Janjimu Seperti Janji Operator Seluler

Akh, afwan sebelumnya jika saya lancang menulis surat ini. Sudah hampir 1 tahun kita menjalani proses ta’aruf dan khitbah. Saya masih ingat bulan September tahun lalu, tepatnya tanggal 13, akhi menyatakan khitbah kepada saya, dan 1 minggu setelahnya saya memberikan jawaban.
Satu minggu setelah itu, Akhi berjanji datang ke kota orang tua saya untuk bertemu dengan mereka, tapi akhirnya janjimu batal, karena akhi masih ada ujian akhir semester. Setelah UAS selesai, akhi berjanji lagi untuk datang karena mumpung liburan kuliah, tapi janjimu batal lagi, karena akhi harus menemani adik mendaftar kuliah.
Stop, waktu itu saya bilang begitu kepada Akhi. Lebih baik tidak usah berjanji, kalau memang mau datang, langsung aja tidak usah pakai janji-janji lagi. Coba hingga hampir 1 tahun sekarang ini, akhi sudah berjanji berapa kali kepada saya untuk datang kepada orang tua saya? Saya menghitungnya, kalau saya tidak khilaf, akhi sudah berjanji 13 x. Ya, saya mencoba untuk bersabar, barangkali memang jalan untuk menuju hal yang baik buat saya harus dilalui seperti ini. Apalagi memang di awal saat saya menerima akhi juga dengan pertimbangan yang masak, sehingga bagi saya saat ini, mungkin akhi adalah yang terbaik yang dipilihkan oleh Allah untuk saya.
Malu dihadapan orang tua saya harus saya tanggung sendiri. Mereka pun berulang kali menanyakan tentang kedatangan akhi, saya pun harus membuat argument tersendiri agar mereka yakin, bahwa Akhi memang akan datang, tapi entah kapan.
Terakhir, lebaran Akhi berjanji datang ke rumah saya sekalian mengajak keluarga akhi juga. Tapi ternyata janji itu tak tertunaikan lagi dan menggantinya hanya via telepon kepada orang tua saya.
Akhi, afwan sepertinya janjimu seperti janji operator seluler. Seakan-akan meyakinkan, tapi selalu ada embel-embelnya “syarat dan ketentuan berlaku”. Akhi, seiring berjalannya usiaku afwan aku butuh kepastian. Jika janjimu sekarang saja seperti janji operator seluler, bagaimana jika kelak kita bersatu?
Tapi, aku jujur, janjimu adalah kerianganku, pelangi hatiku, yang membuatku yakin bahwa kamu akan menggenggam dunia untukku. Namun kadang aku pedih, saat tanpa kau sadari bahwa janji-janjimu itu seakan hanya ingin membuaiku untuk mengajakku pada kepalsuan syetan.
Aku tidak memungkiri bahwa aku bahagia saat kamu ungkapkan janjimu yang menggores sebagian hatiku. Bahkan aku pun tak tahu sampai kapan janjimu akan terus kamu hadirkan padaku sebelum akhirnya kamu tunaikan. Aku hanya takut kamu pergi sebelum tertunaikan.
Janjimu jangan seperti Janji operator seluler yang obral janji bakal ngasih diskon tapi dengan syarat harus nelpon atau sms sekian menit atau sekian kali sms. Janjimu jangan seperti janji operator seluler, yang membuat girang orang yang sudah dikasih janji. Ya, janjimu jangan jadi pemanis mungkin semanis tebu yang belum jadi gula, tapi gimana akhirnya?
Akhi, bukanku tak mau dengar janjimu lagi, tapi aku hanya tak sanggup mendengar tiap kali akhi ungkapkan kata-kata manis itu. Aku bukanlah wanita yang hanya ingin diperdengarkan kata manis. Baiknya, simpan janjimu sebelum kau halalkan aku.

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf