Sedikit Tentang Risalah Walimah

Dasar hukum walimah
Adanya walimatul ‘ursy, usai akad nikah merupakan salah satu sunnah nabi. Dalam pembahasan disini tidak dibedakan pembahasan antara walimatul ‘ursy (walimah) dengan resepsi pernikahan, karena kebanyakan di masyarakat kedua acara itu tidaklah dipisahkan. Meskipun ada yang dipisahkan pelaksanannya, tapi pembahasan disini lebih mengarah ke walimah Islamy.
            Dasar hukum dari walimah, diantaranya beberapa hadits Rasulullah Saw, berikut ini:
“Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi Saw, melihat pada ‘Abdurahman bin ‘Auf bekas minyak wanginya, lalu beliau bertanya: “Apa gerangan ini? Kenapa kamu melakukan ini?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, saya telah kawin dengan seorang perempuan dengan mas kawin sekeping emas” Rasulullah Saw lalu menyahut: “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, dan adakan walimah walau dengan (menyembelih) seekor kambing kibasy” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Anas bin Malik, ujarnya: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw, melakukan walimah untuk istri-istrinya seperti yang beliau lakukan dalam walimah perkawinannya dengan Zainab, yaitu beliau menyembelih seekor kambing kibasy” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ketika kawin dengan Shafiyah, Nabi Saw mengadakan walimah dengan makan gandum dan kurma” (HR. Ibnu Majah)
            Walimah diadakan sebagai sarana pengumuman pada khalayak bahwa kedua pengantin yang sebelumnya dikenal masyarakat belum menikah, maka dengan adanya walimah, masyarakat tahu bahwa keduanya sudah bukan lagi sebagai bujangan. Sehingga bagi si wanita yang telah menjadi isteri bagi laki-laki tersebut, telah tertutup bagi laki-laki lain untuk memperisterinya, kecuali diceraikan oleh suaminya atau suaminya telah meninggal. Disamping itu dengan adanya pengumuman tersebut, orang tahu bahwa perempuan yang bersangkutan menjadi ahli waris dari laki-laki yang dikenal sebagai suaminya, dan sebaliknya.
            Hadirnya dua orang saksi pada saat akad nikah berlangsung juga sudah menjadi bukti kuat bahwa telah terjadi pernikahan antar dua orang anak manusia. Sehingga yang diwajibkan dalam Islam hanyalah akad nikah atau lebih tepatnya proses ijab kabul. Adapun walimah hukumnya sunnah, bisa diadakan walimah jika kita mampu melaksanakannya dan sesuai dengan ukuran kemampuan finansial kita.

Bertujuan untuk melaksanakan ibadah
Tidak sedikit resepsi pernikahan diselenggarakan dengan tujuan yang tidak sesuai syariat Islam. Sehingga ada motif kebanyakan masyarakat yang berotak materialistis, melaksanakan resepsi pernikahan untuk mendapatkan keuntungan, layaknya jual beli. Masyarakat menganggap mereka telah mengeluarkan banyak biaya untuk pernikahan anak mereka, terutama pihak pengantin wanita, maka untuk nomboki pengeluaran, diundanglah sekian banyak orang, dengan harapan semakin banyak orang yang diundang, maka semakin banyak pemasukan yang masuk.
Ada juga yang punya dorongan melakukan resepsi pernikahan karena ingin dipandang “wah” di masyarakat, baik si punya hajat tersebut orang kaya ataupun miskin. Kalau kebetulan yang punya hajat orang kaya, pengeluaran berapapun tidak masalah, asal mereka bisa memamerkan kekayaan, kesuksesan, kedudukan di hadapan rekan, keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Tapi giliran yang punya hajat orang miskin, untuk menyelenggarakan resepsi mereka harus berhutang kanan-kiri, bahkan ada yang menjual atau menggadaikan barang-barang miliknya. Setelah hajatan resepsi pernikahan selesai, maka hutang pun masih menggantung. Padahal tujuannya hanya supaya kelihatan mewah dan dipandang oleh masyarakat yang intinya ingin riya’ alias pamer ke orang lain.
Suatu hal yang sia-sia belaka jika kita mengeluarkan biaya puluhan juta untuk sesuatu yang tidak ada nilai ibadahnya sama sekali. Ibaratnya kita membangun sebuah rumah yang kita berharap bisa menempatinya untuk tempat tinggal, tapi alangkah malangnya jika ternyata bangunan yang sudah kita susun rapi, hanya terkena angin sepoi-sepoi saja, akhirnya roboh dan hancur.
Tidak dibenarkan menyelenggarakan resepsi dengan didasari oleh kepentingan-kepentingan selain mencari ridlo Allah SWT. Dengan pamer kepada orang lain, artinya kita mencari ridlonya manusia, bukannya Alllah tujuan kita. Islam mengajarkan kepada kita bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat adz-Dzariyat 56:
“Tiada Aku ciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepada-Ku (Allah)”.
Ibadah dalam pengertian luas, bukan hanya ibadah ritual seperti sholat, zakat, puasa atau haji. Tapi setiap aktivitas yang kita lakukan dengan didasari mencari ridlo Allah serta tata caranya sesuai yang diajarkan syariat Islam maka bisa bernilai sebagai ibadah. Sehingga sebagai seorang muslim, kita harus bersyukur kepada Allah karena setiap aktivitas yang kita hendak lakukan, bisa menjadi ladang amal ibadah kita, yang itu tidak dimiliki oleh umat lain selain Islam. Seharusnya rasa syukur dan bangga sebagai muslim tidak ditutupi dengan aktivitas kita meniru adat, kebiasaan, ritual umat lain. Rasulullah Saw, dalam salah satu sabdanya :
“Barang siapa meniru tingkah laku suatu kaum, maka dia tergolong dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
“Tidak termasuk golonganku, orang-orang yang menyerupai selain golonganku (umat Islam)” (HR. Tirmidzi)
Untuk itu pelaksanaan resepsi pernikahan harusnya diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena diniatkan sebagai ibadah, maka tujuan kita melakukannya harus dijauhkan dari ketidak ikhlasan alias hanya untuk mencari ridlo Allah. Serta jangan lupa untuk bernilai ibadah dihadapan Allah, maka tata caranya tidak boleh melanggar syariat Islam atau tidak pernah dituntunkan oleh syariat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya
“Dan apa-apa yang diperintahkan oleh Rasul maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah”.
Juga dalam sabda Rasulullah: “Barang siapa yang beramal, tidak ada perintah dariku, maka tertolak amal itu” (HR Bukhori)


Dilarang mengandung TBC (tahayul, bid’ah, churafat)
1.      Seperti yang sering terjadi di resepsi pernikahan di Jawa, biasanya para orang tua untuk memutuskan hari dan tanggal pernikahan selalu menggunakan perhitungan kalender jawa (paing, pon, legi, kliwon, wage) yang dikaitkan dengan tanggal kelahiran kedua calon pengantin. Menurut mereka hal itu nanti ada hubungannya dengan kelancaran acara resepsi itu sendiri ataupun nasib masa depan perkawinan anak-anak mereka. Sehingga kalau menurut hitung-hitungan kalender Jawa mereka, dan ternyata hasilnya buruk, maka bisa saja perkawinan tidak jadi dilaksanakan.
Atau juga dalam adat Jawa, seorang anak bungsu misalnya tidak boleh menikah dengan wanita yang anak sulung. Tidak jelas apa yang menjadi alasan mereka mengeluarkan larangan itu, tapi jika memang ada perkawinan semacam itu, mereka akan sangat keras melarangnya. Hari pernikahan menurut mereka sangat sakral, sehingga kalau misalnya hari pernikahan sudah ditetapkan satu bulan sebelumnya, tapi ternyata dari salah satu keluarga calon pengantin ada yang meninggal dunia, misalnya kakek atau neneknya, maka hari pernikahanpun bisa berubah bahkan batal.
      Penilaian: Dalam khazanah Islam, tidak ada bulan beruntung ataupun bulan sial. Semua bulan adalah baik dalam Islam, meskipun itu bulan Muharram ataupun Ramadhan, yang dalam kebiasaan masyarakat Jawa di bulan itu tidak boleh mengadakan hajatan. Sebab menurut mereka di bulan Muharram jika kita tetap melaksanakan resepsi pernikahan, maka akan banyak timbul malapetaka, atau nasib buruk akan menimpa kita. Tentu itu suatu kepercayaan yang tidak berdasar sama sekali. Kepercayaan akan ramalan nasib dalam Islam tidak ada tuntunannya. Rasulullah Saw bersabda:
      “Barang siapa mendatangi Kahin (tukang sihir, dukun, tukang santet, tukang ramal, paranormal, dll) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw” (HR. Abu Dawud)
      “Barangsiapa mendatangi dukun/ peramal dan bertanya kepadanya tentang sesuatu maka shalatnya selama empat puluh malam, tidak akan diterima” (HR. Muslim)
“Barang siapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan mujur-sial, maka dia telah bersyirik kepada Allah” (HR. Ahmad)
      Dalam rukun Iman, Islam mengajarkan kepada kita untuk beriman kepada qodho dan qodhar serta baik buruknya bagi kita. Sehingga setiap manusia nasibnya sudah ditentukan oleh Allah SWT, tidak ada manusia yang dilahirkan bernasib sial ataupun mujur. Hanya manusia itu sendiri yang bisa memilih, dia ingin selamat atau celaka. Jika kita mengaku beragama Islam, kita selalu bertawakal kepada Allah dengan senantiasa berusaha agar setiap aktivitas yang kita lakukan, termasuk pelaksanaan resepsi pernikahan, agar tidak keluar dari koridor syariat Islam, yang akan mengundang murka Allah SWT, itu artinya kita telah mencelakai diri kita.
2.      Hadirnya sesajian dalam pernikahan adat Jawa tidaklah boleh ditinggalkan. Konon hal itu untuk menolak bala’ atau sesuatu yang diluar jangkaun manusia. Sesajian itu berisi segelas air putih, nasi putih beserta lauk pauk kering, pisang satu tandan dan tidak lupa kembang atau bunga tujuh rupa serta kemenyan. Biasanya peletakan sesajian itu berbeda-beda, ada yang di dapur yang katanya supaya makanan tidak mudah gosong, atau supaya makanan tidak habis padahal tamu masih berdatangan. Sesajian di kamar tidur pengantin, menurut mereka untuk menjaga tidur pengantin dari godaan mahluk halus. Sesajian di kamar mandi atau tempat pengantin perempuan melakukan acara “siraman”. Sesajian juga ditempatkan di panggung pelaminan atau tenda tamu, biar panggung atau tendanya tidak roboh dan juga sekaligus menolak turunnya hujan.
      Penilaian: Jelas hadirnya sesajian itu bukanlah berasal dari ajaran Islam, sekalipun mungkin saat meletakkan sesajian itu mengundang seorang kyai dan melafadzkan bacaan islamy seperti al fatihah atau surat yaasin. Adat seperti itu terpengaruh oleh adat orang Hindu atau Budha, yang biasanya mereka berdalih, itu pernah diajarkan oleh para Wali. Jika mereka berdalih seperti itu, maka sebagai seorang Wali (ahli agama), tentu tidak akan pernah mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah. Bagaimana bisa seorang Wali yang merepresentasikan sebagai ulama mengajarkan untuk meminta perlindungan dari godaan marabahaya ataupun syaithan yang terkutuk dengan menggunakan sesajian yang tidak ada tuntunannya dalam Islam? Tentunya kalau benar ajaran seorang Wali, pasti akan mengajarkan untuk menolak bala’ ataupun meminta perlindungan, langsung meminta kepada Allah, mungkin dengan shalat hajat ataupun bacaan al-qur’an yang tidak diikuti dengan sesajian. Dengan sesajian yang sudah barang pasti menggunakan perantara Jin, yang itu dilarang dalam ajaran Islam, karena jelas mengundang kesyirikan.
      Sehingga hadirnya sesajian dalam pernikahan yang Islamy haruslah ditiadakan, karena tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam dan jelas itu adat yang termasuk dalam bid’ah (kesesatan) serta jatuh pada ritual tahayul. Apa bedanya kemudian dengan kebiasaan jahiliyah yang dilakukan kaum Quraisy sebelum datangnya Islam? Padahal saat sekarang Islam telah paripurna dan Rasulullah telah tiada, kenapa kita ingin mengulangi tradisi jahiliyah itu?
3.      Upacara resepsi pernikahan dalam adat klasik (Jawa, Madura, Banjar, dll) maupun modern (Eropa, Kristen, dll), tentu berbeda dengan Islam. Dalam perkawinan orang Jawa ada ritual ketika sepasang pengantin belum resmi menjadi suami-isteri, diadakan upacara pertunangan, yang acaranya hampir mirip dengan melamar. Bahkan dalam acara ini kedua calon pengantin di rias layaknya pengantin.
      Saat upacara perkawinan dilangsungkan sederet ritual pun sudah dipersiapkan. Ritual yang tidak boleh ditinggalkan adalah “temu pengantin” yang biasanya diisi dengan dipertemukannya dua pengantin yang sudah melangsungkan akad nikah. Pengantin laki-laki berjalan bersama rombongan keluarganya yang diapit oleh dua anak muda yang disebut manggolo yudha yang membawa sepasang rangkaian kembar mayang dan dipertemukan dengan pengantin perempuan yang juga diapit dua wanita yang disebut widodari dan diikuti beberapa wanita dibelakangnya biasanya 3 sampai 4 pasang yang disebut putri domas. Ritual selanjutnya, pengantin laki-lakinya diminta menginjak telur dan pengantin perempuannya menyiram kaki pengantin prianya dengan air kembang. Setelah itu kedua orang tuanya secara bergantian memberikan minum air putih kepada kedua mempelai, baru kemudian keduanya dihantarkan ke pelaminan dengan digandeng menggunakan kain yang diistilahkan bopongan. Dan masih banyak lagi ritual lain dalam resepsi pernikahan adat Jawa, seperti sungkeman, kacar-kucur, dll.
      Penilaian: Melihat dari runtutan acara pernikahan adat Jawa diatas, jelas tidak satupun ritual diatas pernah diajarkan oleh Islam. Meskipun mereka mengatakan ada nilai-nilai Islamy di dalamnya, tetap saja bahwa Islam tidak bisa dicampuradukkan dengan adat istiadat yang pasti berbau khurafat dan bid’ah. Jika kita mengaku muslim, tentu akan bertanya darimana ritual itu berasal. Dan jika kita berniat ibadah dalam melaksanakan resepsi pernikahan, maka nilai ibadah itu telah rusak karena terkontaminasi ketentuan yang bukan berasal dari Islam sama sekali.
      Adat istiadat suatu kaum tidak bisa dijadikan bagian dari hukum syariat. Sebagaimana bunyi kaidah ushul fiqh, yang mengatakan “Adat suatu kaum tidak bisa menjadi hukum”
      Dengan demikian tetap membiarkan resepsi pernikahan kita dicampuri ritual yang tidak Islamy, sama saja dengan merusak nilai ibadah dalam pernikahan dan kebarokahan pun tidak akan tersampaikan dalam perkawinan tersebut. Namun ada yang mengatakan bahwa ritual-ritual yang dilakukan itu merupakan simbol-simbol dan mengandung makna yang dalam, seperti misalnya ritual ketika pengantin perempuan menyiram kaki pengantin laki-lakinya setelah menginjak telur, menurut mereka itu menunjukkan kesetiaan pasangan tersebut, sekaligus simbol bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada wanita dalam rumah tangga, yang kalau dikaitkan dengan Islam, ada saja kaitannya. Memang di dalam Islam kedudukan laki-laki sederajat lebih tinggi daripada wanita yang menjadi isterinya. Seperti disebut al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34 “Seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”. Tapi tidak bisa ketentuan kedudukan seperti itu disimbolkan dengan ritual sebagaimana adat Jawa diatas. Satu sisi, hal itu tidak diajarkan oleh Islam, di sisi yang lain karena kedudukannya sebagai simbol semata, maka jelas tidak perlu dipertahankan untuk dilakukan.
      Jika memang harus mengadakan resepsi, maka seharusnya bentuk acaranya tetap dibuat islamy. Hilangkan ritual-ritual diatas, diganti dengan model acara pengajian. Upacara temu pengantin, bisa dilakukan di dalam kamar setelah acara akad nikah usai. Sebagaimana yang dilakukan Ibu ‘Aisyah yang mempertemukan dengan Rasulullah Saw, di dalam kamar hanya berdua. Salah satu hadits menyebutkan:
      “Dari ‘Aisyah ra. Ujarnya: “Nabi Saw, mengawini aku, lalu ibuku datang kepadaku, kemudian memasukkan aku ke dalam rumah dan tiada orang lain yang menemui aku selain Rasulullah Saw” (HR. Bukhori)
      Hadits tersebut sekaligus menjadi bukti kuat, bahwa saat acara akad nikah, pengantin wanitanya tidak harus dihadirkan atau tidak perlu disandingkan bersama pengantin prianya. Cukup kehadiran wali si calon pengantin wanita yang mewakili wanita dalam akad pernikahan. Keduanya bisa bertemu, setelah calon pengantin prianya usai mengucapkan lafadz ijab kabul dengan sempurna.
      Susunan acara resepsi atau walimah dibuat sederhana, cukup didahului dengan pembukaan, diteruskan pembacaan ayat suci al-qur’an dan sambutan-sambutan dilanjutkan dengan pengajian atau ceramah agama, dan ditutup dengan ramah tamah.

Dalam adat Jawa ataupun Eropa model dekorasi pelaminannya pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dekorasi pelaminan Jawa misalnya, mengharuskan adanya dekorasi atau aksesoris pengantin berupa janur (daun kelapa muda) yang dipasang di pintu masuk (penjor) bersama sepasang pohon pisang. Di panggung (pelaminan) pengantin juga ada kembar mayang, yang biasanya dihiasi dengan buah-buahan. Belum lagi pakaian pengantin dalam tradisi Jawa, biasanya berganti minimal 2 kali ganti baju. Kemudian untuk menyewa putri domas, manggolo yudho, widodari, cucuk lampah yang semuanya beserta pakaian dan rias, itu semua tentu mengeluarkan dana yang tidak kecil. Bagi keluarga yang kurang mampu, mereka akan minder ketika disodori rincian dana yang begitu besar tersebut. Belum lagi jika memikirkan dana untuk konsumsi para tamu, dan logistik seperti peralatan dapur, piring, sendok, tenda, kursi, dll.
            Dengan menyederhanakan susunan acara, menghindari peluang terjadinya praktek tahayul, berhala, khurafat dan bid’ah, maka satu sisi kita telah berhasil membawa resepsi pada jalan Allah.  Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diadakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan adalah ke neraka” (HR. Muslim)
“Barang siapa yang beramal, tidak ada perintah dariku, maka tertolak amal itu” (HR Bukhori)
Di sisi lain, ini yang juga penting dan barangkali ini yang membuat banyak keluarga mundur atau menunda menikah dengan alasan kurang biaya untuk resepsi pernikahan. Jadi dengan format yang Islamy, maka itu artinya kita juga telah menekan pengeluaran sekecil mungkin untuk acara resepsi pernikahan dan menghindari pemborosan (tabzir), yang itu dilarang oleh Islam dan termasuk amalan syaithan. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara tabdzir (boros). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudaranya syaithan” (TQS. al- Isra 26-27)

Hindari campur baur (iktilath) dan berduaan (khalwat)
Secara umum kehidupan kelompok laki-laki dan kelompok wanita adalah terpisah. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya dalil dalam Al-Qur’an yang memisahkan pembahasan tentang laki-laki dan perempuan, seperti salah satu ayat:
…. Kaum pria dan kaum wanita yang gemar bersedekah, kaum pria dan kaum wanita yang gemar berpuasa, kaum pria dan kaum wanita yang senantiasa memelihara kehormatannya, kaum pria dan kaum wanita yang banyak menyebut nama Allah ..” (TQS. al-Ahzab 35)
Penyebutan laki-laki dan perempuan dalam ayat diatas secara terpisah, menunjukkan dengan jelas pada dasarnya aktivitas keduanya terpisah. Contoh yang lain, Allah tidak menerima wanita sebagai wali dalam perkawinan, melainkan seorang laki-laki yaitu ayah, karena seorang laki-laki dalam pandangan Islam adalah qawam (lebih utama) terhadap wanita dan juga nasab seseorang didasarkan atas ayahnya. Allah telah memerintahkan kepada wanita untuk menutup aurat, dan melarang laki-laki melihat aurat perempuan. Semua itu menunjukkan secara umum kehidupan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam adalah terpisah. Hanya dalam keadaan tertentu, seorang laki-laki dan wanita bisa dan boleh bertemu.
Naluri seksual yang fitrah pada setiap manusia, dalam pandangan Islam tidaklah dikekang, tidak pula dibebaskan liar. Akan tetapi naluri seksual pada manusia dalam pandangan Islam adalah semata-mata untuk melestarikan keturunan umat manusia. Islam mencegah segala hal yang dapat membangkitkan nafsu seksual antar lawan jenis. Faktor yang mempengaruhi naluri seksual salah satunya adalah adanya fakta yang dapat diindera, seperti melihat lawan jenis, baik yang menutup aurat, apalagi yang tidak menutup aurat. Sehingga Islam menetapkan seperangkat aturan hubungan laki-laki dan perempuan dalam rangka menjaga sifat iffah (kehormatan) untuk menghasilkan akhlak yang terpuji. Salah satu aturan atau hukum-hukum tersebut diantaranya, Islam melarang pria dan wanita berduaan (khalwat), kecuali wanita itu disertai oleh mahramnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berduaan, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya” (HR. Muslim)
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya karena yang ketiga diantara keduanya adalah setan” (HR. Abu Dawud)
Atas dasar itu, untuk mencegah terjadinya campur baur (khalwat dan ikhtilat) maka resepsi pernikahan, jika menghadirkan tamu laki-laki dan perempuan harusnya dipisahkan antara keduanya. Tentang bagaimana pemisahannya, itu sudah menyangkut persoalan teknis, tapi tetap berpegang pada prinsip syariat Islam. Dalam pemisahan itu, hendaknya perlu diperhatikan tentang perintah menundukkan pandangan, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah kepada laki-laki Mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kehormatannya …… Katakanlah kepada wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kehormatannya” (TQS. an-Nur 30-31)
            Sehingga adanya hijab taam (sempurna) menjadi sebuah kebutuhan untuk memperkecil peluang tamu laki-laki dan perempuan saling bertemu atau berpandangan, jika keduanya berada dalam satu tempat (gedung, halaman rumah). Ada alternatif cara atau teknis untuk menghindari pertemuan tamu laki-laki dan perempuan dalam resepsi pernikahan. Pertama, bisa dengan jalan memisahkan keduanya dalam ruang atau tempat resepsi yang berbeda. Fasilitas ini dimiliki oleh gedung atau masjid yang memiliki dua ruangan yang berbeda, sehingga begitu tamu masuk ruangan sudah terpisah total antara keduanya. Persoalan kedua tamunya tidak bisa menyaksikan kedua pengantin bersanding, itu akan dibahas pada pembahasan selanjutnya. Alternatif kedua, dengan cara memberikan waktu yang berbeda antara tamu laki-laki dan perempuan dalam menghadiri acara resepsi. Misalnya tamu laki-laki diundang saat acara akad nikah sedangkan tamu perempuan di undang saat acara resepsi.
Sedangkan mengenai acara pertunangan baik yang terjadi di adat klasik maupun modern, juga bukan merupakan ajaran Islam. Islam mengajarkan sebelum perkawinan ada proses yang dinamakan khitbah. Khitbah dalam Islam bukanlah “setengah nikah”, sehingga calon suami-isteri boleh berinteraksi bebas, sebagaimana yang terjadi pada sebagian masyarakat Indonesia yang berideologi kapitalis, terutama para selebritis kita. Dalam ritual modern mereka menyebutnya pra married atau pra wedding, biasanya mereka bebas untuk berfoto berdua, memesan undangan, mendesain baju pengantin berdua, merancang dekorasi dan mungkin mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hari dan tanggal pernikahan mereka.
            Khitbah juga tidak bisa dikatakan sebagai “pacaran aman”, meskipun boleh bagi keduanya untuk ta’aruf (saling kenal), tapi aturan tentang tidak boleh berduaan, berbicara bebas atau bersenda gurau, tetap harus menjadi rambu-rambu hubungan mereka.

Menutup aurat dan tidak tabaruj
    Dalam upacara perkawinan adat maupun modern, biasanya mengharuskan pengantin wanitanya menanggalkan jilbab dan kerudungnya. Kemudian dirias wajahnya dengan eye shadow, bedak rias, diberi lipstik yang menor, kepalanya diberi mahkota atau sunduk mentol, alisnya dikerik, pipinya diberi peronah pipi, dll, yang tujuannya untuk memamerkan kecantikan si pengantin kepada laki-laki yang bukan suaminya. Sehingga mereka sering menyebut kedua mempelai dengan sebutan raja dan ratu semalam, karena mereka berdua dirias bak seorang ratu dan raja. Padahal kalau mereka muslim, tradisi dandanan seperti itu, tidak pernah sama sekali diajarkan oleh Islam. Allah SWT, berfirman:
“…dan janganlah kamu berdandan seperti wanita-wanita di jaman Jahiliyah” (TQS. al-Ahzab 33)
Islam menetapkan aturan bagi kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Allah SWT, berfirman:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain apa yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka” (TQS. an-Nur 31)
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (TQS. al-Ahzab 59)
      Kedua ayat diatas menunjukkan dengan jelas pakaian wanita yakni berupa khimar (kerudung) dan jilbab, yang dikenakan ketika bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahram atau diluar rumah. Begitupun saat acara walimah, tidak ada peluang bagi orang lain kecuali muhram untuk melihat tubuh pengantin wanita, kecuali muka dan telapak tangannya. Sehingga merupakan sebuah pelanggaran syariat Islam, jikalau pengantin wanita terpaksa harus menanggalkan kerudung dan jilbabnya kemudian menggantinya dengan pakaian adat atau modern yang tidak menutup auratnya sama sekali, bahkan cenderung pamer aurat.
     Apalagi dengan dirias sedemikian rupa, maka keharamannya bukan saja karena membuka aurat dihadapan khalayak, tapi keharamannya tampak juga pada tabarruj atau berhias secara berlebihan untuk membuat tertarik orang lain. Jadi pembahasan tentang menutup aurat dengan menampakkan kecantikan adalah dua hal yang berbeda. Adakalanya seseorang sudah menutup aurat tapi dia masih melakukan tabarruj, atau sebaliknya dia tidak menutup aurat tapi bertabarruj. Jelas keduanya tidak boleh dilakukan oleh seorang muslimah, menutup aurat tapi tabarruj, atau tidak menutup aurat tapi tidak tabarruj.
            Ada upaya juga dari kalangan para perias pengantin adat maupun modern, agar tetap pengantin wanitanya mengenakan kerudungnya. Tapi lagi-lagi, baju yang dipakaikan tetap tidak sesuai ketentuan syariat Islam. Ada yang bajunya ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Ada juga yang bahannya tipis atau transparan, layaknya kebaya dalam pakaian adat Jawa. Sekali lagi meskipun kerudungnya tidak dilepas, akan tetapi tetap menampilkan riasan wajah yang tabarruj (berlebihan), maka seperti itu tetap tidak diperbolehkan syariat Islam.
      Maka untuk menghindari terjadinya tabarruj dan pamer aurat, baik pengantin maupun yang bukan pengantin, kewajiban menutup aurat bagi wanita tetap harus dijalankan, sekaligus aturan pemisahan tamu laki-laki dan perempuan juga tidak boleh ditinggalkan.
      Pengantin wanitanya tetap mengenakan jilbab dan kerudung, bukan pakaian adat yang dibalut dengan kerudung. Serta hindarkan untuk merias wajah dengan mengerik alis, memenorkan bibir, meronakan pipi dan memakaikan mahkota, yang semuanya akan jatuh pada tabarruj, jika dilakukan. Merias pengantin cukup sekedar mengenakan pakaian bagus dan memakai bedak atau lipstik seadanya, sehingga dia tampil cantik untuk pengantin prianya.
       Karena adanya larangan tabarruj dalam Islam, maka harus dihindari untuk mensandingkan atau lebih tepatnya memamerkan kedua pengantin dengan duduk diatas kursi pelaminan untuk dipamerkan kepada para tamu. Pengantin laki-lakinya cukup menemui para tamu laki-laki, begitupun pengantin wanita cukup berada di lingkungan sesama kaumnya. Perhatikan sabda Rasulullah Saw, berikut ini:
“Seorang wanita yang memakai minyak wangi lalu lewat di tengah-tengah kaum dengan maksud agar mereka menghirup bau harumnya, maka wanitu adalah pelacur” (HR. An-Nasa’i)
“Abu Huroiroh ra. Berkata: “ Rasulullah Saw bersabda: Dua macam orang ahli neraka yang belum saya lihat; Satu, kaum yang memegang pecut (cemeti) bagaikan ekor lembu digunakan memukul orang-orang. Dan kedua: seorang perempuan yang berpakaian tapi telanjang, merayu-rayu menarik hati dan berlenggang-lenggang, membesarkan kondenya bagaikan punggung unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapati baunya, padahal bau surga terasa dari jarak yang sangat jauh” (HR. Muslim)
“Ibnu Mas’ud ra. Berkata: Allah telah melaknat perempuan yang membuat tahi lalat palsu dan yang meminta dibuatkan tahi lalat, dan yang memotong alisnya, memanggur giginya serta yang membuat-buat kecantikan dengan merusak buatan Allah” (HR. Bukhori, Muslim)
Bahkan untuk menghemat biaya pernikahan, tidak perlu baju baru untuk pengantin. Kita bisa meminjam atau menyewanya dari teman, saudara kita yang sudah lebih dahulu menikah. Tentunya pakaian yang Islamy, yakni jilbab dan kerudung. ‘Aisyah, isteri Rasulullah, pernah menyampaikan hadits:
“Dari ‘Aisyah, bahwa ia telah meminjam kalung dari Asma’, lalu kalung itu hilang, kemudian Rasulullah Saw, menyuruh beberapa orang sahabatnya untuk mencarinya …” (HR. Bukhari)
Hadits diatas disebutkan oleh Bukhari dalam Kitabunnikah, bab: “Meminjam pakaian dan lain-lain untuk pengantin”. Dengan meminjam baju yang dimiliki oleh saudara atau teman kita, kita bisa memperkecil biaya pernikahan. Tidak perlu ada rasa malu, apalagi biasanya, baju pengantin hanya sekali dipakai oleh pemiliknya, sehingga kalau kita meminjam, pasti kondisinya masih cukup bagus. Dan kalaupun kita membuat sendiri, pasti kita akan berpikir berkali-kali, karena baju itu nantinya hanya akan dipakai satu kali, sementara kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk membuat baju pengantin sendiri.
Begitu juga demi menjaga kesucian ibadah pada walimatul ‘ursy, tidak ada dalam pandangan Islam bahwa tamu laki-laki diterima oleh penerima tamu perempuan atau sebaliknya
"Katakanlah  kepada laki-laki beriman, hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui  apa yang mereka perbuat." (TQS. an-Nur 30).

3 komentar

  1. memang miris sekali melihat kebiasaan2 di tengah masyarakat sekarang yang jauh dari islam...

  2. Unknown says:

    artikel yang cukup bermanfaat, akan tetapi ada pembahasan lebih lengkap tentang walimah yang ternyata bukan hanya yang namanya walimah adalah untuk jamuan pernikahan saja, silahkan lihat di macam-macam acara walimah

  3. Unknown says:

    Harusnya disertakan referensi bukunya, biar bisa jadi rujukan karya tulis ilmiah...

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf