Fikih Cinta Keluarga Samara

Cinta Sebagai Fitrah Manusiawi

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (١٤)

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron 14)
Cinta lahir bersamaan lahirnya manusia. Cinta bapak Adam kepada Ibu Hawa, adalah contoh nyata dari itu semua. Adanya naluri cinta (gharizatu nau), bukanlah penyebab rusak atau beradabnya manusia. Karena keberadaannya sebagai fitrah ciptaan semenjak manusia lahir, tidak bisa diposisikan sebagai ‘terdakwa’ dalam banyak kasus seperti perceraian, percekcokan, perselingkuhan, dll.
Jika terjadi berbagai kasus diatas, lebih karena manusia kurang bisa memanjamen (fikih) cinta itu sendiri. Apalagi menjauhkan pembahasan cinta dari syariat (Islam), jelas akan menjerembabkan manusia pada jurang kenistaan yang lebih dalam. Untuk itu, ada 2 (dua) hal yang perlu digarisbawahi sebelum kita lebih jauh membahas masalah fikih cinta untuk keluarga Samara. Pertama: kita harus sepakat bahwa adanya “cinta” pada diri manusia bukan atau tidak bisa disalahkan. Tapi kitalah (manusia) yang akan membawa kemana cinta itu akan dilabuhkan, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh untuk itu di nanti di yaumil akhir. Kedua: kita harus sepakat bahwa untuk menentukan posisi, kategori, skala benar dan salah dalam cinta, kita sepakat menggunakan Islam sebagai satu-satunya parameter (miqiyas).

Prioritas Cinta Dalam Keluarga
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٢٤)

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah 24)
Menempatkan posisi Allah dan RasulNya di posisi wahid berarti menegaskan pada point kedua diatas, bahwa memang sebagai muslim dalam beraktivitas (termasuk mengejawantahkan cinta) maka standar/ parameter yang harus kita pakai dari Allah dan RasulNya (Al-Quran dan Al Hadits).
Sudah banyak fakta di masyarakat ketika Islam tidak dijadikan aturan, yang namanya kerusakan, kebejatan, dan krisis multidimensi melanda kita. Contohnya dalam masalah cinta (gharizah nau’), banyak remaja gandrung dengan yang namanya pacaran. Padahal akibat dari perilaku pacaran itu sudah jelas, kalau tidak keperawanan yang hilang, hamil diluar nikah, aborsi, dll.
Sementara dari mereka yang sudah berkeluarga. Para suami ketika mewujudkan gharizah an nau’, ketika Islam tidak dijadikannya sebagai aturan bagi tingkah laku dirinya dan juga aturan masyarakat apalagi negara. Maka apa yang terjadi? Para suami yang tidak “puas” atau ada problem dengan istrinya, dia akan lari kepelukan wanita lain (WIL), atau jajan wanita (WTS) di ladang prostitusi karena negara memfasilitasi hal itu.
Itulah akibat serius, jika kita tidak segera bertobat dan menempatkan prioritas cinta nomor wahid kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada yang lain.

Skala Prioritas Menikah
Jika kita sudah sepakat dengan point diatas. Berikutnya, sebagai langkah awal, ketika kita hendak menjajagi dunia baru yang bernama pernikahan, maka kita perlu membuat skala prioritas. Jangan sampai kita hendak menikah, hanya karena gara-gara di provokasi oleh teman-teman kita, atau hanya karena pengin saja (baca: nafsu) karena teman-teman sebayanya sudah menikah, atau malah kita mau menikah hanya dengan modal nekad.
Jika kita cermati, dalam berbagai kesempatan (hadits) Rasul mendorong kaum muslimin untuk menikah, sabda beliau Saw:
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits Rasulullah yang lain, menyatakan:
“Pernikahan adalah bagian dari sunahku, maka siapa saja yang tidak beramal sesuai dengan sunahku, maka ia bukan bagian dariku, dan sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain, dan siapa saja yang memiliki bekal maka hendaklah ia menikah, dan siapa yang tidak mendapati bekal, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR Ibn Majah).
Perintah Rasulullah dalam berbagai hadits tentang dorongan menikah, disepakati oleh mayoritas para fukaha bahwa hukum menikah asalnya adalah mandub/ sunnah, bukan bermakna wajib. Terbukti dalam as-sunah, beliau Saw membiarkan ada beberapa sahabat yang tidak menikah.
Namun kondisi tertentu ada yang membuat hukum asal menikah itu menjadi berubah. Berubahnya hukum menikah bukan berarti sekonyong-konyong hukum bisa bergonta-ganti atau berubah-ubah, tapi perubaan itu semata-mata memang Asy-syari’ menghendaki perubahan itu. Untuk itu, kita akan mengutip apa yang disampaikan oleh Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah (juz 2 hal. 12-15, Darul Fikri, tahun 1412 H/1992 M), tentang hukum-hukum (prioritas) menikah, diantaranya:
1. HUKUMNYA HARAM. Jika kita tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Sementara nafsu dan jiwa dari kedua belah pihak sudah menggelora. Alias hanya dilandasi nafsu saja.
2. HUKUMNYA MAKRUH. Apabila kondisi kita tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Dan nafsu dan jiwa kita sudah menggelora. Tapi pihak si wanita menerima kondisi ini.
3. HUKUMNYA SUNNAT. Jika kondisi kita telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis.  Nafsu dan jiwa kita telah menggelora. Serta tidak ada kekhawatiran dalam diri kita (atau merasa aman) dari perzinaan.
4. HUKUMNYA WAJIB. Jikalau kita telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Nafsu dan jiwa kita telah menggelora. Dan kita merasa terancam atau khawatir terjerumus dalam perzinahan.
5. HUKUMNYA MUBAH ATAU JAIZ ATAU BOLEH. Maksudnya, jika kondisi kita biasa-biasa saja, tidak ada kondisi yang mewajibkan atau mensunnatkan, dan tidak ada pula kondisi yang mengharamkan atau memakruhkan.
Dari kelima pertimbangan diatas, kita termasuk yang mana, kita lah yang paling tahu. Pertimbangkan dengan bijak dan sempurna, tidak usah tergesa-gesa. Jika memang kita masih dalam posisi Haram maupun Makruh, maka segera luruskan niat, perbaiki diri, perbanyak puasa, taqarub kepada Allah, dan pelajari Islam lebih dalam. Jika kamu masih dalam posisi Mubah, maka tidak usah terlalu cepat ambil kesimpulan, coba disiapkan dengan benar, hingga kita berada pada posisi yang Sunnah atau bahkan Wajib.
Mengetahui hukum menikah ini akan bisa memberikan penjelasan kepada kita, kapan saatnya seseorang meminang atau menerima pinangan. Bagi mereka yang sudah wajib untuk menikah, ia akan bisa menikah jika sebelumnya telah meminang (mengkhitbah) seorang wanita.

Makna “mampu (al-ba’ah)” dalam menikah
Dalam hadits diatas, Rasul memerintahkan para pemuda yang mampu (ba’ah) agar menikah. Artinya, bagi para pemuda sudah mampu untuk ba’ah, maka saat itulah saat yang tepat baginya untuk meminang (khitbah).
Adapun maksud kata ba’ah dalam hadits di atas, dalam buku Risalah Khitbah-nya Yahya Abdurrahman menjelaskan bahwa para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat. Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian.
Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yang mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka baginya hendaklah berpuasa.
Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi—dalam Syarh Sahih Muslim, ix/173—ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
As-Suyuthi –dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-nasa’i, iv/171- juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa tidak dapat dihindari bahwa kata mampu dalam hadits diatas adalah berbeda. Maksud kata mampu yang pertama adalah siapa di antara kalian yang mampu jimak (bersetubuh) –telah baligh dan mampu bersetubuh—hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yang kedua –“siapa saja yang tidak mampu”—yakni tidak mampu menikah (tapi mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”.
Asy-Sywkani –dalam Nayl Al-Awthar, vi/229—juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua –“siapa yang tidak mampu menikah”—adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa.
Sementara dalam hadits lain yang redaksinya kurang lebih sama, yang diriwayatkan an-Nasa’i, Ahmad, al-Bazar, dan riwayat ath-Thabrani, Rasul mendorong siapa saja yang mampu menyiapkan atau yang memiliki thawl agar menikah. As-Sinadi—dalam Nurudin Abdul Hadi Abu al-Hasan as-Sinadi, Hasyiyah as-sinadi, vi/57 menjelaskan bahwa at-thawl maknanya adalah kemampuan untuk membayar mahar dan kemampuan untuk menunaikan nafkah.
Makna “mampu menafkahi” ini sejalan atau memperkuat makna al-ba’ah sebagai beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw memerintahkan kepada siapa saja yang memiliki kesanggupan untuk menikah dan memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah. Atau siapa saja yang memiliki rasa percaya diri atau memiliki dugaan kuat bahwa dirinya mampu memikul tanggung jawab pernikahan maka hendaknya ia menikah.
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa kesiapan itu adalah jika siap secara materi. Artinya ia sudah memiliki materi utk membiayai pernikahannya dan sudah memiliki pekerjaan yang mantap. Orang yang memiliki anggapan demikian, hanya akan menikah kalau merasa sudah cukup secara materi. Anggapan mengenai kecukupan materi seperti itu memang baik. Yang kurang tepat adalah penempatannya. Yaitu bahwa jika belum memiliki pekerjaan yang mapan, belum punya ini dan itu, lalu tidak menikah. Ini adalah penempatan yang kurang tepat. Memang akan sangat baik jika seseorang ketika menikah memiliki persiapan materi yang cukup, sudah punya pekerjaan atau sumber penghasilan yang mapan. Namun tidak harus seperti itu.
Dalil-dalil yang ada juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesiapan untuk menikah bukanlah demikian. Bukan berarti seseorang itu harus memiliki persiapan materi yang cukup. Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, atau kalaupun ada, jumlah atau nilainya sangat kecil. Tidak ada atau sangat sedikitnya harta yang dijadikan mahar oleh para sahabat mengindikasikan bahwa para sahabat memang tidak memiliki harta (yang berlebih). Sekalipun demikian, para sahabat tetap dianjurkan menikah dan dibolehkan menikah. Dengan demikian, kesiapan yang dimaksud bukan berarti harus kesiapan materi atau harta yang cukup.
Kesiapan yang harus dimiliki seseorang adalah kesiapan mental dan ruhiyah untuk menanggung beban dan tanggung jawab pernikahan. Artinya secara mental, ia sudah siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala konsekuensinya. Lalu bagaimana kita bisa mengenali seseorang telah mampu atau siap untuk menikah?
Kita hanya akan dapat mengenali dan mengetahui yang zahir saja. Sementara kesiapan mental lebih bersifat batin ada di dalam hati. Jika kita melihat secara zahir telah siap yakni dari penampakan kesiapan yang bersifat lahiriah, seperti kesiapan materi dan nafkah serta kesiapan lahiriah lainnya, maka dari sini kita bisa katakan bahwa seseorang itu telah siap nikah. Selanjutnya, kita perlu mengenali kesiapan mental dan ruhiyahnya. Hal itu bisa kita analisa dari penampakan lahiriahnya. Misalnya dari segi kedewasaan dan kematangan berpikirnya.
Ketika ingin menikah yang muncul bukan hanya sekedar “ingin” tapi keinginan kuat (azam) untuk menikah. Karena azam menurut al Jurjani—dalam at-Ta’rifat, ed Ibrahim al-Abyari, i/30—adalah keinginan yang tegas tanpa ada keraguan. Jadi seseorang harus sudah memiliki azam untuk menikah, barulah ia melakukan proses khitbah.

Memilih Pasangan dengan Pilihan Cinta
Karena kita sudah sepakat bahwa hanya menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pegangan kita, yang itu merupakan bukti cinta kita kepada Allah, maka sebelum kita berbicara lebih jauh tentang pilih-memilih pasangan hidup, harus dipastikan bahwa orang yang akan dipilih adalah bukan termasuk orang yang haram dinikahi. Untuk wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki digolongkan menjadi dua kelompok besar yakni, (1) wanita yang haram dinikahi selamanya; (2) wanita yang haram dinikahi untuk sementara/tidak selamanya.
Wanita yang haram dinikahi selamanya, diantaranya adalah: wanita yang satu nasab, satu susuan, dan ada ikatan perkawinan. Misalnya menikahi ibunya, putrinya, saudara perempuannya, bibinya dari bapak, bibinya dari ibu, putri-putri dari saudara laki-lakinya, putri-putri saudara perempuannya, dan ibu mertua, dan seterusnya. Yang termasuk dilarang dinikahi dalam golongan ini adalah, istrinya bapak (ibu tiri), serta istrinya kakek (nenek tiri), dan seterusnya.
Sedangkan wanita yang haram dinikahi untuk sementara waktu, diantaranya saudara perempuan istri (ipar), bibi dari istri, wanita yang sudah diceraikan suaminya dan sudah menyelesaikan masa iddahnya, wanita yang telah ditalak tiga (ba’in) sehingga dia dinikahi oleh laki-laki lain kemudian bercerai/meninggal, dan telah selesai massa iddahnya.
Setelah hal-hal diatas sudah dipertimbangkan dengan baik, maka berikutnya dalam memilih calon istri atau calon suami, pertimbangkan dengan faktor “aku” dan faktor “dia”. Maksud dari faktor aku adalah, faktor yang akan memilih. Sedangkan faktor dia adalah faktor yang akan dipilih. Sebenarnya faktor memilih itu secara garis besar ada dua:
1.  Pilih yang shalih-shalihah
Untuk yang laki-laki: Abdullah bin Amr berkata bahwa Rasulullah saw suatu saat bersabda:
Dunia ini sesungguhnya merupakan kesenangan dan kesenangan dunia yang paling baik adalah seorang wanita yang shalih” (HR Ibnu Majah)
Untuk yang perempuan: “Apabila datang kepadamu seorang laki-laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Jika kamu tidak melakukan demikian, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar” (HR. Tirmidzi).
2.  Pilih karena agama
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena  agamanya. Tetapi hendaklah kamu memilih wanita yang beragama. Camkanlah hal ini olehmu.”  (HR. Jama’ah kecuali Tirmizi)
Jika pilihan kita diluar apa yang telah disebutkan diatas, maka pilihan kita memilih pasangan bukan berdasarkan cinta, melainkan selain cinta, bisa jadi adalah nafsu. Hati-hatilah.
Adapun tentang pilhan “pilih yang perawan daripada janda”, “berasal dari keturunan yang subur”, maka pilihan ini bisa kita tambahkan saja, bukan sebagai pilihan keutamaan. 
(Penggalan dari buku Fikih Cinta Keluarga Samara, Karya Luky B Rouf)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf