PKS dan Partai Politik Islam?

(tanggapan dari tulisan Teuku Zulkhairi)
Mengernyitkan dahi setelah membaca artikel di eramuslim.com di rubrik Pemuda dan Mahasiwa yang ditulis oleh Teuku Zulkhairi. Tapi bagi saya sendiri tidak puas jika hanya berkomentar di ruang komentar yang telah disediakan. Semoga tulisan ini bisa sebagai sarana re-introspeksi dan semoga dijauhkan dari “pikiran negative” sesama saudara muslim.
Sebelum lebih jauh kita membahas tema ini, ada satu hal yang harus sama-sama kita sepakati, bahwa tulisan ini bukan dilandasi oleh kebencian. Tapi lebih kepada “teguran” dari seorang saudara sesama muslim, agar saudaranya yang masih berpotensi “menebarkan kebaikan (amar ma’ruf nahyi munkar)” agar hanya atau kembali merujuk kepada Islam sebagai qoidah fikriyah (landasan berpikir) dalam setiap perbuatannya.

Re-definisi Partai Politik (Islam)
Politik (siyâsah) pada dasarnya adalah aktivitas mengurus kepentingan rakyat (umat), yang dilakukan oleh individu, partai, kelompok, atau negara ataupun beberapa negara. (Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, terj. hlm. 104).
Hampir sama dengan defenisi tersebut, V.O Key, Jr, mengartikan politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara dominasi dan submisi, antara yang memerintah dan yang diperintah. Sedangkan Goerge Catlin mengartikan politik sebagai kegiatan manusia yang berkenaan dengan tindakannya dalam mengontrol masyarakat (the act of human social control). (Amien Rais, Cakrawala Islam, hlm. 30)
Di sisi yang lain Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk kelompok/jamaah/partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah kepada Al-Khair (Al-Islam) serta melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar.  Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugas-tugasnya adalah bertolak dari seruan Allah SWT:
      "(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Islam) dan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk surga)." (QS. Ali Imran: 104).
Kata umat pada ayat di atas bermakna jamaah yang khusus (tertentu) bukan jamaah secara umum, sebab manusia atau kaum muslimin sendiri sudah berarti sebuah jamaah.  Kata "Ummat" pada ayat tersebut lebih khusus dari jamaah (ummat Islam sebagai jamaah). Ia merupakan jamaah yang terbentuk dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukan mereka, dimana dengan ikatan tersebut mereka menjadi sebuah kelompok yang bersatu dan sebagai satu kesatuan, dan mereka tetap seperti itu (An-Nabhaniy, Muqaddimah Dustur : 98).
Bentuk perintah untuk membentuk jamaah terpadu (paratai politik) dalam ayat di atas sekedar menunjukkan adanya ajakan (dari Allah SWT). Namun demikian terdapat banyak qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan (wajib). Se­hingga kegiatan yang telah ditentukan oleh ayat agar dilak­sanakan oleh kelompok terpadu tersebut, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma'ruf nahi munkar hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin.  Salah satu qarinah tersebut adalah hadits Rasulullah SAW:
      "Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu)  melakukan amar ma'ruf nahi munkar , ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang akan menimpa kalian.  Kemudian setelah itu kalian berdo'a maka (do'a itu) tidak akan dikabulkan." (Sunan Tirmidzi No. 2259)
      Dari sini jelaslah tentang wajibnya keberadaan Jamaah/Partai politik yang “bekerja” untuk Islam, dengan syarat:
1.  Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin sajas.  Dipahami dari lafadz minkum (sebagian dari kalian, kaum muslimin), yang ada pada ayat tadi.
2.  Partai tersebut harus menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syari'at Islam sebagai pangkal tolak (qaidah fikriyah) dari hukum yang dijadikan pegangan.
3.  Partai itu beraktivitas mengajak kepada kebaikan (yad'uuna ilal Khair) dalam tafsir Jalalain diartikan mengajak kepada Dinul Islam.
4.  Partai tersebut harus beraktivitas menyeru kepada yang  ma'ruf  (melaksanakan syari'at) dan mencegah kemungkaran (pelanggaran terhadap syari'at). Inilah bagian tepenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam masyarakat Islam yaitu mengawasi penguasa (muhasabah lil hukam) serta menyampikan nasehat kepadanya apabila dalam perjalanannya memerintah kaum muslimin terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syari'at Islam

Ideologi Vs Suara Terbanyak
Fakta menunjukkan partai politik yang ada masih didominasi oleh pemikiran politik sekular. Dalam berpolitik, “kepentingan” masih dijadikan sebagai panglima. Adagium, “Tidak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi,” masih menjadi pakem perpolitikan. Wajar jika dalam politik saat ini, yang menonjol adalah sikap pragmatis (pragmatisme) yang dikendalikan oleh kepentingan dan kemanfaatan.
Pragmatisme bisa muncul antara lain karena: Pertama, keputusasaan menghadapi realita; keputusasaan ketika perjuangan yang dilakukan tidak kunjung menampakkan hasil.  Keputusasaan ini timbul karena tidak ada kesabaran dalam perjuangan.
Kedua, sikap terlalu fokus pada hasil dan menilai perjuangan semata dari sisi hasil. 
Ketiga, tidak tahan terhadap iming-iming kekuasaan dan materi.  Hal ini terjadi ketika kepentingan individual atau kelompok menjadi sesuatu yang utama.  Karena itu, ketika perjuangan yang ada berbenturan dengan kepentingan ini, akhirnya perjuangan pun dikorbankan, dengan alasan, “kita harus realistis”.
Dari sikap pragmatis itulah, sangat mungkin sekali akan berlanjut dengan munculnya legalisasi, islamisasi dan yang sejenisnya demi meraih suara terbanyak atau electoral threshold. Sehingga mengesampingkan atau bisa dikatakan menghilangkan “ideology” (Islam) yang seharusnya jadi ruh partai atau kelompoknya.
Manusia harus memiliki pandangan hidup tertentu mengenai perilakunya dan interaksinya dengan sesama manusia, yang didasarkan pada pandangannya tentang kehidupan. Pandangan manusia tentang kehidupan atau ideologi akan menentukan secara sempurna seluruh perilaku manusia dan interaksinya dengan manusia lain.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia yang lain. Oleh karena itu, Islam merupakan sebuah sistem kehidupan.
Jadi, Islam merupakan pandangan yang spesifik mengenai kehidupan yang disadarkan pada akidah Islam. Dengan kata lain, Islam pada dasarnya adalah sebuah ideologi yang mengatur seluruh bentuk interaksi yang dijalani oleh manusia.  Dengan demikian,  memahami Islam bukan sebagai ideologi bertentangan dengan realita Islam itu sendiri. 
Islam merupakan kesatuan antara konsep/ide (fikrah) dan metode implementasinya (tharîqah).  Tharîqah Islam memang diformat untuk menerapkan konsepnya sehingga konsep Islam tidak sempurna kecuali diterapkan dengan tharîqah Islam. Dengan demikian, Islam harus diperjuangkan dan diamalkan sebagai ideologi, yaitu kesatuan fikrah dan tharîqah-nya. Karena itu, perjuangan politik Islam haruslah bersifat ideologis, dalam arti, harus menjadikan ideologi Islam diterapkan secara real sebagai sistem kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Jika kita bercermin pada perjuangan dakwah Rasulullah, kita akan melihat dengan jelas bahwa Rasul mendakwahkan dan memperjuangkan Islam yang bersifat ideologis. Beliau menyerukan Islam sebagai akidah dan syariat. Beliau mendakwahkan Islam agar masyarakat mengimani Islam sekaligus menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan mereka. Dengan bimbingan wahyu, Rasul menyerang akidah jahiliah dan menjelaskan akidah Islam beserta konsekuensinya. yaitu keterikatan dengan  hukum-hukum Allah. Sekalipun belum turun ayat-ayat hukum, beliau juga menyerang sistem rusak yang ada di masyarakat, mendorong masyarakat agar mencampakkannya, dan agar mereka mengadopsi sistem yang dibawa oleh Islam. Bahkan, dakwah beliau mempunyai target kekuasaan (mendirikan negara) sebagai metode untuk menerapkan Islam. 
Perjuangan Rasul adalah perjuangan yang bersifat ideologis, yakni perjuangan untuk menerapkan ideologi Islam di tengah-tengah masyarakat. Perjuangan beliau tidak bersifat pragmatis berdasarkan kepentingan dan kemanfaatan. Beliau selalu mengedepankan kepentingan ideologi dan menyepelekan kepentingan yang lain.  Hal ini tampak jelas dari sikap beliau terhadap tawaran yang disampaikan Quraisy melalui Uthbah bin Rabi‘ah (Lihat: Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, 1/261).
Maka interest politic Islam adalah ideologi, yakni agar ideologi Islam diterapkan secara real di tengah-tengah masyarakat.  Karena politik adalah pengaturan dan pemeliharaan segala urusan umat maka di samping ideologi, kepentingan umat yang dituntun ideologi harus menjadi interest politic Islam, bukan kepentingan duniawi. Yang termasuk mementingkan kepentingan duniawi adalah menjadikan suara terbanyak sebagai patokan atau menjadi pemenang pemilu adalah targetnya.
Oleh karena itu, parpol Islam haruslah parpol Islam yang bersifat ideologis.  Parpol Islam yang bersifat ideologis ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Memiliki pemahaman yang paripurna tentang ideologi Islam, yang terdiri dari fikrah (konsep/ide) dan tharîqah (metode implementasi)-nya.
2.     Keahlian (kapabilitas) para aktivis partai, khususnya pimpinan partai.  Pimpinan partai haruslah orang yang paling memahami dan menyadari fikrah yang diperjuangkan partai dan tharîqah untuk mewujudkannya, paling sempurna penginderaannya terhadap realitas buruk masyarakat, paling menyadari pentingnya perubahan terhadap realita buruk itu, dan paling kuat keimanannya terhadap ideologi Islam dan pentingnya perubahan.
3.     Memiliki pemahaman sempurna mengenai metode yang sahih dalam mengikat antaranggota partai. Asas yang harus digunakan dalam menerima dan mengikat anggota adalah: (a) keimanan, keikhlasan, dan pemahaman terhadap ideologi partai dan tujuannya; (b) kesanggupan untuk melaksanakan dan mengemban tugas-tugas partai sekalipun bersifat minimal.
4.     Memiliki pemahaman dan kesadaran politik terhadap dunia dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
(Ahmad Athiyat, ath-Tharîq, 1996, hlm. 243-257)
Islam memang bersifat realistis, yakni tidak bersifat khayali. Islam juga bukan hanya berlaku bagi satu masa tertentu saja, namun bagi seluruh masa.  Islam memiliki sekumpulan hukum yang bersifat praktis untuk merespon semua realita yang ada. Karena itu, parpol Islam harus memahami realita yang ada secara detil, lalu memahami nash-nash yang berkaitan dengan realita itu, dan kemudian menggali solusi (hukum) bagi realita tersebut. Inilah makna bahwa Islam bersifat realistis. Artinya, realita dijadikan sebagai obyek pemikiran, bukan sebagai sumber pemikiran.  Yang menjadi sumber pemikiran adalah akidah Islam, kaidah ushul yang terpancar dari akidah, dan sejumlah pemikiran yang dibangun di atas akidah Islam. Realita harus diletakkan sebagai obyek pemikiran yang akan diubah serta disesuaikan dengan ketentuan dan tuntutan sumber pemikiran Islam. 
Dengan demikian, dalam Islam tidak ada ruang bagi ide dan sikap pragmatis.  Ide dan sikap ini hanya muncul dari ideologi sekular yang menjadikan manfaat sebagai nilai yang diagung-agungkan. Jadi, dalam konteks perjuangan parpol Islam, yang menjadi orientasi adalah ideologi Islam bukan yang lain.

Khatimah: Berharap Dari Demokrasi?
Realita perjuangan partai politik Islam tidak selalu “menang” dalam percaturan politik demokrasi. Di awal tulisan saudara juga sudah dipaparkan, seperti FIZ di Aljazair, Erbakan di Turki, Hamas di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Turki hingga Masyumi di Indonesia. Realita itu bukan hanya sekedar fakta yang tak terbantahkan, tapi secara teori dan praktik mengharapkan “kemenangan” perjuangan dalam tubuh demokrasi adalah suatu hal yang mustahil akan bisa teraih. Kenapa begitu? Sebab, karakter asli demokrasi itu adalah Sekular, yang itu sangat bertentangan dengan ruh Islam yang menghendaki ke-kaafah-an. Fakta menunjukkan, perjuangan mengegolkan UU Pornografi hanya sampai pada tataran “mengislamikan” beberapa pasal, sementara pasal yang lain tetap sekular. Apakah kita cukup bangga terhadap hal itu? Tentu saja tidak, sebab pada tataran berikutnya upaya untuk memberangus pornografi oleh siapapun (termasuk para menteri), akan menemui kendala-kalau tidak bisa dikatakan jalan buntu--. Buktinya, setelah katanya akses pornografi melalui dunia maya sudah dibuntu, akan tetapi upaya itu tidak cukup berhasil. Dan secara teori ilmu, upaya untuk membuntu situs porno atau akses pornografi tidak akan bisa dilakukan, sebab teorinya “maling itu lebih pintar dari pada polisi”, itu pun sudah terbukti.
Ujung dari pembahasan ini adalah bahwa pada masalah sekular tadi. Sementara ide sekular itu tidak hanya menjalar di kalangan elit politik kita, tapi disadari atau tidak sekularisme telah menjadi ruh di tubuh negeri kita tercinta ini. Sehingga memperjuangkan Islam dan amar makruf nahyi munkar (amanat QS Ali Imron 104), selama politik sekular, elitnya sekular, partainya sekular dan juga negaranya sekular hanya akan menemui jalan buntu, tidak akan pernah berhasil. Kalau pun bisa dikatakan berhasil sebagai sebuah “prestasi”, maka itu tidak lebih merupakan hasil “kompromi” antara kebaikan dan keburukan, atau berusaha menutup keburukan dengan kebaikan.
Sehingga partai politik Islam yang ada saat ini harus kembali re-ideologi Islam, bagaimana Islam mendefinisikan amal siyasi (aktivitas politik) sebagai sebuah partai Islam. Jika dikatakan partai politik Islam lebih dari partai politik sekular, itu memang seharusnya begitu. Tapi jika partai Islam meleburkan diri dalam demokrasi, bukan mustahil jika muncul “fitnah” bagi partai itu sendiri secara khusus ataupun umat Islam secara umum. Pemahaman sebaliknya, jika ingin terhindar dari fitnah-kalau itu tidak bisa dikatakan kriminal-, maka harus memperjuangkan Islam sebagai ideologi dan menjadi partai ideologis. Wallahu’alam bi showab.

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf