Perkara mendasar dalam aktivitas dakwah adalah para pengemban dakwah harus mengetahui dan menyadari siapa dirinya dan atas alandasan apa ia melakukan dakwah, memahami ide apa yang hendak disampaikannya, bagaimana metode untuk merealisasikan konsepsi (ide) tersebut, siapakah umatnya, hendak dibawa kemanakah umat tersebut, hal-hal apa saja yang tersembunyi di dalam diri umat, perkara apa saja yang dapat mengahancurkan dakwah, bagaimana cara menyampaikan ide/konsepsi itu kepada umat, siapakah yang wajib diteladani dalam aktivitas dakwah, dan berbagai perkara lainnya yang bertalian dengan hal itu.
Secara etimologi (lughatan), kata dakwah merupakan bentuk nomina (l) atau mashdar dari verba (fi’il) da’aa, yad’uu yang memiliki arti mengajak dan menyeru manusia dari satu keadaan kepada keadaan yang lain (perhatikan QS.2:221, 31:21). Kata dakwah berarti pula berdoa, yaitu mengharapkan adanya perubahan dan perobakan dari keadaan sebelumnya. Adapun secara terminologi (istilahan), kata dakwah sudah menjadi istilah khusus bagi umat Islam, baik kata itu berdiri sendiri atau dirangkaikan dengan kata Islam. Dengan demikian ia memiliki makna yang positif, yaitu menyeru manusia kepada Al Islam (perhatikan Qs.3:104).
Berkaitan dengan dakwah ini pula, DR. Rauf Syalabiy menyatakan bahwa dakwah Islamiyyah merupakan sebuah gerakan (aktivitas) yang bertujuan untuk menghidupkan sistem ilahi atau peraturan Allah swt yang diturunkan kepada khatamun nabiyyun Muhammad saw. Hanya saja, saat ini sering kali terjadi pengertian dakwah diciutkan menjadi hanya sekedar ceramah atau tabligh. Kesalahan pengertian ini telah disadari oleh banyak orang, akan tetapi pelaksanaannya masih tetap pada hal-hal yang ritual dan keruhanian belaka. Istilah dakwah pembangnan, da’i pembangunan merupakan gambaran bahwa seolah-olah terdakpat da’i dan dakwah yang tidak membangun. Demikian pula dakwah bil hal yang seolah-olah dakwah bil lisan sudah tidak efektif lagi. kekeliruan ini semua terletak pada pemahaman dan pelaksanaan dakwah bukan pada kata dakwah itu sendiri. Dr.H. Muhammad Natsir dalam bukunya Fiqhu Al dakwah menguraikan bahwa dakwah artinya mengajak manusia kepada Allah (Al Islam dengan hikmah wal mau’idhatil hasanah sehingga ingkar terhadap thagut dan beriman kepada Allah dan keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
Dengan memperhatikan ayat-ayat Al Quran dan sunnah Rasulullah saw., serta berbagai pengertian yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa dakwah Islamiyyah adalah sebuah aktivitas yang bersifat totalitas yang berupaya untuk mempengaruhi cara berfikir manusia, cara merasa, cara bersikap, dan bertindak agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam rangka terwujudnya suatu masyarakat Islam yang kaljasadil wahid sebagai landasan idealnya dan kalbunyani yasyudhudhdhu ba’dluhaa ba’dhan sebagai landasan operasionalnya. Masyarakat islam adalah masyarakat yang memiliki fikrah wahidah, masya’ir wahidah, nidhamul wahid (kesatuan konsepsi, cara merasa, dan sistem) yang diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga seluruh aspek kegiatan kehidupannya benar-benar berlandaskan ajaran Islam semata.
TANGGUNG JAWAB DAKWAH
Pada dasarnya hukum syara’ itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Tidak ditemukan perbedaan di antara keduanya dalam hal taklif (pembebanan hukum) kecuali jika terdapat nash-nash yang membedakannya. Apabila terdapat seruan seperti: “Wahai orang-orang yang beriman...”, maka seruan ini selain ditujukan kepada laki-laki juga ditujukan kepada para wanita. Dalam bahasa Arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup pula di dalamnya seruan untuk wanita. Sedangkan seruan bagi kaum wanita tidak mencakup bagi laki-laki dan hal itu hanya terbatas pada wanita saja.
Begitu pula dalam hal kewajiban melakukan dakwah, bukanlah merupakan kewajiban satu lembaga atau organisasi tertentu melainkan merupakan kewajiban bagi setiap kaum muslimin dimanapun ia berada, apapun statusnya dan pekerjaannya, baik sebagai pedagang, petani, buruh, karyawan, maupun direktur, pejabat pemerintah dll. Semuanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam mengemban dakwah Islamiyah, apalagi tentu saja seorang kepala negara (khalifah/amiirul mukminin/imaamul mukminin).
Oleh sebab itulah, tanggung jawab umat Islam dalam mengemban dakwah Islamiyah dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Dakwah merupakan tanggung jawab sekelompok ummat dan dilakukan secara berjamaah sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS.3: 104. Kelompok ini terdiri atas:
- Lembaga negara di bawah pimpinan seorang kepala negara. Kepala negara berkewajiban untuk menerapkan sistem Islam kepada seluruh anggota masyarakat, menegakkan keadilan, menjalankan hukum syara’, menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, dan mengemban dakwah Islam dengan jalan Jihad ke daarul musyrik, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. dan para khalifah sesudahnya sehingga Islam tersebar ke seluruh jazirah Arabia, Afrika, Eropa, dan Asia.
- Organisasi atau lembaga dakwah yang dikelola umat Islam secara bersama-sama atau berkelompok yang memiliki orientasi siyasi dan berfungsi sebagai sosial kontrol terhadap perilaku penguasa dalam rangka menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila umatku enggan berkata kepada orang-orang dzalim, wahai pendzalim! maka ucapkanlah selamat tinggal kepadanya (karena adanya sama seperti tidak adanya)”.
Kelalaian umat Islam melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar berakibat pula doa mereka tidak diijabah oleh Allah swt. dan akan ditimpakan azab kepada mereka, serta orang-orang zalim akan menguasai mereka.
2. Dakwah merupakan tanggung jawab setiap individu baik pria maupun wanita, dan dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Rasulullahs aw. bersabda:
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat”. Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanggannya, jika ia tidak mampu hendaklah ia ubah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka hnedaklah ia ubah dengan hatinya, namun hal itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
OBJEK DAKWAH
Secara garis besar objek dakwah dibagi dalam dua bagian, yaitu dakwah kepada orang musyrik dan dakwah kepada umat Islam. Adapun dakwah kepada orang kafir dapat dilakukan secara individu atau secara jama’iy. Akan tetapi dakwah ini akan lebih efektif dan akan mencapai hasil maksimal jika dilakukan oleh negara dengan cara:
1. Jika orang-orang musyrik itu berada di bawah sistem Islam maka dakwah lebih banyak dilakukan dengan jalan memberi contoh teladan yang baik melalui penerapan sistem Islam kepada mereka secara adil dan bijaksana. Sejarah telah membuktikan bahwa negeri-negeri kafir akan takluk di bawah pemerintahan Islam sesudah diberlakukan sistem Islam kepada penduduk negeri tersebut (taraf kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politiknya bertambah maju). Spanyol dengan kota-kota bersejarahnya, seperti Cordova, Sevilla, Malaga, Bacelona merupakan bukti otentik kejayaan Islam di Eropa. Bandingkanlah dengan negeri-negeri Islam yang kini setelah melepaskan diri dari imperialisme dan kolonialisme Barat, mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan kebodohan; sementara para pemimpinnya terus bergantung hidupnya pada kasuh sayang kaum yang pernah menjajah negerinya yang mengakibatkan penderitaan dan kemelaratan penduduknya.
2. Jika dakwah ini ditujukan kepada kawasan daerah musyrik (darul musyrik) maka dakwah seperti ini dilakukan dengan jihad fii sabilillah. Negara harus membangun kekuatan militer yang tangguh untuk menghadapi musuhnya yang berusaha menghalangi jalannya dakwah. Dakwah inilah yang dilakukan Rasulullah saw. setelah beliau membangun masyarakat Islam di kota Madinah. Tindakan pertama yang dilakukan adalah pengiriman surat kepada para kepala suku dan qabilah di seluruh jazirah Arabia dan para raja di sekitarnya, seperti Persia dan Romawi.
Adapun dakwah kepada orang Islam berbeda dengan dakwah kepada orang musyrik. Dakwah kepada orang musyrik bertujuan untuk mengubah aqidah kufur menjadi aqidah Islam,. Sedangkan dakwah kepada sesama muslim adalah dalam rangka meningkatkan keimanan dan taqwa kepada Allah swt. Akan tetapi jika kaum muslimin belum melaksanakan hukum syara’ dan belum menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh atas dasar aqidah Islam, maka kewajiban utama dalam mengemban dakwah Islamiyah adalah bagaimana upaya agar sistem dan nilai-nilainya itu dapat terwujud dalam kehidupan mereka (isti’naafu alhayti al Islamiyah).
AQIDAH SEBAGAI LANDASAN DAKWAH
Pembahasan aqidah Islam merupakan pembahasan yang paling penting dibandingkan dengan berbagai perkara lainnya. Hal ini disebabkan aqidah merupakan asas, kaidah berfikir, tolok ukur suatu perbuatan, dan standar (acuan) bagi seorang muslim serta masyarakatnya memecahkan berbagai persoalan (problematika) yg terjadi dalam kehidupannya di dunia. Dgn demikian, aqidah menjadi landasan bangunan peradaban manusia, dasar berbagai tonggak kehidupan ditegakkan, tempat keluarnya berbagai aturan & peraturan kehidupan, norma, & tata nilai masyarakat.
Aqidah pula yang menentukan cara dan arah pandang, cita-cita, dan tujuan yang dianut oleh para pemeluknya, diyakini kebenarannya, diperjuangkan, dipertahankan, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dari peri hidup Rasulullah saw. fakta menunjukkan bahwa Rasulullah bukan hanya membina para shahabatnya dengan aqidah yang kuat, tetapi juga membangun masyarakat Islam di Madinah selalu bersandar pada aqidah Islam padahal ayat-ayat tasyri’ (hukum) belum seluruhnya diturunkan. Meskipun demikian Rasulullah saw. menjadikan syahadat Laa Ilaaha Illallahu sebagai asas bagi segalanya, asas kehidupan muslim, asas yang menghubungkan interaksi sesama muslim, asas yang mendasari hubungan sesama manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, menyelesaikan perselisihan, asas bagi kekuasaan dan mengatur pemerintahan. Permasalahan ini dapat kita simak dalam Piagam Madinah antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan Yahudi dimana antara lain disebutkan: “...Sesungguhnya apabila terjadi kejadian atau perselisihan di antara mereka yang terlibat dalam perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan maka hal itu harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya...” (Shirah Ibnu Hisyam, Juz I:504).
Rasulullah saw. ketika mewajibkan untuk melakukan jihad fii sabilillah kepada kaum muslimin sebagai suatu cara untuk mempertahankan aqidah Islam dan menyampaikan dakwah Islamiyah, beliau saw. selalu melandasi perintah itu dengan aqidah tauhid seraya bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu, Muhammad rasulullah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka darah (nyawa) dan harta benda mereka terlindung dariku, kecuali karena haknya. Dan Allahlah yang menghisab mereka” (HR. Bukhari, Muslim , dan ashhabus sunan).
Aqidah Islam sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah swt. telah memerintahkan kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap hukum yang diturunkan Allah swt. dan RasulNya saja. Allah swt. berfirman:
“ Maka demi Rabbmu, pada hakikatnya mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan” (QS. 4:65).
Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seorang muslim dan masyarakatnya diukur dari apakah ia bersedia merujuk kepada hukum Allah dan RasulNya ataukah tidak. Hal ini menegaskan bahwa aturan dan peraturan kehidupan manusia harus merujuk dan hanya lahir berasal dari aqidah Islam semata.
TUJUAN DAKWAH ISLAM
Dakwah Islam harus bertujuan
1. Isti’naafu al hayati al islamiyyah (melangsungkan kehidupan Islam) dan lihamli da’wah al Islamiyyah (mengemban dakwah Islam) ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami, dimana seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum syara’. Pandangan hidup yang selalu menjadi fokusnya adalah halal dan haram di bawah naungan al hukmu al islamiy.
2. Di samping itu dakwah Islam harus bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan suatu kebangkitan yang benar (an nahdhah ash shahihah) melalui kebangkitan berfikir umat. Dakwah Islam tersebut berkewajiban untuk berusaha mengembalikan posisi umat pada posisi yang pernah diraihnya, yaitu memiliki peradaban dan budaya yang Islami, serta kondisi masyarakat majemuk yang adil, sejahtera, aman, tentram, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
3. Berkaitan dengan hal itu pula, Dakwah Islam bertujuan untuk menyampaikan hidayah syariat Islam bagi umat manusia; memimpin umat untuk menentang setiap konsepsi2 pemikiran dan hukum yg salah dan zalim secara menyeluruh sehingga Islam dpt meliputi seluruh alam semesta.
AKTIVITAS DAKWAH ISLAM
Aktivitas dakwah Islam adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah situasi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat islami, yaitu dengan mengubah konsepsi-konsepsi yang ada menjadi konsepsi Islam, sehingga kan menjadi opini umum pada masyarakat, serta menjadi persepsi bagi mereka yang akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntunan Islam. Di samping itu juga mengubah perasaan (masyaair) yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam, ridla terhadap apa yang diridlai Allah swt., marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci Allah swt., serta mengubah hubungan/interaksi yang ada di dalam masyarakat menjadi hubungan/interaksi yang islami, berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahan problemanya pun musti berlandakan pada hukum syara’.
Seluruh aktivitas dakwah Islam ini adalah ‘amalun siyasiyun (aktivitas politik). Adapun yang dimaksud dengan politik dalam hal ini adalah ri’aayatusy syu’uunil ummah daakhliyan wa khaarijiyan (memperhatikan urusan-urusan umat, baik dalam dan luar negeri) sesuai dengan hukum syara’. Dakwah Islam ini berkewajiban memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i.
Aktivitas-aktivitas yang bersifat politik ini tampak jelas dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskan umat dari pemikiran-pemikiran (konsepsi) yang rusak (kapitalisme dan sekularisme, sosialisme, dan komunisme), pemikiran-pemikiran yang salah, serta persepsi yang keliru. Aktivitas ini tampak juga dalam aspek pergolakan pemikiran dan perjuangannya.
Adapun pergolakan pemikiran tersebut dalam terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide/konsepsi pemikiran dan aturan-aturan kufur. Seperti halnya dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah, aqidah yang rusak, atau pemahaman yang keliru dengan cara menjelaskan kerusakannya dan menampakkan kekeliruannya yang disertai dengan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.
Adapun perjuangan dapat terlihat dari penentangannya terhadap orang-orang kafir imperialis untuk memerdekan umat dari belenggu kekuasaannya, membebaskan umat dari tekanan pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam. Perjuangan ini tampak jelas dalam membela umat, melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap mereka, serta berusaha menggantikannya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak dijalankan kewajibannya terhadap umat, begitu pula halnya jika mereka mengabaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum syara’.
Jadi, kegiatan jamaah dakwah Islam ini secara keseluruhan adalah aktivitas yang berkaitan dengan cara mengemukakan pemikiran-pemikiran Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, dipikul, dan diwujudkan dalam kenyataan kehidupan dan pemerintahan. Hal disebabkan aqidah Islam merupakan aqidah aqliyah (dasar untuk konsepsi pemikiran) dan aqidah siyasiyah yang memancarkan aturan yang dapat memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial masyarakat, dll.
Dakwah dalam rangka mencapai tujuan ini tidak mungkin dilakukan dalam bentuk perorangan bagaimanapun banyaknya aktivitas yang dilakukannya. Dakwah seperti ini harus diemban dan dipikul bersama-sama dalam bentuk jamaah yang terorganisasikan dan terencana. Jamaah dakwah semacam ini paling tidak memenuhi dua syarat, yaitu:
1. harus memiliki persamaan pemikiran (konsepsi) dan perasaan yang berasaskan pada aqidah Islam, dan
2. aktivitas dakwahnya harus berorientasi siyasah semata dan bukan semacam organisasi sosial yang berupaya membangun rumah sakit, sekolah, sarana panti asuhan, atau semacam badan wakaf yang mengelola harta wakaf, begitu pula bukan berbentuk perkumpulan olah raga, kesenian, kepanduan, perkumpulan tarekat, zikir, dan kesufian, dll., walaupun semua kelompok dan organisasi ini bersama-sama mengaku berdakwah dan menyeru kepada Al Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. QS. 3:104, yaitu:
“Dan haruslah terdapat di antara kalian sekelompok umat yang menyeru kepada kebaikkan (AL Islam), memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat ini merupakan seruan yang sangat jelas untuk membentuk suatu jamaah dakwah dalam Islam. Ayat inipun memberikan batasan aktivitas dari kelompok dakwah itu pada dua hal, yaitu pertama berdakwah kepada Islam dan kedua melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Kita mengetahui bahwa syariat Islam telah membebankan pelaksanaan hukum kepada individu dan ulul amri (penguasa) yang tentu saja tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan tanggung jawab yang dibebankan kepada individu. Persoalannya adalah apakah syariat Islam membolehkan adanya jamaah atau kelompok dakwah, partai politik Islam untuk melakukannya? Mengapa syariat Islam membebankan berbagai hukum tertentu kepada kelompok dakwah maupun partai politik Islam secara khusus yang tidak diperuntukkan bagi individu dan atau ulil amri?
Memang benar bahwa keberadaan suatu jamaah atau kelompok dakwah merupakan fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum muslimin. Sebab perintah tersebut ditujukan kepada kaum muslimin di setiap wilayah Islam, yaitu dengan firmanNya:
“Waltakun minkum ummatun… “
“… dan haruslah ada di antara kalian segolongan ummat … “ (QS.3:104)
Lafadz Ummatun pada ayat tersebut di atas tidak membatasi jumlah jamaah atau kelompok gerakan Islam, walaupun ayat itu mewajibkan kaum muslimin untuk membentuk suatu jamaah yang melaksanakan tugas dakwah, sebagaimana yang tertera pada pada ayat di atas. Seandainya telah terbentuk suatu jamaah, maka kewajiban tersebut tidal dibebankan kepada yang lain. Karena itu, tidaklah wajib membentuk dua jamaah. Dengan demikian, bila telah terbentuk suatu jamaah maka tujuan dari ayat tersebut telah terlaksana. Kalau ternyata kemudian muncul jamaah yang kedua atau lebih, maka pembentukkan itu hukumnya mubah (boleh ada). Begitu pula kata “Ulaa-ika (merekalah)” dalam ayat tersebut sesungguhnya adalah isim isyarah (penunjukkan) untuk jamak yang merujuk pada lafadz “ummatun”, yaitu jamaah-jamaah atau kelompok-kelompok dakwah yang ada semuanya adalah termasuk golongan “muflihuun (orang-orang yang beruntung)”. Jadi, dengan menunjuk kepada lafadz “Ummatun” atau dengan menggunakan redaksi (shighat) jamak berarti boleh terbentuk banyak jamaah.
(Arif B Iskandar, Materi Dasar Islam, Al Azhar Press)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu