PENDIDIKAN IDEAL ; Antara Fakta dan Cita

Silang pendapat seputar pendidikan ideal masih terus mengucur dan di seminarkan di berbagai tempat, mulai dari masalah kurikulum sampai masalah sisitem pendidikan. Pro dan kontra semakin marak, sebagian mengatakan bahwa saat ini pendidikan telah final dan ideal, sementara yang lain menyanggah bahwa masih perempat final dan jauh dari makna ideal. Para pelajar yang mulai berfikir kritis ikut bertanya, kemana mereka akan di bawa ?

 Fakta Berbicara

           Tanpa rasa sungkan, perlu diungkapkan bahwa dunia pendidikan menyimpan banyak potret buram yang dilakonkan oleh para pelajar sendiri. Banyak yang menggambarkan prototype khas pelajar sekarang adalah rambut awut-awutan, seragam butek tak terawat, tak pernah lepas dari rokok, yang laki menancapkan anting di kuping sebelah, aksi corat-coret menjadi semacam seni yang dianggap sah saja di kalangan mereka, tawuran, ngompas dan masih banyak lagi.
            Sementara di sisi lain ada orang tua karena ketidakmampuan ekonominya, membiyai uang gedung, sumbangan ujian, dan sumbangan ilegal lainya, tengah mengais-ais rupiah di traffic light sambil menggendong anaknya yang paling kecil. Memohon belas kasihan para pemakai jalan, agar melemparkan sedikit keberuntungannya kepada mereka. Tak cukup itu, anak usia sekolah pun diajaknya mencari uang di pinggiran jalan, dengan berbekal alat musik seadanya. Anak yang seharusnya belum waktunya memikirkan bagaimana susahnya mencari rupiah yang selalu terhimpit dengan dolar itu, kini harus memelas kepada orang yang merasa iba kepadanya.
            Sehingga karena ketidakmampuan itu, mereka frustasi dan lebih memilih untuk drop ut dari sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Karena di benak mereka juga masih tersimpan pertanyaan pokok yang senantiasa menggelayutinya “apakah dengan sekolah yang lebih tinggi, aku akan dapat kehidupan yang lebih baik”. Maka bertambahlah deretan jumlah penganggur di negeri ini. Memang, sekolah berdiri bukan untuk menciptakan pengangguran, tapi salah siapakah kalau mereka yang tidak mampu meneruskan sekolah atau para alumni itu tidak terampil dan tidak bisa mendapat pekerjaan?
            Trend penggangguran berdasarkan pendidikan yang ada di data Biro Pusat Statistik, menyebutkan tahun 1998 saja sudah ada pengangguran 2,7% dari lulusan SD, lulusan SMP umum 7,5%, lulusan SMP kejuruan 7,4%, SMA Umum 15,3%, SMA kejuruan 13,3% dan lulusan PT ada 12,2% penganguran. Pertanyaan selanjutnya ialah apa yang bisa dilakukan oleh penganggur yang terhimpit problem ekonomi? Maka kriminalitas adalah alternatif jawabanya.
            Peristiwa atau kenakalan remaja khususnya pelajar bukan sekedar keisengan saja tapi sudah masuk anomitas (penyimpangan) yang sangat serius. Bahkan sebagian orang mengasumsi bahwa permasalahan remaja dan pelajar sekarang ini sudah menjadi national education issues, sebagai potret buram pendidikan nasional.
            Harian Kompas edisi Maret 2001 menyebutkan bahwa pengkonsumsi atau tersangka kasus narkoba tahun 2000 yang menduduki peringkat atas adalah pengangguran yaitu dengan angka 1.756 tersangka, tidak disebutkan apakah pengangguran itu dari lulusan, drop ut atau memang “pengangguran teladan” alias tidak sekolah. Kemudian menyusul peringkat dibawahnya pekerja swasta 1.268 orang, wiraswasta ada 699 orang, buruh ada 569 orang, mahasiswa ada 260 orang, pelajar sendiri mengkoleksi angka 206 tersangka. Angka tersebut tidak akan bertambah dengan sendirinya, tapi sekali lagi pendidikan titik tolaknya. Kemudian kalau diselipkan pertanyaan kepada para pengkonsumsi narkoba itu, apakah mereka tidak pernah “makan” sekolah?.
            Para pelajar berseragam putih biru dan putih abu-abu sudah terbiasa membentuk gank yang berbau keras dan mengerikan. Sementara yang lainnya juga mendapat sebutan yang ironis yakni ayam abu-abu, daun muda, dll.

 Problem Pendidikan : dari sepatu, kurikulum sampai sistem

            Sejatinya munculnya kenakalan remaja atau pelajar tidak selamanya dan sepenuhnya dibebankan dan menyalahkan pelajar semata. Sebab permasalahan ini sangat kompleks, sedangkan kenakalan hanya merupakan sebuah output, jadi yang seharusnya ikut dipersoalkan adalah input dan segala yang memproses input itu menjadi output.
            Diakui atau tidak, di tengah kehidupan yang kapitalistik apapun serba diukur dengan materi (baca: uang), tak pelak juga dengan pendidikan, bagaimana kemudian seorang guru atau kepala sekolah memikirkan kesejahteraannya, karena kalau hanya mengandalkan gaji, tidak cukup untuk kebutuhan duniawi yang sudah diguyur materialisme. Maka membiniskan diktat mulai dari yang dijamin mutunya sampai yang tidak bermutu pun diwajibkan bagi siswa untuk membeli, paket seragam bahkan di beberapa sekolah dasar ada yang mewajibkan membeli sepatu dan kaos kaki yang seragam. Berubahlah, orientasi mendidik dan mengajar para guru menjadi tertutupi dengan gemerlapnya bisnis sekolahan. Bagi yang tidak mampu untuk membeli perangkat tersebut pilihan mereka jatuh pada sekolah yang hanya “menjual” pelajaran tapi tidak menjual mutu ajarannya.
            Materi pelajaran atau kurikulum yang merupakan software paling esensial di sekolah, menempatkan porsi ajaran agama yang begitu minim ketimbang ilmu sains dan teknologi. Pelajaran agama sebagai nidzomul hayah (aturan hidup), tidak pernah diajarkan atau tidak pernah tercantum di kurikulum, yang ada hanya pelajaran agama yang hanya bersifat hafalan dan ritualitas yang terulang-ulang tapi tidak membekas. Pelajaran agama hanya mendapat jatah 2 SKS seminggu inilah bisa menjadi argumen, mengapa kenakalan semakin marak, sedangkan sopan santun dan intelektualitas yang mumpuni semakin langka.
            Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para guru, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kalau kita cermati para guru di sekolah mengesankan hanya bersifat trasnfer ilmu semata dan cuek terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian pelajar yang mulai mencari identitas dan jati dirinya yang apabila tidak diarahkan secara dini akan ikut memperpanjang potret buram dunia pendidikan.
            Para orang tua juga sangat berkewajiban memerankan dirinya dalam dunia pendidikan. Al-Qur’an telah memberikan teladan yang baik dari seorang figur orang tua bernama Luqmanul Hakim. Bahkan Al-Qur’an juga memperingatkan kepada para orang tua kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang anaknya.

 Bercermin pada Pendidikan Islam

            Masalah menutunt ilmu dalam perspektif Islam termasuk masalah yang asasi dan wajib. Sebagaimana Rasulullah Saw, bersabda yang artinya :
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi dari Abbas RA, juga Attraboni dan Al Khatib dari Al Husain bin Ali/ lihat, al-Fathul Khabir, jilid II. h, 213)
            Sebagai kompensasi wajibnya menuntut ilmu, maka Islam mewajibkan kemudahaan untuk mendapatkan ilmu itu. Yaitu negara harus mampu menekan seminim mungkin biaya pendidikan bagi masyarakat, bahkan kalau bisa dengan cuma-cuma. Semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan dari negara sebaik-baiknya. Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis mencari keuntungan.
            Sedemikian urgentnya ilmu pengetahuan dalam Islam, maka kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya, meliputi :
1. Asas Pendidikan
Dalam pandangan Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam. Apabila aqidah Islam sudah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang muslim, asas bagi negaranya, asas bagi hubungan masyarakat pada umumnya, maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula. Misalnya, ketika di masa Rasulullah Saw, terjadi gerhana matahari, bertepatan dengan wafatnya putra beliau, orang-orang kemudian berkata, gerhana matahari itu terjadi karena meninggalnya Ibrahim, maka Rasulullah segera menjelaskan kepada mereka dengan sabdanya :
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian dan kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah” (HR Bukhari dan Nasai dari Abu Bakrah/lihat al-Fathul Khabir, jilid I hal. 154)
            Dengan jelas hadits tersebut menggambarkan bahwa Rasulullah telah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan umum dalam menjelaskan gerhana matahari dan bulan.
            Aqidah Islam sebagai dasar kurikulum bukan berarti seluruh pengetahuan harus bersumber dari aqidah Islam. Islam tidak memerintahkan demikian, lagipula itu bertentangan dengan kenyataan, karena tidak semua ilmu bersumber dari aqidah Islam. Akan tetapi setiap pengetahuan yang berkaitan dengan keimanan dan hukum harus bersumber dan bersandar kepada aqidah Islam. Oleh karena itu mempelajari segala macam ilmu pengetahuan bukan merupakan penghalang, karena dalil-dalil yang menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan bersifat ‘aam (umum). Rasulullah bersabda :
“Carilah ilmu sekalipun ke negeri Cina” (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas RA/lihat al-Fathul Kabir, jilid I, h, 193)
            Menurut Baihaqi (lihat Faidhul Qodir, jilid I, h 542) matn hadits itu masyhur, sedang sanadnya lemah. Lafadz “al-ilma” dalam hadits tersebut bersifat ‘aam, mencakup jenis ilmu pengetahuan, baik itu terkait dengan keimanan, hukum, maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teknologi, industri, dan sebagainya.
2. Tujuan Pendidian
            Tujuan kurikulum dan pendidikan Islam adalah membekali akal, dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqidah maupun hukum. Islam telah memberikan dorongan agar manusia menutut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. Firma-Nya :
“Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dan orang-orang yang tidak berpengetahuan” (terjemahan QS.Az-Zumar ayat 9)
            Islam yang suci memiliki tujuan untuk menghindarkan akal manusia dari jurang kesesatan dan penyelewengan yang tidak jelas. Islam menjadikan aqidah Islam sebagai dasar bagi seorang muslim untuk memastikan suatu hukum atas segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Seorang muslim harus meletakkan segala tingkah laku dan perbuatannya berdasarkan ajaran Rasulullah SAW, yakni aqidah Islam. Bukan hanya perbuatan saja, bahkan termasuk keinginan dan kecenderungan hatinya pun harus sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW, sabda beliau :
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, kecuali apabila aku ia lebih cintai dari pada keluarganya, hartanya dan manusia seluruhnya” (HR. Muslim/lihat Shahih Muslim, hadits no. 59)
            Dalam hadits tersebut mendiskripsikan bahwa keinginan dan kencederungan apapun dari seorang muslim harus berdasarkan atas apa yang datang dari Rasulullah SAW, yaitu aqidah Islam.
            Mengingat segala bentuk pengetahuan dapat membentuk pemikiran seorang muslim yang mempengaruhi terhadap pemberian keputusan mengenai segala sesuatu dan pembentukan jiwa seorang muslim yang berkehendak terhadap sesuatu tersebut, maka sudah selayaknya pengetahuan-pengetahuan harus didasarkan pada aqidah Islam. Hal tersebutlah yang menjadi dasar mengapa Islam mampu menelorkan ulama semacam Imam Syafii yang telah hafal Al-Qur’an semenjak umur 9 tahun dan menjadi Ulama ahli fiqih yang kitab-kitabnya menjadi rujukan kaum muslimin saat ini.
            Dan melalui dua pandangan itulah, yang menghantarkan Islam menemui kejayaannya dan sekaligus menjadi pusat sains dan teknologi dunia saat itu. Dunia kemudian mengenal Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Jabar dan lain sebagainya. Orang-orang dari berbagai penjuru negeri termasuk Barat berdatangan ke pusat-pusat studi dan kajian berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di saat Barat mengalami apa yang disebut dark age , justru umat Islam maju dan berjaya.
            Sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang diselenggarakan pada saat Islam memiliki negara sebagaimana nash-nash syara’ dan fakta sejarah menunjukkan demikian. Bukan karena negeri tersebut dihuni mayoritas muslim, bahkan pada saat itu masyarakatnya plural dan heteregon, tapi sistem pendidikan Islam dapat diterapkan dengan baik dan mensejahterakan. Karena memang Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. (lbr)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf