Semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku.
Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekedar menyebut contoh, ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non muslim.
Selain itu, secara syar’iy, setiap muslim dituntut untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah Swt.:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kata mâ yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah Swt. tersebut dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang dibawa oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim. Sebaliknya, apa saja yang dilarang Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus ditinggalkan oleh kaum Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah individu, jamaah, dan negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni ditujukan kepada seluruh orang Mukmin.
Meskipun ayat ini menjelaskan tentang masalah hatra fa’i Bani Nadhir, tetapi yang paling penting (‘ibrah) adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:
‘Ibrah itu adalah atas keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).
Begitu pula firman Allah Swt. berikut:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (TQS al- Ahzâb [33]: 36).
Berdasarkan alur berpikir seperti tadi, nampak bahwa tuntutan formalisasi syariat Islam lahir dari kesadaran akan kebobrokan akibat tatanan hidup selama ini dan wujud tanggung jawab untuk menata kehidupan baru yang lebih baik dengan tegaknya syariat Islam bagi semua menuju masyarakat modern yang beradab. Disamping merupakan kesadaran akan kewajiban dari Allah Pencipta manusia untuk menegakkan hukum-hukum-Nya demi kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Pengertian Rahmatan Lil Âlamîn
Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).
Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsiri ayat itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam rangkan rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap Nabi sebelum beliau saw. manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinakan mereka dengan berbagai siksa, namun bisa kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT mengakhirkan adzab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para mufasirin.
Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi dia sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syari’at yang memang paling unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana firman-Nya:
]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (TQS. Al Fath 28).
Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni memberikan catatan: Allah SWT tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw. Kenapa demikian? Sebab, dia saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan mereka setelah kebodohan mereka, dan memmberikan petunjuk atas kesesatan mereka, dan itulah rahmat bagi seluruh alam, bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih dirahmati dengan kedatangannya lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh adzab Allah sebagaimana kaum terdahu seperti ditimpa gempa, gitenggelamkan dan lain-lain.
Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul telah wafat. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syari’at Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang pemahamannya terhadap syari’at Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat bagi seluruh alam, Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syari at Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam. (Disarikan dari makalah MR. Kurnia)