Cold War, yang oleh Francis Fukuyama disebut sebagai the end of history, sesungguhnya sangat kurang tepat. Dengan dominasi tunggal Amerika dalam percaturan politik internasional, bukan berarti sejarah telah tertutup buat terjadinya persentuhan ideology. Pada realitasnya, untuk melanggengkan eksistensinya, Amerika telah menempatkan Islam sebagai ancaman lanjutan dari idelogi kapitalismenya. Kita bisa melihat dengan kentara ketakutan Barat terhadap potensi bara dalam sekamnya Islam kalau kita membaca tesis Samuel Hutington tentang benturan peradaban.
Persentuhan Islam-Barat, Sebuah Keniscayaan
Barat, dalam realitasnya bukan saja sebutan untuk sebuah bangsa. Namun dengan sebutan itu pula, norma, adat, system bahkan ideology telah menjadi model ideal bagi negara penghuni dunia ketiga, sebagai percontohan negara modern. Ali Syariati pernah mengatakan yang ditulisnya dalam buku Peranan Cendekiawan Muslim, “tujuan dari alternatif ini (globalisasi) bukanlah kekerasan, melainkan mengatur terjadinya perubahan mendasar : yaitu mengubah nilai-nilai agar shampo, kemeja, lipstik dapat diterima. Masyarakat harus dimodernisasi secara global, kalau sudah modern, mereka akan menerima dengan senang hati apa yang ditawarkan kepada mereka”. Alangkah benar sinyalemen Ibnu Khaldun (1332-1406) “Orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik pakaian, perhiasan, kepercayaan serta adat kebiasaan lainnya”.
Sedang dalam buku Agama dan Modernisasi Politik, Donald E Smith, mensinyalir : sekularisasi yang dibawa Barat merupakan keniscayaan dunia yang mengalami proses modernisasi. Sebab ciri terpenting dari modernisasi adalah sekularisasi. Berbeda Maryam Jamella dalam menanggapi persentuhan Islam dan barat, di bukunya Islam versus the West, ia menyebutkan : pemikir-pemikir Islam seperti Sayid Qutub, Muhammad Qutub, Muhammad Asad lebih jelas dan tegas memaparkan paradoksal antara Islam dan Barat. Maryam Jamella –seorang Yahudi keturunan yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus—menegaskan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental, menurutnya “the imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic and secular philosophies can only lead to abandonment of Islam”.
Melalui tesisnya, Prof. Hutington meyakinkan Barat, bahwa idelogi adalah senjata paling ampuh dalam perumusan pola hubungan internasional dan pembentukan Tata Dunia Baru. Dengan adanya dominasi tunggal AS, telah melahirkan Tata Dunia Baru. Sebagai negara nomor satu di dunia, AS mengatur tata politik dunia dengan bendera kapitalismenya. Berkaitan dengan penyebaran kapitalisme ini ada satu hal yang harus betul-betul diperhatikan yakni, setelah AS berhasil memantapkan dominasi ideology kapitalisme secara internasional, maka kini AS tengah berusaha untuk memantapkan dominasi ideology secara universal.
Lebih jelas lagi kalau Taqiyudin membahas dalam karyanya Mafahim Siyasah, dikatakannya ada dua blok adikuasa dunia : kapitalisme (ra’sumaliyah) dan komunisme (syuyu’iyah). Diantara keduanya masing-masing menyebarkan ideologinya (mabda’), dengan metode (tariqoh) dari komunisme adalah dengan menyebarkan pertentangan kelas, sementara kapitalisme memakai metode penjajahan, yakni penguasaan atas politik, ekonomi, budaya. Penjajahan merupakan bagian terpenting dan tak terpisahkan dari kapitalisme, dan menurutnya bersifat tetap, kendati bentuk negara, hukum dan pemerintahan yang dihadapinya berbeda-beda. Yang berubah hanyalah cara (uslub) yang ditempuh serta obyek atau sasaran penjajahan.
Lahirnya PBB adalah langkah sukses AS pasca Perang Dunia II bersama negara-negara kapitalis lain untuk menjadikan kapitalisme sebagai azas interaksi dan konvensi internasional. Langkah AS secara universal untuk menjadikan kapitalisme sebagai ideology seluruh umat manusia tak menghadapi perlawanan apapun, kecuali di Dunia Islam. Sebab, berbagai bangsa dan umat selain Islam di muka bumi ini dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, bangsa-bangsa yang karakter aslinya memang penganut kapitalisme seperti AS, Eropa Barat. Kedua bangsa-bangsa yang telah melepaskan diri dari sosialisme dan membangun kehidupan barunya atas dasar kapitalisme seperti Rusia dan negara-negara bekas blok timur. Ketiga, bangsa-bangsa yang selalu menggembor-gemborkan sosialisme secara formalitas, namun secara pelan tapi pasti telah mengubah diri menjadi penganut kapitalisme, seperti RRC, Korea Utara, Vietnam, Kuba. Keempat, bangsa-bangsa yang karakter aslinya bukan penganut suatu idelogi, seperti bangsa-bangsa Amerika Latin, dan mayoritas bangsa-bangsa di kawasan Timur Jauh, Asia Tenggara dan Afrika.
Menurut John L. Eposito di buku Ancaman Islam, Mythos atau Realitas, para pembuat kebijakan di AS seperti media massa, sering memandang dunia islam dengan picik. Mereka memandang Islam dan gerakan Islam sebagai monolitik dan semata-mata terkungkung dalam istilah ekstrimisme dan terorisme. ‘Bagi sebagaian orang Amerika, yang mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya’ begitu kutipan Eposito.
Jadi umat Islamlah satu-satunya umat non kapitalis diantara bangsa dan umat di dunia ini yang mempunyai dan menganut sebuah ideologi, kendatipun saat ini tidak hidup berlandaskan ideologi itu dan tidak menyebarluaskan ke seluruh dunia. Oleh karena itu, menjadi sebuah kelumrahan kalau AS sebagai gembong kapitalis akan berusaha membarat-kan dunia Islam, dengan mengajak mereka menjadi pengusung idelogi yang rusak itu.
Benarkah Hanya Mitos ?
Di masa sebelum PD I dan PD II yang dilakukan Barat adalah penjajahan militer Negeri-negeri Islam yang dulunya bersatu, menjadi tercabik-cabik, tercecer dan Barat dengan mudah mendudukinya. Kini setelah negara tersebut “merdeka” (dalam tanda petik), Negara-negara Barat tetap berusaha menjajahnya dengan cara yang modern dan tidak terlalu kentara. Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui pinjaman dana, dengan dalih membantu negara-negara berkembang, mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Belakangan terbukti utang itu bukan membantu mengentas kemiskinan, tapi malah menjerat negara tersebut. Bagi Indonesia, tak terbayangkan bagaimana cara membayar hutang itu. Untuk membayar bunganya saja sudah tidak mampu. Devisa yang dipunyai Indonesia dari kegiatan ekspor, hanya sekitar 15 trylyun per tahun. Tapi untuk membayar bunga dan cicilan utangnya Indonesia harus membayarnya 17 Trilyun rupiah per tahun.
Sementara di sisi lain, Imperalisme dipandang sebagai kelanjutan Perang Salib. Dalam perang yang berlangsung 200 tahun tersebut, Barat gagal untuk menguasai Dunia Islam. Karena itulah, Barat masih tergoda untuk merebut dan menguasai Dunia Islam. Perang salib telah memberi pelajaran berharga bagi kaum Kristen Barat, yakni jika mereka mengibarkan bendera Kristen (Salib) dalam berhadapan dengan dunia Islam, maka mereka akan kalah, sebab umat Islam akan bersatu padu menghadapi kaum imperialis Kristen barat itu. Oleh karena itu, imperialisme modern menggunakan taktik baru dengan menggunakan jargon lain yang memikat sebagian orang Islam, sehingga mereka tidak apriori bahkan mau bekerjasama dengan Barat. Sebagai gantinya Barat menjajakan “aurat”-nya seperti Hak Asasi Manusia, Demokrasi dll. Jargon yang ramuannya sudah dirancang oleh Barat itu terlalu menggoda untuk tidak dipakai oleh kaum muslim dan Dunia Islam.
Hasilnya kita bisa menyaksikan sendiri dalam soal HAM dan demokrasi, Barat telah mengegolkan dua tema itu sebagai nilai universal yang (terpaksa) diterima dunia Internasional. Hutington, di bukunya yang lain yang berjudul Gelombang Demokratisasi Dunia Ketiga, mengungkap hubungan tidak sepadan antara Islam dan demokratisasi. Artinya agama Kristen Barat yang sudah berjiwa sekular (pemisahan agama dari kehidupan) lebih mudah menerima demokrasi daripada Islam. Untuk tetap melancarkan proses demokratisasi menurut Hutington haruslah agama Kristen sebagai teman dekat yang tidak bisa ditinggalkan.
Sangatlah logis kalau kemudian negara-negara Barat berhasrat terhadap suksesnya kristenisasi dan demokratisasi. Dan sebagai antitesisnya Barat harus menguasai untuk tidak menyebut menghabisi dunia Islam atau lebih tepatnya memposisikan Islam sebagai rival Barat setelah komunisme hancur.
Bagi kaum muslimin sendiri, imperalis Barat merupakan tantangan ideologis, sebab imperalis-lah yang telah melenyapkan keagungan penerapan syariat Islam yang telah berlangsung sejak jaman Nabi Muhammad. Contoh realnya adalah reaksi keras terhadap buku “Islam” karya Fazlur Rahman, guru besar Chicago University. Ziaudin Sardar menyebut buku itu sebagai “usaha murid-murid orientalis untuk menunjukkan keunggulan peradaban Barat dan penyokong spiritualnya (Kristen)”. Hal serupa juga pernah dilakukan Muhammad Yaghzan dalam bukunya Anatomi Budak Kufar yang mengecam Nurcholis Majid dengan mengatakan “inilah prestasi puncak dari seorang anak didik orientalis dalam menyesatkan orang Islam”.
Puncak sekularisasi, ketika Kemal Attaturk menghapus kekhilafahan di Turki pada tahun 1924. Karena itu di dunia islam perseteruan Islam vs sekularisme –yang merupakan watak Barat—menjadi fenomena global dan terus berlangsung. Kaum muslim masih melihat sekularisme sebagai ancaman global bagi mereka. Dunia Islam yang dipaksa mengadopsi sekularisme justru terbenam dalam keterbelakangan dan kemunduran. Azumardy Azra dalam bukunya Pergolakan Politik Islam, menyebut Turki sebagai contohnya, meski sudah ngoyo untuk bisa menjadi Barat, toh Turki masih saja tetap terbelakang dan dipandang sebelah mata oleh Eropa dan sering diolok dengan sebutan ndesonya Eropa.
Padahal dalam pandangan Barat (Eropa) Turki adalah trauma masa lalu, pasukan Islam pada pertengahan abad ke-12 yang dipimpin Sholahudin Al Ayyubi berhasil mengusir pasukan salib. Sejak saat itu, ketakutan kaum Kristen Eropa semakin menjadi-jadi, setelah merebut Kostantinopel dan mengganti namanya menjadi Istanbul, kekhilafahan Ustmaniyah menjadi negara besar dan menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan internasional, selama hampir dua abad Eropa tenggelam dalam ketakutan itu.
Titik baliknya terjadi ketika tahun 1571 di Lepanto pasukan Ustmaniyah berhasil dikalahkan oleh pasukan Kristen Eropa dan juga gagahnya pertahanan Wina dari serangan Turki tahun 1683 menandai Eropa menemui masa jayanya. Tampilnya “orang sakit eropa” menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
AWAS, Ancaman Itu Datang
Salah satu perubahan penting lain dari politik luar negeri AS pasca Perang Dingin adalah dimunculkannya kampanye Perang Melawan Terorisme, terutama sejak peristiwa 11 September. Meskipun pada masa Perang Dingin, isu terorisme bukan merupakan hal baru, namun sekarang, ia telah menjadi agenda bersama negara-negara Barat dan pengikut-pengikutnya. Apalagi perang ini kemudian dikampanyekan sebagai perang melawan pihak-pihak yang menentang peradaban dunia disebutnya perang membela demokrasi dan HAM.
Dengan alasan (demokrasi dan HAM) itu juga digunakan untuk menjatuhkan negara-negara atau kelompok-kelompok yang mengancam kepentingan AS. Hal ini tampak dari sikap kepada Iran, Sudan, Irak, Afghanistan, atau kepada kelompok-kelompok Islam. Sudah sangat sering AS menggunakan alasan ini untuk menjatuhkan pemerintahan yang tidak lagi dianggap mampu menampung aspirasi kepentingan Amerika seperti kejatuhan Marcos di Filipina, Soeharto dan beberapa Presiden RI. Cara itu bisa dilakukan secara halus maupun transparan; lewat berbagai pernyataan (baca: demonstrasi) serta berbagai bantuan kepada kelompok oposisi atau LSM.
Dalam tujuh kepentingan nasional AS yang dirumuskan Anthony Lake, Penasehat Keamanan Nasional Presiden Clinton waktu itu, tampak kepedulian AS pada pengembangan dan penyebarluasan nilai-nilai Demokrasi dan HAM yang sudah menjadi kebijakan politik luar negerinya.
Sementara isu HAM dan Demokrasi tidak pernah digunakan, kalau seandainya tidak menguntungkan kepentingannya. Contohnya adalah perlindungan membabi-buta AS atas Israel yang jelas-jelas melanggar demokrasi dan HAM dan pantas disebut teroris; reaksi AS yang cenderung mendukung pemerintahan Aljazair, padahal FIS yang sebenarnya secara 'demokratis' menang dalam pemilu disana; diamnya AS terhadap fakta pembantaian rakyat muslim oleh pemerintahan dukungan AS di berbagai negara dan daerah seperti pembantaian suku Kurdi oleh Turki, penindasan pemerintahan Filipina di Moro, penekanan Thailand terhadap Pattani; termasuk pembantaian di Aceh, Ambon, Tanjung Priok dll.
Dalam serangannya ke Afghanistan, yang katanya untuk mempertahankan demokrasi dan kebebasan dunia, justru sebaliknya. AS justru banyak melanggar demokrasi dan HAM. Jika memang AS menyerang terorisme demi kebebasan, lalu mengapa pemerintahan AS menyensor wawancara dengan Osama bin Laden di Jaringan TV satelit al-Jazeera? Mengapa pula AS menekan VOA dan CNN untuk menutupi informasi tentang al-Qaida? Demikian juga jika AS mendukung demokrasi, mengapa AS mendukung Jenderal Musharaf yang jelas diktator dan tidak terpilih secara demokratis? Mengapa selama ini AS mendukung Soeharto, Marcos, Penguasa Saudi, Penguasa Kuwait dan pemerintahan diktator lainnya? Mengapa pula AS membela mati-matian Israel, yang jelas-jelas banyak melakukan pelanggaran HAM? AS juga bertindak setengah hati dalam kasus pelanggaran HAM yang dahsyat di Bosnia.
Adian Husaini di bukunya Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi, menyebutkan setidaknya politik luar negeri AS berpijak pada dua pendulum antara idealisme (HAM dan demokratisasi) dan pragmatisme (national interest). Standar ganda yang dimainkan AS lebih mengedapankan pragmatisme ketimbang idealisme. Artinya, demi mempertahankan national interest-nya, maka AS rela mengorbankan nilai-nilai HAM dan demokrasi, meskipun kedua nilai itu sudah menjadi kebijakan resmi politik luar negeri.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa AS menggunakan perang melawan terorisme sebagai senjata kepentingan ekonominya? Boleh jadi, perang melawan terorisme ini merupakan alat yang paling cepat dan efektif. Dengan begitu, AS bisa masuk ke wilayah manapun di dunia ini dan menguasainya dangan alasan menyerang terorisme. Cara ini juga efektif untuk mengancam dan menundukkan negara-negara yang membakang terhadap AS. Tampaknya, AS melihat, semata-mata menggunakan instrumen ekonomi seperti IMF dan WTO tidaklah cukup dan terlalu bertele-tele.
Menarik Benang Merah
Pada abad ke-17 tepatnya tahun 1648, dilangsungkan Konferensi Westphalia, yang menetapkan sejumlah aturan yang memuat aturan tentang hubungan antar negara-negara Kristen Eropa, dan mengorganisasikan kekuatan negara-negara Eropa untuk melawan Negara Islam. Negara Islam saat itu Daulah Ustmaniyah (Ottoman) tidak diperkenankan menjadi anggotanya dan tidak pernah menjadi anggota keluarga internasional. Sampai pada paruh abad ke-19 , saat Negara Islam menjadi negara yang lemah, yang dikenal dengan sebutan “The Sick Man of Europe”, maka Negara Islam mengajukan usulan keanggotaanya tapi tetap saja ditolak. Negara Ottoman mengajukan penolakan tersebut, dan diterimalah Negara Islam sebagai anggotanya hanya saja dengan syarat yang memberatkan yakni, meninggalkan identitas mereka sebagai negara Islam dalam hubungan Internasional. Itulah awal mula munculnya Hukum Internasional, yang akhirnya dijadikan dalih kekuatan Eropa untuk intervensi dan mengendalikan negara-negara lain termasuk negara Utsmani saat itu.
Segepok realitas telah menunjukkan kepada kita semua, negara di dunia hampir-hampir memusuhi Islam, karena mereka memeluk agama dan ideology lain yang bertentangan secara diametrik dengan Islam. Zallum dalam bukunya Political Thought, menyebutkan : Negara-negara adidaya di dunia seperti AS lebih dari sekedar musuh Islam, karena mereka mempunyai kepentingan dengan wilayah negeri Islam. Kita bisa saksikan mereka menghancurkan Negara Islam (baca: Daulah Khilafah) untuk menghancurkan umat Islam. Rencana jangka panjang yang telah termaktub dalam politik luar negeri negara-negara Barat dan AS, dimaksudkan untuk mencegah kembalinya Daulah Khilafah yang akan menerapkan Islam baik secara internal maupun eksternal.
Masih di bukunya yang sama, Zallum menyatakan bahwa memahami posisi negara super power adalah sangat penting untuk memahami politik internasional dan situasi internasional. Dan pada kenyataanya, begitulah yang terjadi, ketika AS berusaha menjajakan IMF di negeri ini, apa yang terjadi selanjutnya? Mata kita tidak bisa dibohongi bayi-bayi yang baru lahir di negeri ini harus menerima beban hutang 1.500 trilun. Dan entah sampai kapan, negeri bisa bebas dari jerat hutang itu, kalau penguasa kita tetap menghamba pada politik luar negeri AS dan negara Barat pada umumnya.
Adalah Islam sebagai agama yang syamil dan kamil telah memiliki system yang khas. Ketika umat nasrani, budha, hindu dan konghucu mempunyai tatanan spiritual, tapilah tidak se-khas dan seunggul Islam. Ketika umat kapitalis dan sosialis, memiliki system cara pandang tentang kehidupan, maka Islam tetap menjadi yang terunggul dari keduanya, dimana sejarah telah membuktikan bahwa islam satu-satunya system yang memiliki ideology siyasah dan ideology spiritual. Bila disejajarkan dengan ideology trade mark manusia, jelas Islam diatasnya dan tidak ada yang bisa mengatasinya.
Sebagai ideology paripurna, Islam telah menyediakan seperangkat pemahaman tentang politik luar negeri, baik terkait dengan penerapannya maupun implikasi dari diterapkannya politik luar negeri islam. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Negara super power selalu menggunakan politik luar negerinya untuk memperkuat dan mempertahankan posisinya di dunia internasional. Dengan kata lain, politik luar negeri, negara dunia ketiga (negeri-negeri Islam) telah dibodohi oleh politik luar negeri negara super power. Untuk itulah, diperlukan sebuah upaya restrospeksi terhadap politik luar negeri negara Islam dengan tidak meninggalkan pemahaman terhadap situasi dan politik internasional, yang sudah terlanjur diatur oleh negara super power.
Di masa Rasulullah SAW terdapat dua negara besar Persia dan Romawi. Perang Mut’ah adalah kontak fisik kaum muslimin yang pertama dengan kekuasaan Romawi Timur. Di masa Umar bin Khatab, Islam masuk ke wilayah Persia setelah sukses dalam perang Al Qadhisiyah. Islam sepanjang sejarah terus menerus berusaha menyebarkan dakwah ke segenap penjuru, termasuk ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh negara-negara besar.
Ketika memulai dakwahnya, Rasulullah SAW, hanyalah setitik noktah di tengah-tengah persaingan antara adikuasa Persia dan Romawi. Akhirnya setelah 13 tahun berjuang di Makkah, Rasulullah menemukan pijakan pembangunan masyarakat Islam yang pertama yakni Madinah. Beliau memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah, meletakkan dasar prinsip politik luar negerinya, yakni penyebaran Islam dengan jalan dakwah dan jihad. Rasul menyerukan kepada para pemimpin wilayah-wilayah yang ada untuk masuk Islam. Ia menyeru kepada Heraklius “Aslim taslam-berIslamlah agar engkau selamat”. Bila ditolak, Rasul tidak memaksa, tapi mereka diminta untuk tunduk kepada pemerintahan Islam dan membayar jizyah dengan tetap memeluk agama mereka. Jika terhadap tawaran itu mereka juga menolak bahkan melawan, mereka diperangi.
Dakwah dan Jihad yang diterapkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara dan para Khalifah sesudahnya, merupakan bukti factual, bahwa Islam mempunyai metode penerapan politik luar negeri. Rasulullah Muhammad saw, diutus untuk seluruh umat manusia (Qs. Saba’25, Yunus 57, Al-A’raaf 158, Al-An’am 19), inilah yang menjadi dalil penyebarluasan Islam yang tiada lain, implementasinya melalui politik luar negeri. Semenjak Rasulullah menetap di Madinah sebagai Khalifah, beliau menyiapkan tentara dan memprarkasai jihad untuk menyingkirkan berbagai halangan fisik syiar dakwah Islam. Kaum Quraisy adalah salah satu hambatan fisik yang menghalangi penyebarluasan dakwah islam yang harus disingkirkan.
Demikianlah pemahaman terhadap politik luar negeri merupakan suatu kebutuhan vital, untuk menjaga eksitensi negara dan umat. Dan pemahaman itulah yang menjadi prasyarat utama untuk dapat menyampaikan dakwah ke seluruh dunia. Oleh karenanya, merupakan suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk menyadari realitas dirinya dan negeri yang sekarang dihuninya telah dihegemoni dengan yang namanya kafir Barat yang imperalis yang licik lagi bengis. Wallahu’alam (lbr)
* Disampaikan oleh Rouf Sayd Tahrera, pada Kajian Serial Syariat Islam (KISSI), Hizbut Tahrir Indonesia, Kampanye Penegakan Syariat Islam, 2002