Khitbah adalah akad. Seperti halnya seluruh akad, harus ada dua pihak yang berakad. Dalam hal khitbah,maka yang berakad adalah pihak yang mengkhitbah dan pihak yang dikhitbah. Kedua pihak ini harus memenuhi syarat sah untuk melakukan akad. Dalam akad itu harus ada ijab dan qabul. Tanpa ijab dan qabul, maka akad khitbah itu secara syar’i tidak dipandang sah, sehingga tidak melahirkan konsekuensi apapun.
Khitbah itu adalah ajakan untuk menikah. Oleh karena itu asalnya khitbah dilakukan dengan motivasi untuk menikah. Kalimat ijab harus mengandung pengertian atau bisa dipahami sebagai ajakan menikah. Tidak mesti menggunakan kata menikah. Tetapi bisa diungkapkan dengan kalimat apapun asal mengandung pengertian tersebut. Begitu juga ajakan menikah itu bisa disampaikan secara terus terang dan gamblang, namun bisa juga disampaikan secara halus dengan sindiran. Sedangkan qabul (penerimaan) adalah segala bentuk ungkapan atau sikap yang menunjukkan penerimaan atas kalimat ijab.
Karakter orang berbeda-beda, ada yang berani ada yang pemalu, ada yang mudah berbicara ada juga yang pendiam dan sedikit bicaranya atau kadang-kadang saja. Ada juga yang suka blak-blakan, tetapi ada juga yang kalau berbicara harus muter-muter dulu, tidak to the point saja. Terhadap semua karakter itu, Islam memberikan solusi ketika mereka hendak mengkhitbah atau hendak menyatakan jawaban atas khitbah yang diajukan kepadanya. Di sinilah Islam tidak mengharuskan ijab dan qabul khitbah harus dilakukan secara terang-terangan dan gamblang. Tetapi bisa dilakukan secara halus, atau dengan sindiran. Bahkan untuk qabul bisa diungkapkan dalam bentuk sikap mengangguk atau diam tanda menerima.
Dengan demikian khitbah bisa disampaikan secara terang-terangan maupun tidak. Secara terang-terangan dan gamblang, misal langsung mengatakan kepada wanita yang dimaksud: ” saya ingin menikah dengan Ukhti”, “maukah Ukhti menikah dengan saya?”, “maukah Ukhti menjadi ibu bagi anak-anak saya?”, “maukah Ukhti membina keluarga bersama saya?”, atau ungkapan lainnya. Bisa juga disampaikan secara halus atau dengan sindiran. Misal dengan mengatakan kepadanya:” Ukhti sebenarnya sama dengan saya, sudah pantas untuk menikah” atau “saya mencari seorang calon isteri yang mirip dengan Ukhti” atau “saya akan bahagia kalau mempunyai isteri seperti Ukhti”, atau “sungguh beruntung orang yang mendapatkan isteri seperti Ukhti, andai saja saya bisa mendapatkannya”, dan semisalnya.[1]
Ungkapan khitbah secara langsung dan terang-terangan maupun cara halus dengan sindiran bisa juga disampaikan kepada wali wanita itu. Secara langsung dan gamblang, misal dengan berkata “saya datang ke sini untuk mengkhitbah putri bapak, Salma?” atau “saya ingin menjadikan saudari anda, Sari, sebagai isteri saya”, dan ungkapan gamblang lainnya.
Ungkapan khitbah bisa disampaikan kepada wanita yang dimaksud secara langsung dan sebaiknya juga diketahui atau sepengetahuan walinya (keluarganya), bisa juga disampaikan kepada wali wanita tersebut, dan tentu saja diketahui oleh wanita yang dimaksud. Adapun keputusan penerimaan atau penolakan khitbah akan dibahas pada bagian berikutnya. Kemudian pihak yang mengkhitbah, ia bisa langsung menyampaikan sendiri ungkapan khitbah itu, dan bisa juga mewakilkan kepada orang lain untuk mewakili dirinya menyampaikan ungkapan khitbah itu.
Dan sebaiknya yang akan mengajukan khitbah dengan ditemani oleh salah seorang keluarga atau orang yang ia percaya datang langsung untuk menyampaikan khitbah. Khitbah itu sebaiknya disampaikan langsung kepada wanita yang ia maksud dengan ditemani walinya atau keluarganya. Tentu saja hal itu bisa dilakukan jika memungkinkan. Namun jika kondisi yang ada tidak memungkinkan seperti itu, bisa dilakukan dengan cara lain asal sebaiknya diketahui atau sepengetahuan wali atau keluarga wanita yang dikhitbah.
Khitbah adalah ajakan menikah. Tentu saja sebagai konsekuensi ajakan itu, harus dibicarakan perkiraan waktu dilangsungkannya pernikahan. Sekalipun kami belum menemukan ada nash yang menyatakan masalah penentuan perkiraan waktu akan menikah, tetapi hal itu merupakan konsekuensi dari diajukannya ajakan menikah. Oleh karena itu ketika mengungkapkan khitbah masalah jangka waktu sebaiknya dibicarakan juga. Hal itu juga akan menunjukkan keseriusan niat pria tersebut mengajak menikah. Syara’ tidak menentukan batasan jangka waktu antara khitbah dengan nikah. Bisa saja ketika khitbah, saat itu juga dilangsungkan akad nikah. Namun bisa juga akad nikah itu dilangsungkan setelah jangka waktu tertentu.
Mengenai jangka waktu, semakin cepat menurut kami semakin baik. Hal itu dengan asumsi bahwa si pria mengajukan khitbah tersebut sebagai pilihan sadar yang diambil dengan sejumlah pertimbangan dan dilandasi ‘azam untuk menikah dengan wanita tersebut. Begitu pula wanita tersebut menerima khitbah itu sebagai pilihan sadar dengan sejumlah pertimbangan dan dilandasi ‘azam untuk menikah dan menjadi isteri pria yang mengkhitbahnya.
Khitbah disyariatkan Islam sebagai wahana untuk saling mengenal kedua pihak, untuk mengambil keputusan membina keluarga. Dengan pertimbangan ini, jika kedua pihak sudah mengenal satu sama lain, tentu saja mereka tidak memerlukan waktu lagi untuk proses saling mengenal. Sehingga ketika khitbah, sebaiknya langsung direncanakan dan ditentukan hari H pernikahan. Pun bisa dilakukan oleh mereka yang belum saling mengenal, asal kedua pihak memiliki kesiapan untuk menerima satu sama lain, untuk bervisi, berorientasi sama yaitu untuk membina kaluarga bersama.
Bagi mereka yang ingin saling mengenal terlebih dahulu, untuk memutuskan akan menikah, tentu harus dibicarakan masalah jangka waktu tersebut. Lamanya jangka waktu itu tergantung berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk proses saling mengenal satu sama lain dan mengambil keputusan lanjut atau tidak. Logisnya, sesuai kewajaran, jangka waktu untuk proses tersebut tidak terlalu lama, mungkin dalam hitungan bulan dan tidak sampai bilangan tahun.
Faktor jangka waktu ini akan bisa membuktikan banyak hal tentang khitbah. Pertama, akan menjadi pembeda antara sekadar mengkhitbah dengan khitbah atas dasar ‘azam untuk menikah. Atau sekadar didasari adanya keinginan untuk menikah. Kedua, bisa dijadikan indikasi sejauh mana kesungguhan untuk menikah. Ketiga, membedakan apakah ikatan khitbah itu benar-benar dijadikan sebagai wahana untuk berta’aruf, dan tidak menjadikannya sebagai “pacaran Islami”.
Istilah “pacaran Islami” bukan berarti ada pacaran yang islami. Tetapi sekadar untuk menyebut sikap seseorang yang menjadikan ikatan khitbah sekadar untuk mencari legalitas agar bisa berkomunikasi dan “berbicara lebih dalam” atau curhat dengan wanita yang dikhitbahnya, atau sebaliknya. Perilaku seperti ini tidak sejalan dengan ketentuan syara’. Dengan adanya ikatan khitbah, orang akan merasa ada legalitas melakukan semua itu, dengan alasan berta’aruf lebih dalam. Lebih buruk lagi jika khitbah dilakukan karena kekhawatiran, wanita yang dimaksud akan keburu dikhitbah atau dinikahi orang lain. Atau sebaliknya, seorang wanita khawatir pria idamannya akan jadi suami wanita lain, lalu ia meminta ikhwan itu mengkhitbahnya sekalipun ia tahu ikhwan itu belum ber‘azam menikah dalam waktu dekat atau bahkan belum siap menikah.
Harus diingat bahwa Islam mensyariatkan khitbah dalam rangka menuju jenjang pernikahan. Oleh karenanya, jika seseorang belum ber‘azam untuk menikah, belum punya kesungguhan untuk menikah, belum siap untuk menikah atau belum punya rencana matang untuk menikah dalam waktu yang tidak lama lagi, sebaiknya tidak mengkhitbah seorang wanita. Sebaliknya, jika seorang wanita belum ber‘azam menjadi isteri dan ibu, belum sungguh-sungguh ingin menikah, masih ingin melajang, belum ingin berkeluarga dan terikat dalam ikatan perkawinan, sebaiknya tidak menerima khitbah dan tidak meminta untuk dikhitbah.
Jadi, penentuan jangka waktu antara khitbah dan dilangsungkannya akad nikah baiknya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Seberapa lama jangka waktu itu diserahkan kepada kedua belah pihak. Yang terpenting adalah jangka waktu itu cukup bagi keduanya untuk bisa saling mengenal dan mengetahui informasi yang diperlukan untuk memutuskan lanjut ke pernikahan atukah tidak. Proses berta’aruf untuk saling mengenal dan mengambil keputusan sewajarnya dan logisnya tidak perlu waktu yang sangat lama. Dan setelah mengambil keputusan lanjut ke pernikahan, tentu saja masih perlu waktu yang singkat untuk mempersiapkan pernikahan. Secara keseluruhan, gabungan dari jangka waktu berta’aruf untuk mengambil keputusan dan persiapan pernikahan mungkin wajarnya dalam hitungan bulan sampai satu tahun. Lebih dari itu, kami nilai sudah terlalu lama untuk proses ta’aruf dan mengambil keputusan. Sekalipun demikian bukan berarti jangka waktu lebih dari satu tahun itu tidak boleh. Jangka waktu lebih dari satu tahun itu menurut syara’tetap boleh.
Jika ketika khitbah masalah jangka waktu ini tidak dibahas dan disepakati, maka harus sesegera mungkin dibahas dan disepakati. Jika pun tidak dibahas, maka sebaiknya masing-masing pihak punya patokan sendiri yang ia jadikan pegangan untuk mengambil keputusan. Ketika jangka waktu itu lewat dan belum ada kemajuan, maka harus ada keberanian untuk mengambil keputusan. Jangan sampai terjadi, karena tidak ada batasan waktu, seseorang terkatung-katung tidak jelas kelanjutan khitbahnya. Biasanya, yang merasa banyak dirugikan dalam hal ini adalah pihak wanita. Oleh karena itu, pihak wanita harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan “tidak” ketika jangka waktu yang ia jadikan pegangan terlewati. Tentu keputusan seperti itu diambil dan tidaknya, biasanya terkait dengan hal lain, misalnya sejauh mana berita ikatan khitbahnya itu tersebar kepada khalayak. Juga sejauh mana rasa kecocokan dan ketertarikannya kepada calonnya. Apakah ia sudah terlanjur jatuh hati sepenuhnya ataukah belum? Dan bisakah ia tertarik dan menaruh hati kepada orang lain? (Disarikan dari buku Risalah Khitbah, Yahya Abdurrahman, Al Azhar Press)
141414...subhanallah