi hampir bisa dipastikan kalo emang bener porno-pornoan itu dihapus di negeri ini. Wah, alamat deh, pasti ada beberapa media yang gulung tikar, atau paling nggak ratingnya akan turun, atau emang nggak punya tayangan yang istimewa lagi buat pemirsa.
Dan itu juga sih, yang biasanya dijadiin alasan para pengusaha atawa yang membela kepentingan pengusaha. Kalo perusahaan atau media itu ditutup, lalu mau dikemanakan tuh para karyawannya. Itu biasanya alasan mereka menolak dilikuidasinya lembaga porno. Kayak dulu yang pernah terjadi pada Inul, ketika orang rame-rame menghujat goyang ngebornya, tapi masih ada sedikit pembelaan dari teman sesama artis, atawa para pengacara dengan dalih bahwa itu sumber mata pencaharian Inul. Nah kalo ditutup, dimana Inul cari makan? Kira-kira seperti itu pembelaannya.
Buat yang masih ngotot dengan alasan macam gitu, kita wajib ngasih tahu ke dia bahwa kalo orang gila yang kerjaannya ngambilin makanan dari tong sampah aja, udah dijamin rizkinya oleh Allah. Apalagi ning Inul Darahnista. Tul nggak?
Simbiosis Mutualis
Pernah dengar istilah itu? Kalo waktu sekolah dulu, teori itu digambarin adanya kerbau dengan burung pipit yang ada di pundaknya kerbau. Si kerbau merasa butuh si burung untuk nyariin kutu di tubuhnya, sedang burung pipit juga butuh makan, salah satunya kutu kerbau tadi.
Well, persis deh ama diskripsi diatas. Simbiosis mutualisme tengah terjadi antara pengusaha, artis dan konsumen alias penikmat media. Para pengusaha media, ngerasa butuh artis yang mau tampil seoronok, karena itu yang bisa ngedatangin uang dengan cepat n bejibun. Contohnya kayak Singgih Sutoyo waktu ditanyai kenapa berbisnis media porno, doi ngejawab kalo keuntungan berbisnis media porno 30 juta per sekali cetak. Gile khan?
Oya, selain para pengusaha yang butuh artis. Si artis pun juga butuh pekerjaan khan? Nah, tempat yang nyaman dan nggak perlu modal yang berat-berat amat, khan jadi model atawa artis porno. Iya khan, coba perhatiin, untuk jadi model bintang pornografi khan nggak perlu sehelai pakaian, yang itu berbeda kalo mau jadi artis sinetron atawa film biasa. Paling nggak wajah jadi ukuran utama dan kudu pake pakaian.
Dan, jangan lupa lho, ada yang ngerasa butuh atau yang ngerasa diuntungkan dengan adanya bisnis pornografi dan pornoaksi adalah konsumen, mungkin salah satunya adalah kita. Ya iyalah, pembaca atau pemirsa persis kayak ikan dikasih umpan. Kalo tiap hari, tiap jam atau bahkan tiap detik, iman kita yang pas-pasan itu digoda dengan tayangan porno, maka wassalam deh. Bablas imane, tinggal Imrone.
Makanya kalo ada yang masih ngerasa berat dengan dilibasnya media porno atau aksi porno, maka bisa dipastikan, merekalah yang selama ini memang penikmat media porno tersebut. Hayo, ngaku aja deh !?!
Trus, buat yang asal ngĂȘcap mengatasnamakan kebebasan berekspresi, mending kita tanyain aja ke dia. Apa sih arti bebas menurut dia, apa bebas itu kayak yang dilakuin Amrik nguras kekayaan Afghan dan Irak dengan dalih menjaga perdamaian? Apa bebas itu kalo kamu buang hajat di tempat umum, trus nggak ada yang ngelarang? Bebas itu, apa kayak yang dilakuin media Denmark menampilkan cartoon Rasulullah Saw? Apakah bebas itu, kalo kamu sering gonta-ganti pasangan tidur? Apakah yang dinamakan kebebasan itu, seperti yang dilakuin Paparazi ketika memburu Lady Diana hingga tewas? Bebas itu apa kayak kamu yang nggak tahu malu beperilaku lesbi atau homo?
Well, kalo dari pertanyaan diatas, kamu jawab “Ya”. Itu artinya kamu punya standar ganda dalam mendefinisikan kebebasan, yang meneriakkan kebebasan, kalo keburu orang lain yang juga ingin menumpahkan kebebasan, kamu protes, itu khan nggak fear. Atau emang bisa jadi kamu adalah manusia hipokrit, disini kamu bilang ini kebebasan, tapi disono, karena banyak teman atau karena kamu diming-iming segebok dollar, lidahmu jadi pinter bersilat, sehingga dengan mudah kamu bilang itu juga kebebasan. Khan aneh tho?
Makanya diawal, musti didefinisikan dulu apa bebas itu dan siapa yang kudu mendefinisikan kebebasan. Jangan serampangan orang, dibiarin ngobral omongan tentang kebebasan. Bisa-bisa dia bilang kebebasan, eh ternyata malah kebablasan. Tul nggak?
Nggak Sekedar Budaya
Ada yang nyeletuk bilang kalo porno-pornoan itu nggak sesuai dengan adat bangsa ini, yang masih kuat memegang adat ketimuran. Menurutnya, pornografi atau pornoaksi sudah berbau kebarat-baratan. Jadi, nggak pas kalo budaya Barat itu kita contek untuk kita yang disini.
Kalo ada yang ngomĂȘl seperti itu, mungkin ada benarnya juga. Tapi nggak 100% benar. Sebab apa yang disebut Barat atau Timur, seharusnya mewakili ideologi negara-negara yang disebut Barat dan Timur. Tapi kalo emang benar budaya Timur itu lebih sopan dari Barat, gimana dengan budaya Kamasutra yang dimiliki orang-orang Hindustan. Atau kalo kita teliti relief-relief candinya orang Budha atau Hindu yang ada di Indonesia, disitu terdapat gambar-gambar porno. Kita tahu banget khan, kalo candi itu dibikin udah ratusan taun yang lalu, bahkan sebelum negeri ini terbentuk. Nah lho !
Emang di negeri-negeri Barat kayak di Eropa pada abad yang udah baheula, pas jaman Victorian, udah ada pornografi. Bahkan dalam kamus fashion mutakhir, sebuah jenis beha kinky bernama Victorian Corsette pun dibuat dengan melihat semangat kultural Eropa pada jaman tersebut, Saat ini bangsa Eropa melihat pornografi sebagai sesuatu hal yang membosankan. Karena hakekat rasionalitas dan modernisme telah merambah kedalam berbagai bentuk termasuk pornografi, dimana semenjak jaman Victorian berakhir, orang bebas untuk membicarakan pornografi. Bisa kita lihat dari berbagai film Eropa, ambil contoh filmnya Bernardo Bertolucci seperti The Dreamers, ataupun The Sheltering Sky.
Di Amerika kita lihat film-film Amerika yang bahkan kalo kita mensurvey secara statistik maka kita akan mendapati bahwa Amerika merupakan negeri produsen film BF terbesar di dunia. Industri besar produsen film berlendir seperti Vivid Enterprise, Hustler, hingga yang indie label semacam Dogfart adanya di Amerika. Majalah produsen gambar porno seperti Playboy, Penthouse, Hustler, dll adanya juga di Amerika. Bahkan industri ketelanjangan yang memasarkan via internet juga terbesar berpusat di Amerika.
Tapi bukan berarti orang timur lebih baik dari semua itu. Selain contoh diatas, akhirnya orang Timur atau bahkan Indonesia sendiri udah bisa bikin film porno, atau VCD porno, kayak bandung lautan asmara atau anak ingusan. Industri seks yang nggak bisa dilepaskan dari pornografi juga berada di Indonesia, tepatnya di Gang Dolly (surabaya), dan Kanton (cina). Bahkan keduanya disinyalir omzetnya lebih gede dari distrik Harlem di Amsterdam Belanda, yang notabene punya orang Barat.
Nah sobat, amat sangat nggak tepat sekali, kalo kita mengukur pornografi-pornoaksi dengan budaya timur, atau membatasi masalah porno dari segi budaya aja. Sebab, emang faktanya ukuran atau standar itu absurd bin nisbi. Kalo ukuran porno itu cuman dibatasi oleh sekat budaya sebuah negara, maka itu akan sangat relatif. Karena seperti kita tahu juga bahwa budaya itu adalah hasil produk manusia. Maka akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang bikin budaya tersebut.
Yang Bener, Ya Islam Dong !
Sobat, nggak ada yang bisa membantah kalo Islam itu agama Samawi, artinya Allah sendiri yang bertindak sebagai arsitek agama ini. Sebelum benar-benar terjadi hal-hal porno, Islam udah ngasih langkah preventif, persuasif atau kondusif. Langkah preventif nan persuasifnya bisa kita lihat dalam Al-Qur’an Surat al-Ahzab 59 dan an-Nur ayat 31 tentang perintah untuk berjilbab dan berkerudung bagi perempuan, biar nggak keliatan auratnya, yang meliputi seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan.
Nggak cukup cuman itu, Islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan (QS. an-Nur 30), padahal kita tahu kalo pandangan mata itu bisa jadi muqadimahnya perzinaan. Islam ngelarang pria dan wanita berduaan, bersepi-sepian tanpa disertai mahramnya. Dan juga Islam ngelarang aktivitas yang mendekati zina (QS. al-Isra 32).
Selain itu, Islam juga punya langkah preventif lainnya seperi QS.an-Nur ayat 58-59, yang isinya tentang “aurat” waktu, dimana ada waktu-waktu khusus yang dimiliki oleh seorang penghuni rumah bagi orang-orang asing, biar nggak selonong boy, masuk rumah tanpa izin. Waktu-waktu itu diantaranya sebelum sholat shubuh; menjelang dzuhur; setelah sholat Isya. Karena pada waktu-waktu itu, penghuni rumah mengenakan pakaian rumah atau emang sedang bobo’.
Di beberapa hadits nabi juga disebutkan, tentang adanya larangan wanita keluar rumah sehari semalam tanpa disertai mahramnya. Larangan bagi wanita, memakai perhiasan berlebihan. Larangan bagi wanita pake parfum berlebihan ketika di tempat umum. Dll.
Then, hal-hal diatas kita dapati dalam Islam dan nggak kita dapati di agama lain maupun ideologi lain, apalagi budaya selain Islam. Lagian, emang Islam bukanlah ajaran budaya. Islam adalah ideologi, way of life, jalan hidup bagi pemeluknya.
Jadi yang bener, dalam mengukur soal pornografi dan pornoaksi, kudu kita kembalikan ukurannya berdasar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab cuman ukuran ini yang pas, yang nggak nisbi, nggak relatif, sebab aturan ini berasal dari Sang Maha Pencipta, Allah azza wajala. {toekangritikbelumati@yahoo.co.id}