Insya Allah Kepompong Ramadhan (3)

Insya Allah Kepompong Ramadhan
(penggalan 3 dari 4 tulisan)
Episode I’tikaf II
Episode i’tikaf malam ke 25 super special bagi kepompong, karena dalam salah satu agenda acara yang telah disampaikan hari sebelumnya, bahwa shalat tarawih yang sebelumnya sudah dilaksanakan seusai sholat Isya, rencananya akan ditambah pada saat jadwal qiyamul lail. Istimewanya pada sholat tarawih sambungan itu, sudah diberitahukan kepada jamaah bahwa selama pelaksanaan tarawih akan dibaca 1 juz pada bacaan suratnya oleh Imam yang juga sekaligus hafiz quran. Subnallah, ini kesempatan langka yang tidak kepompong sia-siakan.
Pada sesion kajiannya membahas tentang menyikapi antara cobaan dengan malapetaka. Sebagai permualan perbandingan antara musibah dan malapetaka, coba kita simak firman Allah SWT, berikut ini:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum 40)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah 155-157)
Ayat yang pertama berbicara tentang malapetaka yang nyata disebabkan oleh tangan manusia (bima kasabat aidinass) karena perbuatan tangan manusia. Sedangkan ayat yang kedua berbicara tentang ujian atau cobaan dari Allah SWT.
Coba kita simak hadis berikut ini untuk lebih memahami yang namanya ujian atau cobaan. Saad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw., 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujian dan cobaannya?' Nabi saw. menjawab, 'Para nabi, kemudian yang menyerupai mereka, dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya tipis (lemah), dia diuji sesuai dengan itu (ringan); dan bila imannya kokoh, dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa'." (HR Bukhari)
Sesungguhnya ujian bagi seorang hamba itu berdasarkan agamanya. Jika agamanya kuat, ia akan diuji dengan ujian yang berat. Sebailknya, jika agamanya lemah, ia akan diuji dengan ujian yang ringan. Para rasul dan para nabi adalah orang-orang yang utama karena mereka mendapat ujian dari Allah sangat berat. Ujian yang mereka terima tidak akan sanggup dipikul oleh orang biasa (awam). Ketika berdakwah menyebarkan agama Islam, Rasululah saw. dituduh sebagai tukang sihir. Beliau difitnah dengan berbagai macam cara oleh orang-orang musrik kaum Quraisy. Orang-orang kafir membuat makar kepada Rasulullah, tetapi akhirnya Allah memenangkan agama Islam ini.   
Sedangkan, untuk perkara musibah atau malapetaka yang disebabkan oleh tangan manusia, layaknya kita simak hadis berikut ini:
Ada lima perkara (yang harus kalian waspadai)—aku berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian: 1. Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka. 2. Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan diazab dengan paceklik, kesusahan hidup dan kezaliman penguasa. 3. Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat, melainkan mereka akan dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan itu tidak akan diturunkan. 4. Tidaklah para pemimpin mereka melanggar penjanjian Allah dan Rasul-Nya, kecuali Alah akan menjadikan musuh menguasai mereka, lalu merampas sebagian yang ada dari apa yang ada di tangan mereka. 5. Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka (HR Ibnu Majah).
Peringatan Baginda Nabi saw. ini semestinya menjadikan kita khawatir dan takut. Karena itu, kelima perkara yang diisyaratkan dalam hadis ini wajib harus dihindari. Perzinaan harus segera diberantas sampai ke akar-akarnya (bukan malah dilokalisasi dan dipelihara); ekonomi curang harus segera ditinggalkan (termasuk segala transaksi yang didasarkan pada ekonomi kapitalis seperti perbankan ribawi, bursa saham dan valas, utang luar negeri, privatisasi BUMN, dll); zakat harus segera ditunaikan; perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya tidak boleh dilanggar; dan hukum-hukum Allah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah harus segera diterapkan oleh negara. Jika tidak, berarti kita sedang menantang datangnya musibah yang lebih dahsyat, sebagaimana diisyaratkan Baginda Nabi saw. di atas. Jika demikian, betapa sombong dan bodohnya kita.
Sahabat, dengan memahami secara benar antara ujian/cobaan dengan musibah/ malapetaka, maka akan melahirkan penyikapan yang tepat. Kebanyakan dari kita menyangka bahwa semua yang menimpa kita adalah ujian/cobaan. Jadi kemiskinan yang menimpa negeri ini misalnya, dianggapnya sebagai ujian/cobaan, sehingga karena hanya ujian cobaan, maka sikap yang diambil kebanyakan dari kita hanya mengucapkan kalimat istirja’ “innalillahi wa innaillahi roji’un” dan sabar. Padahal yang namanya kemiskinan dan sejenisnya lebih disebabkan oleh “tangan” manusia, dalam hal ini penguasa yang disebut dengan kemiskinan structural. Bagaimana tidak dikatakan ada “tangan” manusia pada masalah kemiskinan, jikalau penguasa membiarkan kekayaan negeri ini yang harusnya dinikmati oleh rakyat sendiri, tapi dijual oleh pemerintah kepada asing dengan alasan PMA. Atau pemerintah mulai abai alias cuci tangan pelayanannya kepada rakyat, dengan menyerahkan urusan sekolah, kesehatan dan juga keamanan kepada publik atau masyarakat sendiri. Urusan kebutuhan pokok rakyat, mulai di swastanisasi atau komersialisasi, seperti Listrik, BBM dan sebagainya.
Sekali lagi, penyikapan terhadap musibah atau malapetaka yang tepat itu lahir dari pemahaman yang benar tentang apa itu musibah (QS Ar Rum 41), yang ternyata berbeda dengan cobaan/ujian (QS Al Baqarah 155-157). Sehingga untuk menyikapi musibah atau malapetaka, kita tidak cukup hanya bersabar dan menunggu Allah mendatangkan pertolongannya, melainkan kita harus melakukan sebuah “action”. Apa bentuk aksi itu? Tentu saja, karena sebagian manusia telah berbuat “kerusakan”, maka sebagai aksi lawannya adalah melakukan “perbaikan”. Dan metode untuk melakukan perbaikan telah dicontohkan oleh Rasulullah, yakni berupa “dakwah”. Pertanyaan berikutnya, dakwah seperti apa? Ya, berarti memang tidak dakwah sekedar berdakwah, alias perbaikan tidak sekedar perbaikan, melainkan dakwah yang “merubah” yakni dakwah revolutif yang menyentuh akar pokok persoalan dan menuntaskan problem utama umat.
Subhanallah, I’tikaf malam itu memang anugerah terindah bagi si kepompong, selain pikirannya lebih tercerahkan, juga dirinya lebih memahami dalam menyeimbangkan antara ujian yang menimpanya dengan musibah yang menimpa masyarakat, yang memang harus disikapi dengan dakwah. Ya, spirit dakwah tercharger full malam itu. Alhamdulillah, siap memfolow-up-i mad’u dakwah dari 3 sekolahan pasca Sanlat. Bismillah.

Episode I’tikaf III
Setiap malam ganjil memang tidak terlewatkan bagi kepompong untuk hadir di masjid tersebut. Malam 27 itu merupakan malam terakhir dirinya I’tikaf di masjid tersebut, karena esoknya kepompong harus mudik, menemui keluarga tercintanya. Malam istimewa itu, jadwalnya adalah dzikir bersama dan baru dilanjutkan dengan kajian. Dzikirnya baru dimulai pukul 22.00 WIB karena sebelumnya ada sholat tarawih istimewa malam itu, seperti hari sebelumnya dibacakan 1 juz al-quran. Dan kajiannya dilaksanakan seusai dzikir bersama, sekitar pukul 01.00 dini hari.
Pada penggalan acara dzikir, tentu saja kekhusyuan membersamai para peserta. Tak Nampak satu mata pun di malam itu yang tak meneteskan air mata dengan deras. Kalimat istigfar mengantarkan kita untuk mengingat semua dosa kita, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Yang besar maupun kecil, yang kita lakukan sendiri maupun secara bersama. Kita munajat kepada Allah di malam yang mulia itu, mengampuninya dan menghapusnya.
Dzikir tasbih, mengajak kita untuk menyucikan Allah yang selama ini barangkali kita kotori dengan niat tidak ikhlas kita dalam berbuat. Kita mohon Allah menerima kalimat tasbih kita, dengan diampuni segala khilaf kita dalam berniat. Dzikir tahmid, menegur kita agar kita ingat atas setiap nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita, baik yang kita minta maupun yang tidak kita minta, baik yang besar maupun kecil, baik nikmat yang malam itu diingat atapun yang sudah terlupa, baik yang telah dianugerahkan oleh Allah mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, mulai dari kita lahir, hingga kita kelak mati. Baik nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita sendiri, maupun kepada keluarga dan orang-orang terdekat kita. Dzikir kalimat takbir, mengantarkan kita untuk sadar bahwa kita kecil dan hanya Allah yang besar. Kita tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Allah, ibarat sebutir pasir di pantai diantara jutaan butir pasir yang lain.
Begitulah, kalimat-kalimat dzikir membasahi bibir kami malam itu, disambut dengan derasnya air mata. Tentu saja, disertai komitmen bagi setiap dari kita, untuk tidak melakukan dosa, kesalahan, kemaksiatan, penyimpangan baru dan juga semangat untuk berdakwah lebih giat. Apalagi setelah kegiatan dzikir di sesi kajian disampaikan materi tentang Nasrullah dan Bisyaroh. Berikut petikan resumenya yang ingin kepompong bagi kepada sahabat sekalian;
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah 214).
Allah Swt. berfirman: Am hasibtum an tadkhulû al-jannah (Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga). Menurut beberapa mufassir, huruf am itu munqathi‘ah (tidak bersambung dengan kata atau kalimat sebelumnya). Lebih lanjut, al-Ajili mengurai bahwa huruf am bermakna: bal dan al-hamzah. Kata bal untuk menunjukkan terjadinya perpindahan dari suatu kalimat ke kalimat lain, sementara huruf hamzah al-istifhâm memberikan makna li al-inkâr wa tawbîkh (pengingkaran dan teguran). Artinya, tidak sepatutnya kalian memiliki perkiraan atau anggapan demikian. Teguran tersebut berguna untuk melecut dan mendorong semangat mereka agar tetap bersabar.
Agar bisa sukses menghadapi berbagai ujian tersebut, penghayatan terhadap ayat ini menjadi amat penting. Menurut ayat ini, setidaknya ada dua keuntungan besar yang dapat dipetik ketika seseorang tetap tegar, sabar, dan istiqamah dalam menghadapi berbagai ujian keimanan. Pertama; bisa masuk surga. Jika ayat ini menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang yang mengira masuk surga sementara mereka belum terbukti dapat bersabar dan tetap istiqamah dalam keimanan tatkala menghadapi cobaan berat seperti yang dialami Rasul dan kaum beriman terdahulu, maka ayat ini bisa dipahami sebaliknya (mafhûm mukhâlafah). Artinya, jika mereka mampu bersabar dan tetap istiqamah dalam situasi apa pun, mereka boleh berharap dan merasa yakin bisa masuk surga.
Dengan harapan dan keyakinan tersebut, seseorang bisa terlecut semangatnya untuk bersabar dan kuat menahan berbagai beban penderitaan yang dihadapinya, betapapun berat penderitaan itu. Sebab, sebagaimana telah dimaklumi, surga adalah sebaik-baik tempat kembali. Di sana terdapat aneka kenikmatan tak terkira. Semua perkara yang diinginkan hati dan sedap dipandang mata dapat dinikmati di sana (QS al-Zukhruf 71).
Al-Quran banyak mengisahkan kaum yang sukses melewati cobaan saat mereka memiliki keyakinan tersebut. Demikian juga para sahabat Nabi saw. Mereka mampu bersabar menghadapi berbagai upaya jahat kaum musyrik. Keluarga Yasir, misalnya, mampu bersabar meskipun menerima siksaan di luar batas kemanusiaan. Sikapnya makin kukuh ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: Shabr[an] âla Yâsir, fainna maw’idakum al-jannah. (Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya yang dijanjikan kepada kalian adalah surga). Sumayyah—istri Yasir—pun menyahuti dengan penuh kayakinan, “Innî arâhâ zhâhirat[an], yâ Rasûlullah,” (Sesungguhnya aku telah melihatnya secara jelas, wahai Rasulullah).
Kedua: mendapatkan pertolongan Allah Swt. dalam waktu dekat. Ayat ini memberikan kabar gembira kepada Rasul dan kaum Mukmin yang mengalami penderitaan hingga mencapai puncaknya berupa dekatnya pertolongan Allah Swt. Kejadian serupa juga dapat mereka alami. Tatkala ujian penderitaan yang mereka hadapi sampai pada klimaksnya, itu menjadi pertanda pertolongan-Nya segera tiba. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya para saksi (Hari Kiamat). (QS Ghafir 51).
Keyakinan dan harapan akan dekatnya pertolongan Allah Swt. ini juga bisa membuat seseorang menjadi kian tegar dan tabah menghadapi berbagai ujian. Siapa yang tidak bergembira ketika penderitaannya segera berlalu dan kebenaran segera menang? Al-Quran pun menyebut pertolongan Allah Swt. dan kemenangan yang dekat sebagai perkara yang dicintai manusia (QS ash-Shaff 13).
Pertolongan hanya di tangan Allah Swt.; tidak akan datang kecuali dari-Nya (QS Ali Imran 126, al-Mulk 20, al-Kahfi 43). Ditegaskan pula, siapa yang ditolong Allah Swt., tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebaliknya, jika Allah Swt. membiarkannya, tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya (QS Ali Imran 160).
Dengan demikian, pertolongan Allah Swt. merupakan anugerah tak terkira. Tentu lebih membahagiakan jika anugerah itu segera tiba. Andai pertolongan yang dinantikan itu belum juga datang, mereka bisa melakukan evaluasi diri, apakah usaha yang mereka lakukan belum serius atau penderitaan yang mereka alami belum mencapai puncaknya.
Kita meyakini tanpa keraguan sedikit pun bahwa segala keberhasilan dan kemenangan semata karena pertolongan Allah Swt. Jika Allah menurunkan pertolongan-Nya, tak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Demikian pula jika Allah Swt mencabut pertolongan-Nya, tak ada seorang yang bisa mencegahnya. Ini berarti, untuk memperoleh keberhasilan dan kemenangan, mutlak dibutuhkan pertolongan Allah. Dan untuk mendapatkan pertolongan-Nya, tak usah kebingungan. Sebab, Allah Swt telah menjelaskan langkah yang harus kita tempuh. Langkah yang harus tempuh adalah menolong agama-Nya sebagaimana ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS Muhammad 7).
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS al-Hajj 40).
Pengertian ‘menolong Allah’, bukanlah bermakna hakiki. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth bahwa ungkapan tersebut bermakna menolong agama-Nya. Syekh Abdurrahman al-Sa’di dalam Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân menjelaskan bahwa amaliyyah praktis ‘menolong Allah’ adalah dengan melaksanakan agama-Nya, berdakwah kepadanya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya, yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah Swt. Ustadz Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam Haml al-Da’wah Wâjibât wa Shifât juga menegaskan bahwa ungkapan ‘menolong Allah’ itu meliputi: mengimani syariah yang dibawa Rasul, berpegang teguh dengan hukum-hukum dibawa, mentaati perintah, dan menjauhi larangannya.
Dari semua penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘menolong Allah’ itu adalah bertakwa kepada-Nya. Yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, dan disempurnakan lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah. Rasulullah saw bersabda:
Seorang hamba tidak sampai menjadi muttaqin hingga meninggalkan apa yang sebenarnya boleh karena khawatir terjatuh pada apa yang tidak boleh (HR al-Tirmidzi).
Takwa inilah yang harus kita kerjakan jika kita ingin mendapatkan pertolongan Allah. Dengan ketakwaan inilah kita dapat menghancurkan makar kaum kafir yang menghalangi dakwah. Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata:
Jika kita tidak mengalahkan musuh kita dengan ketaatan kita (kepada Allah), niscaya musuh akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.
Salah satu panglima dalam Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah juga pernah mengatakan: Kita memerangi manusia bukan dengan jumlah, kekuatan, dan pasukan yang banyak. Namun kita memerangi mereka dengan agama ini, yang dengan agama inilah Allah memuliakan kita (HR Ibnu Ishaq).    
Berharap, dengan puasa yang ikhlas dan benar, ditambah dengan berbagai aktivitas berbagai ibadah nafilah di bulan Ramadhan, dan peningkatan aktivitas dakwah yang kita lakukan, membuat kita tercatat sebagai hamba-Nya yang muttaqin, sehingga Allah Swt pun memberikan pertolongan-Nya kepada kita. Berbagai kemudahan kita dapatkan dalam dakwah menegakkan syariah dan khilafah.
Sahabat, yuk kita tingkatkan semangat untuk melakukan aktivitas dakwah, menggencarkan aktivitas rekrutmen, dan membangun opini syariah dan khilafah di tengah-tengah masyarakat. Insya Allah, dengan kesungguhan, keseriusan, kesabaran, dan keikhlasan kita dalam menolong agama-Nya, Allah Swt berkenan memberikan pertolongan-Nya kepada kita. Kita tinggalkan egoisme kita, tinggalkan rasa sakit hati kita karena seseorang, karena sesungguhnya yang punya surga dan bisa memberi pahala hanya Allah Swt., maka berharap dan bersandarlah hanya kepada Allah SWT.

… bersambung (episode mudik, episode lebaran…)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf