Dear my friend.
Dulu kita pernah menjadi sahabat (itupun kalo kamu nganggep aku sebagai sahabat atau yang lebih dari sahabat, atau yang kurang dari seorang sahabat) dan kini aku masih menganggapmu sebagai sahabat, meski engkau tidak demikian.
Ada satu hal yang ingin saya sampaikan yang tidak kuasa saya sampaikan melalui mulut saya, setelah pertemuan kita lagi beberapa waktu lalu. Saya berani dan jujur mengatakan bahwa kamu “beda”. Ya, kamu berbeda dengan yang dulu, sobat. Meski dulu aku juga nggak begitu dalam mengenalmu, tapi untuk saat ini sekali lagi saya berani mengatakan kamu “beda”.
Anggap saja ketika saya mengatakan kamu berbeda dengan dulu, adalah sebuah saran saya untuk kamu. Meski sekarang kita masing-masing sudah terpisah karena harus mengurus urusan keluarga masing-masing. Saya benar-benar melihat kamu sekarang bukanlah kamu yang dulu. Kamu dulu yang begitu lembut, sopan, cenderung pendiam, bahkan mungkin pemalu. Tapi karakter itu, kini sudah tiada dan berubah. Saya yakin bahwa kamu yang sekarang bukanlah kamu. Sekarang kamu telah menjadi orang lain, bukan menjadi dirimu sendiri. Mungkin bisa dibilang perubahan karakter itu nggak penting untuk dibincangkan. Tapi coba lihat dirimu dengan berubahnya karakter kamu, maka segalanya telah mengubah dirimu.
Saya nggak tahu harus mulai darimana, tapi melihat kesuksesan kamu yang sekarang, itu kayaknya yang pantas dijadikan kambing hitam-nya. Ya, biasanya memang kesuksesan, kekayaan, kedudukan bisa mengubah karakter seseorang, mungkin juga kamu. Saya sangat sulit sekali untuk khusnushon terhadap kesuksesan kamu. Bukannya saya iri, karena sebagai manusia biasa saya juga pengin sukses, tapi saya yakin (mungkin juga kamu) bahwa rizki sudah ada yang mengatur.
Sahabatku,
Okelah saya akan menghindari untuk su’udzon terhadap kesuksesanmu. Tapi perkataan kamu terakhir ketika kita berjumpa beberapa saat sebelum saya tulis surat ini, sudah menegaskan kamu berbeda. Bahkan bisa saya katakan yang cenderung su’udzon adalah kamu.
Sobat, perpisahaan yang cukup lama membuat kita masing-masing hampir tidak mengenali lagi siapa kamu, siapa aku. Ya, semenjak kita berpisah beberapa tahun lalu, saya telah mentabdiskan diri saya pada dakwah islam (Ya Allah, lindungi aku dari sifat sombong). Hizbut Tahrir dengan tsaqofah dan “guru-guru”nya telah merubah karakter saya, sehingga saya sekarang pun bisa melihat dengan “kacamata” saya bahwa kamu berbeda, itu juga karena perubahan pemahaman hidup saya. Ya, hizbut tahrir, mungkin terdengar baru dan asing, kamu sendiri pun mungkin masih sulit untuk melafadzkan kata-kata itu.
Di surat ini saya berani mengatakan bahwa hizbut tahrir berbeda dengan kelompok-kelompok seperti yang kamu tuduhkan kepada saya. Bahkan hizbut tahrir bukanlah kelompok madzab, seperti yang kamu kira bahwa setiap aktivis-nya selalu bercelana cingkrang—di atas mata kaki. Kalau pun ada diantara kami yang melakukan hal itu, lebih karena melaksanakan Sunnah Rasul.
Nah, disinilah ada satu hal yang tidak saya suka –yang tadi saya katakan kamu beda—adalah menjustifikasi/menghukumi orang dari kulit luarnya saja. Saya hanya ingin meluruskan saja informasi dan pemahaman kamu terhadap hizbut tahrir (HT), bahwa HT tidaklah demikian. Seperti yang kamu kira bahwa HT ‘tidak membolehkan’ menonton Teve, menikmati music, dan sebagainya. Itu sebuah perkiraan yang salah sobat. Ya, saya paham, kamu mengira bahwa HT sama dengan kelompok yang satunya, yang antipati terhadap Amerika, sehingga sampai-sampai semua produk Amerika adalah haram. Sekali lagi ini juga salah, sobat.
Saya tidak akan menjelaskan nash atau dalil kebolehan menonton teve, menikmati music, karena itu butuh berlembar-lembar, berjam-jam bahkan satu kitab dan bab khusus yang menjelaskan hal itu. Mungkin lain kali dan kesempatan, Insya Allah kalo kita diberi kesempatan berjumpa lebih panjang akan saya jelaskan hal itu.
Tapi saya ingin menggarisbawahi dulu aja, bahwa HT berbeda dengan yang kamu perkirakan tadi. Kamu bisa lihat sendiri khan, dari selebaran (bulletin) yang kami sebarkan tiap hari jumat—itupun kalo kamu baca lho--. Atau kamu bisa juga melihat penampilanku sendiri yang tidak memakai celana diatas mata kaki (cingkrang), aku juga melihat teve, menikmati music, dll. Meski pun yang terakhir ini bukanlah dalil.
Jadi, berhenti cukup disitu saja, kamu mengira-ngira tentang aku dan HT, karena dengan informasi dan pemamahaman kamu yang sekarang tidak cukup untuk bisa mengetahui tentang HT. Yang terpenting dari kamu sekarang adalah segera menyadari perbedaan kamu dengan yang dulu. Karena saya yakin karena “beda” itulah yang membuat kamu su’udzon kepada saya dan HT.
My friend,
Jujur saja saya katakan disini bahwa saya beberapa kali memimpikan kamu dengan berbagai kejadian yang berbeda. Saya bukan hendak berbicara masalah mistik, tapi saya sendiri yakin bahwa mimpi itu mengisyaratkan kalo kamu “sedang dalam masalah”, salah satunya tidak menjadi dirimu sendiri tadi.
Saya sadar sesadar-sadarnya kalo kamu bukan siapa-siapa saya, sehingga saya tidak berhak untuk membuat kamu untuk kembali seperti dulu lagi. Tapi naluri persahabatanku mengatakan bahwa ini harus saya sampaikan, dan akhirnya terurai dalam mimpi.
To be continued…
Surat untuk sahabatku lamaku (part 1)
Posted by
Sang Revolusioner
on 18.25
0
komentar
0 komentar
Leave a Reply