Setelah berbulan-bulan kasus ini mengundang perhatian masyarakat akhirnya vonis terhadap Nazriel Ilham yang akrab disapa Ariel sudah dipalu. Tertanggal 31 Januari 2011 vokalis salah satu grup band yang bervideo mesum dengan 2 sahabat perempuannya itu dihukum oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan 3,6 tahun penjara dan denda sebesar 250 juta.
Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Ariel. Ada satu hal yang harus kita sadari bersama tentang siapa Ariel dan siapa orang-orang di balik Ariel. Maksudnya, kita harus sadari bahwa Ariel adalah seorang selebriitis, public figure, orang terkenal, sehingga wajar sekali ketika ada upaya untuk memojokkan, menghitamkan, mengasusilakan, bahkan memvonis Ariel, maka tentu saja ada yang “membela”. Membela disini, bisa dikegorikan menjadi dua, pertama: membela, sebenar-benarnya membela, yang di lini ini adalah orang-orang terdekat Ariel, bisa pacarnya, teman band-nya, keluarga, teman sesama artis, bahkan fansnya. Pembela yang kedua adalah pembela yang “invis” alias yang nggak kelihatan sebagai pembela, tapi sebenarnya mereka merasa tersakiti, eman-eman (jawa: ), yang berada di lini ini adalah para empunya media yang merasa kehilangan satu omzet besar dunia panggung hiburan, kemudian masyarakat secara umum yang sebenarnya tidak tahu siapa ariel, jadinya malah ikut membela. Pemetaan diatas penting sekali, sehingga sekalipun ada lusinan tulisan yang bernada “menjelekkan” Ariel, pasti tetap akan ada yang membela Ariel, yakinlah itu. Tapi bagi orang-orang yang yakin akan kebenaran, pasti tidak akan pernah takut untuk terus menuliskannya.
Pelajaran Apa?
Setidaknya ada 3 pelajaran besar yang bisa kita urai pada kesempatan kali ini. Pertama, dari sisi hukum, bagi orang awam ilmu hukum, sudah bisa membaca jelas ini membuktikan bahwa hukum di negeri ini ibaratnya permainan anak taman kanak-kanak plastin, bisa dibentuk sesukanya tergantung siapa yang mau membuat mainan, atau atas perintah gurunya. Dan kasus Ariel, bukan pertama kali yang mencoreng wajah hukum di Indonesia. Kasus yang terdekat saja, Gayus Tambunan yang seharusnya tersangka dan harusnya di dalam sel, malah bisa keluyuran kemana saja. Masih ingat Artalita Suryani? Penjaranya semewah kamar hotel. Kalau mau contoh sesama artis, lihat saja artis-artis narkoba macam Roy Marten, Ahmad Albar, yang sudah terbukti keluar masuk penjara. Ada juga artis Shela Marcia yang terkena narkoba sekaligus hamil di dalam bui, saksikanlah, ini membuktikan meskipun mereka dicela (baca: dihukum) tapi tetap dipuja fans-nya, termasuk Ariel.
Masih dari sisi hukum, belajar dari kasus ini juga kita jadi paham bahwa hukum itu jadi bias, ambigu. Hukuman akhirnya dijeratkan pada si pelaku pengunggah video itu ke dunia maya, padahal seberapa berat pun hukuman yang akan diterima si pengunggah video tersebut, sekali lagi orang awam pun akan bisa melihat bahwa pelaku video itu juga harus dijatuhi hukuman. Pertama: si pelaku video porno itu telah melakukan “zina”, karena bersetubuh dengan jelas-jelas yang bukan isterinya. Kedua: si pelaku video porno itu mau-maunya aksi mesumnya direkam lewat video. Sehingga, sekaligus ini membantah alasan yang mengatakan “itu kan, ruang pribadi, orang bisa melakukan apa saja dengan siapa saja”. Kalau ruang pribadi, kenapa harus direkam? Maka nanti ujung-ujungnya HAM. Nah, dengan alasan HAM juga seharusnya boleh kalau ada masyarakat yang tidak rela melihat video itu meracuni moral anak-anak, kemudian menutut Ariel di hukum?
Kalau masih ada yang mengatakan “Ariel tidak mengaku bahwa di video itu dirinya”. Keraguan ini sebenarnya terjawab ketika si pelaku yang lain sudah mengaku. Sehingga sebenarnya cukup mudah, tidak harus melewati hukum yang berbelit-belit dan terkesan diulur-ulur, cukup dengan mengkroscek atau mempertemukan antara pelaku yang mengaku dengan yang tidak mengaku. Tapi bagi orang yang beriman dan ingin taubat, tidak sulit untuk mengakui itu, apapun resikonya. Apakah demikian dengan Ariel?
Pelajaran kedua, dari sisi budaya atau moral. Ini penting sekali mengingat, negeri kita sudah tercoreng sebagai negeri terporno kedua setelah Rusia dari segi pornografi dunia maya. Setidaknya ada beberapa dampak yang kita harus siap menerima, setelah kasus “Peterporn” ini. Pertama: peniru Ariel akan banyak, baik dari kalangan artis maupun orang awam, karena mereka merasa aktivitas seperti itu hukumnya tidak tegas dan tidak jelas. Kedua: akan semakin banyak, para pengunggah video mesum seperti itu di dunia maya, dengan alasan yang sama tadi. Ketiga: para artis yang sekarang mungkin “belum” seperti Ariel, yang sekarang masih kumpul kebo, merasa masih terlindungi atau bisa dibilang tidak jera. Dari ketiga dampak tersebut, yang patut kita waspadai dampak bagi masyarakat awam. Apa itu? Setelah ketiga dampak tersebut, maka bagi masyarakat awam akan semakin yakin bahwa para artis ibarat para dewanya manusia tanpa cela, yang siap dibela, sehingga obrolan apapun yang menjelekkan mereka, tidak akan digubrisnya, meskipun itu dari orang tua dan guru-guru mereka. Naudzubillah min dzalik.
Pelajaran ketiga, dari sisi ke artisan, kita memang tidak bisa menggeneralisir bahwa dunia artis akan diliputi kepekatan, tapi fakta (bukan gossip) selalu berbicara bahwa dunia artis itu penuh kepura-puraan, kebohongan, permainan dan sebagainya. Seorang artis dikabarkan tidak hamil, bahkan sempat di wawancarai mengaku tidak hamil, tapi setelah menikah belum genap 1 bulan sudah positif hamil. Ada artis, mengaku tidak mengkonsumsi narkoba, ternyata di ditemukan sedang mabuk dengan barang haram tersebut.
Baiklah, mungkin kita tidak boleh dan mungkin tidak bisa menggeneralisir dunia artis akan selalu diliputi suasana kelam. Tapi setidaknya kita belajar dari pengalaman yang tengah dan telah berlangsung hingga kini, apa mata kita terlalu besar untuk ditutupi fakta-fakta buruk para artis selebritis kita? Apa telinga kita terlalu tuli untuk mendengar nasehat bahwa kita tidak perlu terlalu memuja seorang artis, karena akan berlanjut pada pemujaan yang buta? Apa hati kita terlalu bebal untuk sekedar menerima informasi bahwa memang artis yang kita puja dan puji juga adalah manusia yang tak lepas dari dosa?
Untuk itu, pelajaran bagi para pemujanya seperti kita ini orang awam, tidak usahlah terlalu memujanya, bahkan kalau kita muslim kita akan bertanya ke Islam dulu tentang tingkah laku, pola busana, sikap, sifat artis-artis yang mau kita contoh. Kalau Islam mengatakan boleh, ya silahkan dicontoh, kalau Islam mengatakan tidak boleh , ya berarti kita harus secara sukarela meninggalkannya.
Untuk para artis, nasehat kami dari orang awam. Tidak usahlah berpura-pura, kami capek dibohongi dengan sikap manis, tapi sejatinya iblis. Tidak perlu bermuka dua, jika memang nyatanya kita bisa bermuka satu. Kami orang awam, sangat senang jika kalian hidup dalam kewajaran, sebagaimana layaknya apa adanya.
Ketika Islam Berbicara….
Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat.
Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 179)
Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian.
Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.
Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.
Wallahu’alam bi showab