Setiap tahunnya (sejak tahun 1981), pada tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Di Indonesia, sejumlah organisasi perempuan memperingati hari ini dengan melakukan kampanye, salah satunya, yang menjadi agenda, adalah membangun kesadaran dalam menghapuskan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau di-monitoring.
Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak 2.025 kasus (75%), kekerasan terhadap anak perempuan 389 kasus (10%), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya 23 kasus (1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman.
Dari fakta-fakta yang kita saksikan, dapat disimpulkan bahwa ideologi atau pandangan hidup yang dianut dan dikembangkan oleh negeri-negeri di dunia ini—yang notabe adalah produk manusia—telah gagal memberikan kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera bagi kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena mereka telah memisahkan kehidupan dari agama yang dianutnya; mereka telah melakukan sekularisasi, yakni menjadikan agama hanya berhak mencampuri urusan ritual semata, sedangkan pengaturan urusan yang bersifat duniawi diserahkan kepada mereka masing-masing.
Dengan kondisi seperti ini wajar jika tindakan kekerasan tidak semakin berkurang, apalagi hilang sama sekali, tetapi justru semakin merajalela. Tentu keadaan ini menambah resah dan gelisah masyarakat. Apalagi negara yang seharusnya berkewajiban menjamin rasa aman ternyata tidak mampu menciptakan rasa aman tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Di Indonesia sendiri Pemerintah telah meratifikasi konvensi tentang ‘Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi melalui UU No. 7 tahun 1984, yang diperkuat oleh Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan’ (20 Desember 1998). Terakhir, pada Konferensi Perempuan Internasional di New York, ditandatangani Konvensi Internasional tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (awal Maret 2000). Akan tetapi, karena situasi sosial-politik yang serba tidak jelas, justru sering muncul kekhawatiran masyarakat, terutama kaum perempuan, yang sering menjadi korban kekerasan.
Siapakah yang salah?
Menurut kacamata feminis, kekerasan terhadap perempuan—yang mereka bahasakan dengan kekerasan berbasis jender—merupakan suatu hal yang lumrah terjadi di dalam masyarakat patriarki (sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki). Menurut mereka, di Indonesia sendiri kekerasan berbasis jender ini sudah berlangsung dari masa kerajaan dulu hingga masa sekarang, dengan pelembagaan kekerasan jender yang berbeda-beda tetapi dengan norma yang relatif tidak berbeda dari waktu ke waktu, yaitu dengan berlakunya norma kepatuhan dan komoditi di tengah-tengah masyarakat (Jurnal Perempuan, ed. 09).
Kaum feminis berpendapat, setidaknya ada 3 karakteristik kekerasan berbasis jender di Indonesia. Pertama: mempunyai fungsi melembagakan norma kepatuhan terhadap figur yang lebih kuat atau superior. Melalui norma ini, hirarki sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai yang didasarkan pada kelembagaan jenis kelamin (jender) dapat dipelihara. Kedua: bentuk-bentuk kekerasan sosial merupakan bagian dari taktik yang dipergunakan demi penghancuran dan penundukan musuh atau lawan politik. Ketiga: perkosaan dan pelecehan sosial merupakan senjata kekuatan laki-laki untuk menaklukan perempuan.
Keadaan-keadaan inilah yang mereka anggap semakin memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan dalam seluruh aspeknya selama ini lebih banyak memihak kepada laki-laki. Adapun kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin terpinggirkan, terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka selalu menjadi orang nomor dua setelah laki-laki, baik dalam sektor privat (keluarga) maupun publik (masyarakat). Kondisi ini sering berujung pada penuduhan terhadap Islam yang dianggap lebih memihak laki-laki dan bersifat misoginis (membenci perempuan).
Inilah yang, menurut mereka, menjadi penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Mereka bahkan menuduh bahwa sebagian hukum Islam turut mendukung langgengnya budaya kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, seperti hukum Islam seputar kebolehan seorang suami berpoligami, wajibnya seorang istri meminta izin suami ketika keluar rumah, kebolehan suami memukul istrinya ketika ia nusyûz, atau keharusan seorang istri melayani suaminya ketika ia menginginkannya, dan lain-lain. Benarkah demikian?
Dalam pandangan Islam, kekerasan adalah tindakan-tindakan kriminal/kejahatan (jarîmah) yang terjadi pada seseorang. Kejahatan adalah tindakan melanggar peraturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia yang lain (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât). Kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam rumah tangga atau di luar rumah tangga, merupakan bentuk kejahatan. Kejahatan adalah perbuatan tercela (al-qabîh) yang ditetapkan hukum syariah, sedangkan al-qabîh adalah apa saja yang dicela oleh Asy-Syâri‘ (Allah Swt.). Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai kejahatan kecuali jika telah ditetapkan oleh syariah sebagai perbuatan tercela. Inilah tolok ukur untuk menilai apakah suatu perbuatan termasuk kejahatan atau tidak. Tolok ukur ini tidak ada hubungannya dengan apakah suatu kejahatan dilakukan oleh laki-laki atau perempuan; tidak pula ada hubungannya dengan masalah jender.
Seorang suami yang menuduh istrinya berzina tanpa bukti (melakukan qadzaf), misalnya, akan dikenai sanksi, yaitu dihukum dengan 80 kali cambukan (QS an-Nur [24]: 4). Seorang suami yang tidak memberikan nafkah bagi anak-anak dan istrinya, sedangkan ia dalam keadaan lapang (memiliki penghasilan yang memadai), akan dipaksa oleh negara untuk menafkahi anak-istrinya itu. Jika tidak mau, ia juga akan dikenai sanksi. Dalam dua kasus ini, ia dikenai hukuman karena telah melakukan pelanggaran hukum/tindakan kriminal. Sebaliknya, seorang suami yang berpoligami tidak akan dipandang melakukan tindakan kejahatan, tidak bisa pula ia dipandang telah melakukan kekerasan terhadap perempuan atau KDRT. Sebab, Islam memang membolehkan suami berpoligami, asalkan tidak lebih dari 4 istri (QS an-Nisa’ [4]: 3). Karena itu, dalam Islam, suami yang berpoligami tidak akan diberi sanksi. Keharusan seorang istri melayani suaminya ketika ia memintanya juga bukan merupakan tindakan kekerasan/KDRT sebagaimana yang dituduhkan para feminis. Sebab, Allah memang memerintahkan hal demikian, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ»
Jika seorang laki-laki memanggil istrinya agar memenuhi hajatnya maka hendaklah istrinya itu mendatangi suaminya meskipun ia sedang berada di atas punggung unta. (HR at-Tirmidzi).
Sebaliknya, ketika suami menyakiti istri dengan memukulnya hingga terluka, maka hal ini terkategori ke dalam tindakan kekerasan terhadap istri. Hal yang sama berlaku ketika seorang istri menyakiti suami dengan memukulnya hingga terluka. Dalam dua kasus ini, Islam akan memberikan sanksi kepada pelakunya, baik si istri ataupun suami. Demikian pula tindakan menyakiti anak dengan memukulnya hingga terluka, apakah itu dilakukan oleh ayah atau ibu. Tindakan ini termasuk kejahatan. Karena itu, Islam akan memberikan sanksi kepada kedua pelakunya.
Abdurrahman al-Maliki menjelaskan, bahwa penyerangan terhadap anggota tubuh, siapapun yang melakukannya, akan dikenai sanksi dengan kewajiban membayar diyat/denda 100 ekor unta, bergantung pada organ tubuh yang disakiti. Penyerangan terhadap lidah dikenai sanksi 100 ekor unta. Satu biji mata, satu kaki, setengah diyat (50 ekor unta); luka sampai ke tulang dan mematahkannya, 15 ekor unta; dan sebagainya. Itulah di antara bentuk kekerasan yang dilarang dalam Islam.
Telah kita pahami bahwa yang menentukan apakah suatu perbuatan itu termasuk ke dalam kejahatan/kekerasan atau tidak adalah apakah perbuatan tersebut melanggar aturan Allah atau tidak. Allah Swt., misalnya, telah memerintahkan kepada orangtua untuk memukul anaknya yang belum mau melaksanakan shalat padahal telah berusia sepuluh tahun, sebagaimana sabda Nabi saw. yang dituturkan oleh Ibnu Amr bin al-Ash:
«مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ»
Suruhlah anak-anak kalian menjalankan ibadah shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Jika mereka sudah berusia sepuluh tahun maka pukullah mereka, jika tidak mau melaksanakan shalat, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR Hakim dan Abu Dawud).
Allah juga telah mengizinkan suami untuk memukul istrinya yang melakukan nusyûz, sebagaimana firman-Nya:
]وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً[
Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, hendaklah kalian menasihatinya, dan pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Kedua tindakan ‘kekerasan’ seperti di atas tentu tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan (jarîmah). Sebab, Allah memang telah membolehkannya, sebagaimana disebutkan dalam nash-nash di atas.
Hanya saja harus dipahami, bahwa pukulan yang ditimpakan kepada anak atau istri ini bukan pukulan yang membahayakan, bahkan sampai menimbulkan kecacatan atau kematian. Pukulan yang dibolehkan pun telah ditetapkan oleh Allah. Beberapa ulama tafsir memberikan penjelasan tentang pukulan ini. Ibnu Abbas dan ash-Shabuni menyebutkan bahwa pukulan tersebut adalah pukulan yang tidak membekas/menyakitkan (dharban ghayr mubarrih). Adapun menurut Ibnu Katsir, pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak membekas/menyakitkan dan tidak boleh mengenai wajahnya, karena fungsi pukulan di sini adalah sekadar untuk mendidik atau pendisiplinan (ta’dîb). Karena itu, ada sebagian ulama yang mengungkapkan, bahwa jika seorang istri yang nusyûz kepada suaminya sudah bertobat dengan sekadar ancaman saja, maka itu saja sudah cukup; ia tidak perlu dipukul.
Di sisi lain, Islam pun telah memerintahkan kepada suami untuk menggauli istrinya secara makruf. Karena itu, ketika ada uzur syar‘i yang menyebabkan istri tidak bisa melayani suaminya karena haid atau sakit yang cukup parah, misalnya, maka suami haram memaksanya.
Di samping itu, harus kita pahami, bahwa kejahatan (jarîmah) tidak menempel secara fitri dalam diri manusia; bukan semacam penyakit yang menimpa manusia (M. Husain Abdullah, Dirâsah fî Fikr al-Islâm); bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât). Karena itu, ketika seorang suami melakukan tindakan masokisme (seks dengan kekerasan) dianggap oleh sebagian kalangan merupakan penyakit psikologis, sama halnya dengan kleptomania, misalnya, maka ini merupakan pendapat yang salah. Sebab, kejahatan bukanlah penyakit atau sesuatu yang bersifat fitri dalam diri manusia; ia merupakan tindakan melanggar peraturan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu pula, Islam memberikan sanksi yang tegas kepada siapapun yang melakukan tindak kekerasan/kejahatan, baik laki-laki ataupun perempuan, di dalam ataupun di luar rumah tangga, tanpa pandang bulu.
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa kejahatan atau kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender (perbedaan jenis kelamin), karena kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga menimpa kaum laki-laki, baik di dalam ataupun di luar rumah tangga. Pandangan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat keliru. Ia hanyalah pandangan kaum feminis yang mengukur kejahatan berdasarkan jender, pelaku dan obyeknya. Mereka membela pelacuran ketika perempuan menjadi korban (padahal pelacuran merupakan tindak kejahatan). Mereka pun mencap poligami sebagai bagian dari KDRT karena pihak yang menjadi korban pun—menurut mereka—adalah perempuan.
Padahal jika kita mau jujur, jelas sekali bahwa maraknya kekerasan terhadap perempuan atau KDRT merupakan cerminan dari gagalnya bangunan sosial-politik yang didasarkan pada ideologi sekularis-kapitalis ini. Munculnya banyak kasus kekerasan terhadap perempuan maupun KDRT adalah karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat, maupun keluarga. Ini adalah akibat dari tidak adanya pemahaman yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga; juga akibat dari tidak tidak diterapkannya aturan-aturan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, jalan satu-satunya untuk mengentaskan masalah kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, adalah kembali kepada Islam secara kâffah, yakni dengan menerapkan seluruh syariat Islam secara total dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak lain, kita harus menegakkan kembali tatanan kehidupan Islam secara sempurna dalam sebuah institusi negara, yakni dalam wujud Daulah Khilafah Islam.