Isu resufle kabinet mulai santer, kadang pasang, kadang surut. Pemberitaan tentang pergantian menteri itu pun jadi konsumsi publik. Kalo kita nonton teve, selain lawak yang ditonton, kayaknya berita dagelan demokrasi berupa resufle kabinet juga jadi tontonan asyik.
Nampaknya keputusan sudah bulat, udah nggak bisa lagi dibikin kotak, segitiga ataupun segi yang lain, sehingga seperti diketahui khalayak bahwa beberapa menteri harus mangkir dari meja kabinet indonesia bersatu 2 (KIB 2). Kita perlu juga bertanya sih apa yang dimaksud “bersatu” di KIB itu, apa bersatu untuk membodohi rakyat?
Ah sudahlah, yang sekarang kita perlu renungi apa efektifitas, apa manfaat, apa tujuan dari resufle yang dilakukan oleh seorang presiden yang katanya dipilih langsung oleh rakyat itu. Ini penting, soalnya ini terkait dengan masa kini, masa esok dan masa datang. Bagi kamu yang membaca tulisan ini boleh aja mencemooh, “ah kamu cuman bisa ngritik doang”. Maka aku sudah siapkan jawabannya, “lebih baik ngritik, daripada diam atau malah jadi penjilat dari kebijakan yang ada”.
Ngomong-ngomong tentang bongkar pasang di tubuh eksekutif bukanlah barang lagi di negeri ini. Itu menunjukkan bahwa mereka tidak kreatif, artinya udah dari jamannya kabinet reformasi ampe sekarang, karya bongkar pasang seperti itu sering dilakukan. Hasilnya setelah dibongkar menteri satu dan dipasang menteri lain, apa kemudian kondisi negeri ini menjadi lebih baik? “eee, jangan apatis dong”. Sorry men, sebagai muslim kita dilarang apatis. Sebenarnya bukan apatis, tapi sekali lagi, kita lagi menyoal efektifitas dan kemanfaatan.
Aku jadi ingat ama Olga dan Aziz (maaf namanya saya sebut) kalo mereka lagi sepanggung untuk ngelawak. Mereka berdua dibayar untuk bisa bikin penonton tertawa, apapun mereka lakuin asal penoton bisa terbahak-bahak. Mulai dari aksi Olga yang nggak lepas dari gaya super noraknya sebagai pria yang setengah wanita, sampe umpatan-umpatan yang kalo dibahas tersendiri umpatan itu udah keluar dari koridor syariat Islam.
Menurutku para menteri itu nggak beda jauhlah dengan para pelawak itu. Mereka sama-sama dibayar untuk main sandiwara, untuk menghibur rakyat. Harapannya agar rakyat senang dengan adanya ide resufle itu, diberi harapan ekonomi akan jadi lebih baik.
Kita sudah punya presiden 6, dan masing-masing presiden pernah melakukan resufle di saat masa kepemimpinannya. Tapi faktanya, pergantian itu nggak bikin negeri kita jadi lebih baik. Coba baca aja realitanya, dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ Pemerintah pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.
Sementara untuk rakyat dana Jamkesmas 2011 saja, cuman sebesar Rp 5,6 triliun. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.
Apa coba kalo itu bukan lawakan? Apa, retorika politik? Retorika yang membodohi rakyat, iya. Jadi pergantian menteri itu hanya akan mengganti orang yang sebelumnya mungkin kurang pinter ngelawak diberikan kepada yang lebih pinter ngelawak plus bersandiwara.
Sementara pilihan yang tepat dari pemerintah adalah memilih menteri yang baru, yang kira-kira disukai rakyat. Ya, sampe sekarang lawakan yang populer yang disukai adalah mereka yang berperan jadi banci dan satunya lagi adalah mereka yang berperan gagap. Kira-kira siapa-siapa menteri itu? Silahkan ditunggu, dinanti dan dinikmati.
Buat pak menteri baru yang terpilih, kalo pas baca tulisan ini, jangan tersinggung, jangan marah. Karena prinsip pelawak itu sama dengan prinsip bis kota, sesama bis kota dilarang mendahului alias sesama pelawak dilarang saling marah-memarahi. Akur kan pak menteri? Yuukkk...
“Mas-mas, sampeyan jangan hanya bisa ngritik. Mbok iyao ngasih solusi” mungkin dalam benak pak menteri kepikiran seperti itu. Maka aku perlu jawab pernyataan pak menteri itu. Aku punya solusi koq pak menteri, cuman masih saya sembunyikan. Bukan karena aku takut, tapi saya perlu bertanya ke pak menteri, pak menteri berani taruhan nggak, kalo saya nanti kasih solusi untuk negeri kita tercinta ini, apa bapak siap kehilangan segalanya? Kalo pak menteri siap, hayo diskusi di warung kopi, besok pagi saya tunggu ya pak menteri..... Yuukk...
(toekangritik pengamat perlawakan indonesia)