Konsekuensi Memeluk Aqidah Islamiyah

Dalam kehidupan ini, manusia yang "normal" tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya.  Ambil saja suatu contoh tentang seseorang yang sedang memasak air. Setelah mendidih, ia melihat didihan tersebut.  Orang itu pun menyadari dan meyakini betul bahwa air yang mendidih tadi pasti panasnya. Selain itu, ia berpendirian bahwa bila air mendidih itu diminum niscaya akan rusaklah lidah, serta rontoklah giginya.  Bila demikian keadaannya, tentu saja ia tidak akan serta merta meminum air yang mendidih tadi sekalipun ia dahaga sekali.  Andaikan, orang itu tetap juga meminumnya padahal ia tahu dan sadar betul akan kondisi air itu, konsekuensi dan dampak meminumnya akan dideritanya; akan macam-macamlah pandangan orang terhadapnya.  Bahkan, boleh jadi ada orang yang mengatakan bahwa ia gila,  sebab meyakini keadaan air mendidih dengan segala akibatnya tetapi masih melanggar apa yang diyakininya itu. Inilah suatu gambaran dalam kehidupan bahwa orang yang "normal" akan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya.  Bila tidak, barangkali orang akan menyebutnya sebagai mahluk aneh.
            Aqidah, seperti telah disebutkan, merupakan keyakinan dengan penuh kepastian dan ketegasan yang sesuai dengan kenyataan serta digali dari dalil-dalil yang pasti.  Dengan demikian, sudah semestinya seseorang yang menganut aqidah Islamiyah akan senantiasa berbuat dan bersikap sesuai dengan aqidah yang diyakininya itu.  Jika tidak demikian, maka tidak beda halnya dengan orang yang meyakini realitas air mendidih dan akibat yang ditimbulkan bagi orang yang meminumnya tetapi ia tetap juga melakukannya, akhirnya ia merasakan akibat yang sudah diketahuinya akan terjadi seperti dalam ilustrasi di atas.
            Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apa konsekuensi-otomatis-logis bagi seseorang yang telah menganut aqidah Islamiyah? Ada beberapa hal utama yang penting didarahdagingkan dalam diri muslim yang telah menganut aqidah islamiyah, diantaraanya :

·         Menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dan asas berpikir (qo'idah fikriyah).
            Aqidah Islamiyah merupakan landasan dan asas berpikir bermakna bahwa seluruh pemikiran, ide-ide, dan konsepsi tentang segala perkara harus lahir dari aqidah Islamiyah. Di samping itu, tolok ukur untuk menilai apakah suatu konsepsi itu benar atau salah adalah aqidah Islamiyah. Konsepsi yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah pasti konsepsi itu keliru, sebaliknya konsepsi yang sesuai dengan aqidah Islamiyah itulah yang tepat.  Sebagai contoh; ketika seseorang membaca tulisan, pemberitaan, dan propaganda tentang demokrasi; ia tidak serta merta menerimanya.  Sebaliknya, seorang muslim akan mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya hakikat demokrasi yang berintikan kedaulatan di tangan rakyat yang ddiwakili oleh wakilnya. Dengan kata lain, menurut kaca mata demokrasi rakyatlah melalui wakilnya yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, serta yang berhak menyatakan mana yang benar mana yang salah.  Lalu, ia mempelajari konsepsi Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah tentang hal ini.  Ditemukannyalah bahwa dalam pandangan aqidah Islamiyah yang berhak menentukan halal-haramnya sesuatu dan benar-salahnya sesuatu adalah Allah SWT yang menjelaskannya di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, bukannya manusia baik rakyat ataupun pemegang kekuasaan.  Dengan demikian, ia akan menyatakan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam. Demikian pula terhadap perkara-perkara lain seperti emansipasi, nasionalisme, PBB, pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya, semuanya ddistandarisasi dan digali dari aturan-aturan yang lahir dari aqidah islamiyah. Seorang muslim yang senantiasa menilai segala perkara dengan landasan aqidah Islamiyah dikatakan telah menjadikan aqidah Islamiyah tersebut sebagai qoidah fikriyah.
            Banyak sekali teks-teks Al-Quran yang memerintahkan kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya. Salah satunya adalah firman Allah SWT di dalam surat Ibrahim ayat 24 dan 25 yang maknanya sebagai berikut :

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Aallah SWT telah membuat perumpamaan kalimaat yang baik (kalimah thoyyibah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya tiap musim dengan seizin Robb-nya.  Allahh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat."
            Kata kalimah thoyyibah dalam ayat tadi dimaknai oleh mayoritas ahli tafsir sebagai aqidah Islamiyah. Ibnu Abbas mengatakan "kalimah thoyyibah adalah la ilahha illallah", sedangkan Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan:"Kalimah thoyyibah adalah Iman/aqidah islamiyah." (Lihat Al-Jami' li ahkamil Quran, IX, hal. 359). Jelaslah dalam ayat itu bahwa aqidah Islamiyah merupakan pangkal dari pemikiran-pemikiran Islam seperti halnya pangkal pohon yang menghasilkan buah sepanjang masa.
            Demikian pula, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada para sahabat bahwa landasan pemikiran itu adalah aqidah islamiyah. Pernah suatu ketika terjadi gerhana matahari bertepatan dengan wafatnya putra beliau yang masih kecil, Ibrahim. Orang-orang Arab waktu itu ramai bergunjing bahwa terjadinya gerhana itu akibat putra Rasul meninggal. Setelah perkatan mereka sampai pada Rasul Saw. beliau mengeluarkan statemen:

"Gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan dua diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan karena hidup atau matinya seseorang ..."

            Dalam kasus di atas nabi Saw. menghubungkan gerhana dengan aqidah islamiyah. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa aqidah islamiyah harus dijadikan sebagai landasan berpikir.




·         Menghambakan diri hanya kepada Allah SWT.
            Akar dari aqidah Islamiyah adalah La ilaha illallah, Muhammadu rasulullah.  Pernyataan la ilaha illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dalam kedudukan sebagai Pengatur, Pemelihara, dan Pencipta selain Allah SWT.  Di dalam kosa kata Arab Ilah artinya ma'bud, yakni yang disembah (yang diperhamba). Dan penghambaan ('ubudiyah) adalah ketundukan mutlak, pengakuan kelemahan yang total serta penyerahan segala pengaturan kepada yangg disembah (ma'bud). Dengan demikian, selain Allah SWT, baik berhala hidup atau mati, berbentuk manusia atau bukan, tidak berhak diperhamba karena mereka semua lemah, tidak mampu menciptakan sesuatu apapun. Firman Allah SWT :

"Itulah Allah SWT Rabb kalian, tidak ada sesembahan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Ia."(QS. Al-An'am : 102)

            Terma-terma 'ubudiyah dalam Al-Quran tidak semata bersifat kerohanian semata, melainkan berupa penghambaan total manusia kepada Allah SWT, ketundukaan menyeluruh dari manusia kepada Sang Pencipta dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim menjalani kehidupan ini diatur dan "disetir" oleh perintah dan larangan Allah SWT, baik dalam masalah pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun negara. Dengan demikian, di dalam kalimat La ilaha illah terkandung juga makna bahwa tidak ada yang berhak menetapkan peraturan (syara) selain Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ayat berikut:


"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.  Dia telah memerintaghkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.  Itulah agama yaang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Yusuf : 40)

"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah; kepada-Nyalah aku bertawakkal; dan hendaklah kepadanya bertawakkal orang-orang yang bertawakkal." (QS. Yusuf : 67)

"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)

·         Hanya mengikuti aturan yang berasal dari Muhammad SAW.
            Telah disebutkan bahwa hak menetapkan aturan yang harus diikuti seorang muslim hanyalah Allah SWT.  Dari pernyataan ini akan muncul pertanyaan "Darimana kita mengetahui hukum yang berasal dari Allah SWT?" Jawabannya terdapat di dalam pernyataan Muhammadu Rasulullah. Di dalam pernyataan tersebut terkandung makna bahwa syariat (aturan) yang diridhoi oleh Allah bagi manusia adalah aturan-aturan yang telah diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad SAW melalui wahyu, bukan yang diajarkan Plato, Voltaire, John Lock, J. J. Rousou, ataupun Marx.  Dengan demikian setelah turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW, orang yang betul-betul berkehendak mengesakan Allah SWT dalam penghambaan dan aturan sudah semestimya mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, sebab dialah yang membawa risalah dari Allah SWT Yang Maha Gagah untuk disampaikan kepada manusia yang memang serba lemah, serba kurang, dan serba butuh pengaturan dari Dzat Yang Maha Tahu. Jadi, orang yang menganut aqidah Islamiyah akan mengikuti hanya jalan dan aturan yang dibawa oleh Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.  Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat berikut :

"Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat ittu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."(QS. Al-Jatsiyah:18)

"Katakanlah : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni  dosa-dosamu.  Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Ali Imran : 31)

"Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai haakim (pemutus aturan) dalam perkara diantara mereka, lalu mereka tidak menemukan di dalam diri mereka sendiri suatu keberatan pun atas apa yang engkau putuskan, dan mereka berserah diri secara bulat"(QS. An-Nisa : 65)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf