Ada Apa Dengan Syabab?


( Tuturan dari Sebuah Perjalanan Panjang yang Tersendat )
            Syabab, sebuah komunitas yang orang awam akan menyebutnya “aneh”. Orang tua, saudara, suami, isteri, anak akan menganggapnya “orang baru” di lingkungan keluarganya. Dari sikap, sifat, cara makan, cari tidur, cara duduk, cara bicara “beda” dari lumrahnya orang biasanya. Dia datang bukan dari luar angkasa atau alam kubur, tapi dia hidup di alam ini dan dilahirkan juga dari pertemuan sel sperma dan ovum. Lumrah, seperti manusia biasa sebenarnya. Namun mengapa perkataan, “aneh”, “orang baru”, “beda” harus melekat pada dia. Dari segi pakaian yang dipakai, rumah yang ditempati, makanan yang disantapnya pun tidak berbeda dengan orang pada umumnya.



            Memang untuk mengatakan “beda” harus ada ukuran standarnya. Faktanya memang mereka tidak berbeda, secara standar manusiawi memang mereka tidak berbeda. Atau justru berangkat dari situlah, obsesi tinggi (bukan tertinggi) seorang syabab adalah akan menjadikan orang lain tidak berbeda dengan dirinya, dengan kata lain “kalau saya manusia, dia juga manusia, kenapa nggak saya ubah aja dia sama dengan aku (syabab)”. Itulah yang dalam tataran fakta mereka menyebutnya dengan dakwah.
          Dakwah, dalam perjalanannya adalah menyampaikan atau setidaknya “menyeragamkan” manusia agar bisa paling tidak seperti syabab. Di tengah proses penyeragaman diri itulah, ada pribadi-pribadi syabab menemukan –bisa dikatakan- alasan, bahwa proses dakwah terpaksa harus terhambat, tertatih, slowly menuju puncak kejayaanya.
“Ustad, bukankah untuk mengajak orang lain jadi baik, kitanya harus baik duluan. Saya merasa belum bisa baik”
“Ustad, saya sibuk, maafkan saya, kalau tidak bisa optimal berdakwah”
“Ustad, bagaimana saya bisa berdakwah, sementara lingkungan keluarga, kerja, kuliah saya tidak mendukung untuk itu”
“Ustad, syabab itu telah banyak melakukan kesalahan, kenapa nggak disanksi?”
“Ustad, kalau musyrif saya saja molor berdakwah, bagaimana saya nggak?”
“Ustad, …………
 …….. dan banyak lagi lontaran-lontaran klasik yang terus dinyanyikan para syabab seiring dengan jumud dan bekunya pemikiran. Dengan begitu, inilah kesempatan yang tepat untuk bisa menghindar dari taklif dakwah. Sungguh mengerikan.
          Kepompong saja untuk bisa menjadi kupu-kupu yang indah, adalah melalui proses yang panjang dan mungkin membutuhkan kesabaran untuk menunggunya. Dakwah adalah proses yang harus dijalani syabab. Latar belakang keluarga, karakteristik ekonomi, sosial dan juga perbendaharaan pengetahuan islam masing-masing syabab berbeda. Akhirnya proses yang dijalaninya pun tidak sama. Ada syabab yang begitu mudah diterima dakwahnya, ada juga yang sulit diterima dakwahnya. Bagi yang diterima dengan mudah dakwahnya, paling tidak menyisakan sedikit permasalahan, yakni bagaimana membina keajegan itu agar tetap langgeng. Tapi bagi syabab yang dakwahnya diacuhkan, sulit diterima keluarga, masyarakat, bukan saja menyisakan masalah tapi membebani. Ini tidak saja berpengaruh bagi individu syabab, tapi juga bagi hizb utamanya dan bagi proses dakwah itu sendiri. Dari situlah jumud itu dimulai. Memang bukanlah kesalahan atau dosa bagi syabab jika tidak diterima dakwahnya, tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut, akan sama halnya dengan kita melubangi ban mobil atau mengambil bensin mobil, ketika mobil itu siap jalan.
          Jumudisasi atau proses jumudnya syabab, bila disederhanakan akan hanya terangkum dalam dua hal. Pertama, problem pekerjaan. Dulu ketika sekolah atau kuliah, syabab permasalahannya begitu mudah diselesaikan, berdakwah temannya masih banyak. Ada kesulitan pembiayaan sekolah atau kuliah dia bisa minta ortunya, saudaranya atau bahkan pinjam temannya yang kebetulan punya simpanan. Tapi bukan berarti nggak ada masalah, syabab yang sekolah atau kuliah di sisi lain dia juga harus bekerja, ini yang biasanya bermasalah. Problematikanya mungkin bukan berasal dari adanya 2 aktivitas yang dijalani bersamaan itu, tapi masalahnya adalah idealisme. Seperti disinggung diatas, syabab memang asalnya adalah manusia biasa, tapi setelah menjadi syabab, setidaknya dia telah mengantongi idealisme, bahwa semua fakta yang di depannya harus dirubah sesuai dengan ide yang dia emban saat itu. Syabab jelas nggak mau, lingkungan kerjanya berbau KKN. Kalaupun ada bau itu, maka dia dihadapkan pada dua pilihan, tetap bekerja disitu tapi harus merubah bau itu menjadi bau harum Islam seperti yang selama ini dia idealisikan dalam halaqah. Atau kalau dia tidak bisa merubah bau itu, dia harus memilih keluar dari tempat itu, tapi dengan kenyataan, tidak semua lapangan pekerjaan bisa menampung dirinya, artinya dia harus nganggur. Menganggur bagi proses jumud adalah temperatur yang cocok.
          Jumud terus berjalan, dan si syabab tak berkutik, dengan lingkungan kerjanya. Sementara dakwah semakin tersendat, karena harus banyak melintasi syabab lain dengan permasalahan lain yang mengalami jumud juga. Klop sudah fenomena itu, syabab yang jumud dengan dua pilihan diatas (antara tetap bekerja atau keluar dari pekerjaan tadi). Akhirnya kondisilah yang menjawab, bahwa syabab diperkuat posisinya di tempat kerja, karena syabab tadi melihat dakwah yang dilakukan dan dilakukan syabab lain toh tak berarti apa-apa, ditambah proses dakwah itu sendiri yang jumud. Syabab di tempat kerja itu, lengkap dengan segala kejumudannya, tak mampu merubah kondisi lingkungan kerjanya, tapi justru malah dia yang dirubah oleh lingkungan kerjanya. Dia menjadi “toleran” dengan kemaksiatan, mengiyakan yang menurutnya “kemunkaran kecil”.
          Mungkin ada syabab yang memilih keluar dari tempat kerja itu, dengan harapan segera dapat pekerjaan baru, atau musrifnya memberi solusi. Tapi harapan itu tak kunjung terealisasi, karena sebenarnya bukan harapan syabab kalau ternyata musrifnya juga jumud. Proses halaqah dan syababnya hanya sekedar menjalankan rutinitas, bukan seperti adanya halaqah yang sesungguhnya. Untuk syabab yang memilih pilihan kedua ini juga tidak boleh tidak, jumud.
          Kedua, setelah pekerjaan ada problematika syabab yang menyebabkan jumudisasi. Yakni masalah keluarga. Ambil contoh saja begini, syabab yang tidak terlalu bermasalah dengan lingkungan kerjanya, tapi syabab melihat teman sebayanya sudah menikah dan berkeluarga. Sementara pekerjaannya tidak menjamin syabab tersebut untuk bisa berbagi buat istri dan anaknya kelak, gajinya hanya mungkin cukup untuk jajan sebagai anak kost atau sekedar buat beli minyak tanah buat ibunya di rumah. Di sisi lain, jodoh tak jua menghampiri dirinya atau memang para calon isteri itu, tidak mau dijodohkan dengan syabab yang gajinya untuk beli baju jilbabnya saja nggak cukup. Kemana syabab itu mengadu, kalau tidak ke musyrif atau ke teman halaqah-nya. Namun disitu dia tak bisa menemukan jawaban yang jitu. Itupun kalau syabab mau curhat dengan musyrifnya, karena menurut pandangannya, musyrifnya saja belum menikah, dan mungkin lagi mengalami problem yang sama dengan dirinya, jauh dari jodoh dan rizki, bagaimana syabab itu akan mengadu pada musyrif. Klop, jumudisasi itu terus berjalan cepat, lebih cepat dari proses dakwah. Siapa yang cepat dialah yang menang.
          Di waktu yang lain, ada syabab akhirnya dengan kondisi serba pas-pasan, bukan berani, tapi nekat untuk menikah. Jodoh yang didapatpun, pas-pasan juga, bisa dibilang cantik tapi pas, bisa dibilang baik tapi pas. Proses pernikahanpun dilakukan, syabab yang dengan sisa-sisa idealismenya tadi, mencoba untuk membuat ideal pernikahannya, tapi usahanya itu sia-sia, karena jodoh itu ternyata pas ketemu di jalan. Artinya, jodohnya bukan orang yang memegang Islam dengan baik, keluarganya apalagi. Menyerahlah si syabab, dibuat pernikahannya seideal mungkin, walaupun akhirnya terjadi penyimpangan disana-sini.
          Proses pernikahan belum berjalan lama, tapi jumudisasi lebih tua dari umur pernikahan syabab. Dimulailah, syabab merintis usaha kecil-kecilan, pekerjaan sambilan (wiraswasta). Di pekerjaan lamanya, syabab bekerja mulai pagi sampai sore, di pekerjaan barunya, mulai bekerja sore kadang sampai malam. Lalu dimana waktu dakwah? Dakwah kalau sempat saja, kalau pas ketemu orang disampaikan dakwah, karena syabab sudah menemukan dalil “Mencari nafkah khan hukumnya wajib?”, “Khan masih ada yang muda (yang belum berkeluarga), saya dikurangi aja taklif dakwahnya”. Dakwah adalah aktifitas wajib yang kontinu, tidak bisa berhenti hanya karena masalah si pendakwah sudah berkeluarga atau taklif dakwah itu harus hilang karena ada taklif lain. Sungguh Naif.
          Sebulan-dua bulan, tidak terasa pekerjaan, isteri, anak dan harta telah menyita waktu dakwah. Dakwah sudah menjadi nomor buncit. Kesibukan itu mengalahkan perhatian syabab untuk mencari halaqah umum, mengalahkan perhatian musyrif pada halaqahnya. Bahkan sampai-sampai waktu dan jadwal halaqah-pun menjadi lupa. Problem ini tak segera di respon oleh musyrif, sementara musyrif mengalami hal serupa, maka tepat sekali kalau ini disebut jumud, entah jumud yang keberapa.
          Ada juga syabab yang sudah mapan dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Tapi demi melihat atau merasakan “koq, musyrif saya jumud”, “koq temen halaqah saya jumud”, “koq syabab saya jumud”, maka syabab yang tadinya tidak jumud itu berpikir “kenapa nggak sekalian aku ikut jumud”. Karena dia merasa sendiri berdakwah, artinya di jalan mana saja berjalan, syabab akan melalui pintu jumudisasi tadi. Padahal semakin lama syabab dibiarkan jumud, baik oleh musyrifnya atau karena syabab itu sendiri, maka akan semakin sulit penyelesainnya. Ibarat tinta yang tumpah di kain, namun tak segera dicucinya kain itu, tapi malah dibiarkan. Apa pilihan terakhir bagi orang seperti itu? Selain terpaksa memakai kain itu tapi dengan sisa tintanya yang sulit dihilangkan, atau membuang kain itu sama sekali untuk tidak memakainya lagi. Begitulah jumudisasi syabab, harus segera diselesaikan, kalau tidak maka dia akan dihadapkan dua pilihan tadi, tetap berdakwah tapi jumud menyertainya, atau meninggalkan dakwah sama sekali.
          Disebutkan di kitab “Dukhulul Mutjama” (terjun ke masyarakat) “ketika hizb berdiri didepan pintu masyarakat, dan tidak kunjung berhasil memasukinya dengan mudah dan cepat, maka realitas parpol yang bersenyawa dengan masyarakat akan dijadikan alasan/bukti bagaimana partai tersebut mampu masuk dan mengambil kendali masyarakat, mengalahkan hizb”. Para syabab sekarang memang sedang berdiri di depan pintu masyarakat, tetapi dengan sejuta alasan jumudisasi tadi, proses dakwah tak menemui kejayannya, syabab kemudian tergoda untuk melirik uslub bahkan metode dan tariqoh lain dan mulai terkikis kesetiannya pada fikroh, tariqoh dan uslub hizb. Disadari atau tidak, syabab banyak berhibur dengan uslub selain hizb, dia merasa nyaman dengan uslub itu, semakin menggunung ketika kenyamanan itu tidak segera direspon musyrifnya.
          Masih di kitab yang sama Syekh Taqiyudin an-Nabhani menulis “….begitu pula, Hizb wajib menjaga uslub yang dipilih dan ditentukan, seperti halnya menjaga fikroh dan tariqoh….. oleh karena itu, setiap kesalahan, meskipun tidak disengaja melaksanakan jenis pemikiran baik menyangkut fikroh, ataupun uslub yang dipilih dan ditentukan, dapat dianggap kesalahan yang berbahaya… apabila dilakukan dengan sengaja dan terus menerus, maka dapat dianggap sebagai bentuk penyelewengan yang disengaja”. Syabab teledor terhadap jadwal halaqoh, absensi syabab yang buruk pada pertemuan rutin seperti JM ataupun HS dianggap hal biasa. Seperti halnya orang biasa yang datang terlambat ke kantor, atau sama seperti orang biasa, yang molor atau ingkar membuat janji dengan rekan kerjanya. Lalu dimana karakteristik syabab? Bukankah syabab berbeda dengan orang biasa dalam hal ini? Bukankah seorang syabab menjadi mulia dengan dakwahnya ? Lalu siapa orang yang mendapat pahala 50 kali pahala para sahabat Rasulullah itu?
          Halaqah atau pertemuan JM atau HS memang hanya uslub, tapi itu uslub yang telah dipilih dan ditentukan, sesuai dengan apa yang disampaikan Syekh Taqiyudin tadi, bahwa kalaupun uslub itupun juga dilanggar, maka akan samalah seperti kita membiarkan seseorang membuang puntung rokok yang masih menyala di sebuah ladang minyak yang berbahaya tentunya. Kecil memang api dari rokok itu, tapi kalau perbuatan kecil ini dibiarkan bukan hanya berbahaya bagi perokok tadi, tapi bagi semua orang yang ada di ladang itu. Itulah, mengapa syabab jumud, karena dia menyaksikan atau dia melakukan sendiri dirinya atau syabab dibiarkan oleh musyrifnya terlambat datang memenuhi janji halaqahnya, ini merusak dakwah sekaligus membuat peluang syabab untuk jumud.
          Seorang musrif yang tidak melakukan monitoring terhadap syabab adalah kesalahan, sama salahnya dengan seorang masul, atau naqib ataupun a’dho yang mengangkat orang-orang tertentu, untuk menyelesaikan masalah seorang syabab. Karena permasalahannya bukan terletak pada syabab yang tidak mau atau tidak bisa menyelesaikan masalahnya, tapi karena musyrif tidak menjalankan kewajibannya untuk melakuan monitoring/mutabaah. Sekali lagi monitoring hanya uslub, yang asal hukumnya mubah tapi kalau ini dibiarkan, sementara aktivitas dakwah tidak akan berjalan sempurna dan efektif jika tanpa mutaba’ah, maka seorang musyrif yang cuek dengan masalah ini, sama saja dengan melalaikan dakwah itu sendiri.
          Syabab yang membiarkan dirinya tidak membina umat dengan berbagai alasan adalah juga merupakan kesalahan, meskipun mencari halaqah umum itu juga hanya uslub, tapi sekali lagi itu uslub yang telah dipilih dan ditentukan (ditabani) oleh hizb. Apabila ini dibiarkan berlanjut, bukan saja telah berbuat dosa, tapi juga menjadi beban bagi dakwah itu sendiri. Bukankah eksistensi syabab adalah dalam rangka memperingan tugas dakwah yang diemban secara individu, bukannya malah membebani?
          Pada awal abad 20 M, disebutkan di kitab “Mafahim Hizb”, “ …muncul banyak penghalang yang memisahkan Islam dengan kehidupan …. Pertama : …….mayoritas kaum muslimin mempelajari Islam hanya sekedar ilmu belaka, seakan Islam adalah filsafat yang bersifat khayali dan teoritis semata …, kedua. …. Orang-orang yang mempelajari Islam telah menjadi ulama yang jumud, ibarat buku yang berjalan, atau menjadi penasehat yang selalu mengulang-ulang ucapan dan perkataanya yang kering dan menjemukan”. Syabab memang tidak berpikir akan seperti yang digambarkan Syekh Taqiyudin itu, tapi kejumudan yang disebabkan oleh syabab itu sendiri, telah membuatnya melakukan itu. Syabab dengan tidak rutinnya datang halaqah, baik karena punya anggapan bahwa musrifnya menyampaikan halaqah terlalu monoton atau karena syabab itu sendiri yang menganggap halaqah hanya rutinitas transfer ilmu semata. Artinya bagi syabab tersebut tidak hadir halaqah tidak masalah, sebab inti materi yang disampaikan sudah pernah dia terima, dan hanya akan mengulang saja, seperti layaknya pelajaran hafalan. Sehingga tidak salah apa yang ditulis diatas, jumud terjadi bisa karena proses penyampaian tsaqofah (baca :halaqoh) yang salah. Dalam “qanun idari” atau di kitab “ta’rif hizbut tahrir” bahwa halaqah adalah tasqif (pembinaan), dimana dalam tasqif ada dua mata pedang yang harus selalu diasah, yakni muroqobah dan mutabaah. Muroqobah adalah kedekatan, halaqah merupakan proses memahamkan syabab terhadap materi yang disampaikan oleh seorang musyrif, yang mana di tangan musyriflah, mengerti tidaknya syabab itu terhadap materi halaqah. Sehingga kalau kemudian ada masalah dengan syabab, baik menyangkut materi maupun masalah pribadi syabab, maka kedekatan itu yang harus dimanfaatkan, maka musyrif bisa jadi adalah teman sejati bagi syabab.
          Maka mata pedang yang kedua, yakni mutabaah juga harus dilaksanakan sebagai upaya monitoring permasalahan syabab, ada masalah nggak dengan materi halaqah, paham nggak dengan materi, syabab itu punya masalah pribadi nggak, dst. Ketika, dua pedang tasqif itu dilaksanakan maka halaqah tidak akan sama dengan taklim atau tabligh. Sebab diciptakannya uslub halaqah memang bukan untuk itu tapi tasqif.
          Ketika dipahami bahwa musyrif dan syabab sedang melakukan proses tasqif, maka adalah tidak benar kalau kemudian ada syabab terlalu berharap banyak untuk bisa memuaskan dirinya dengan tsaqofah Islam atau pengetahuan Islam, kemudian syabab merengek kepada musyrif atau hizb. Hizb dengan tsaqofahnya akhirnya memunculkan fikroh, tariqoh dan uslub, artinya tsaqofah yang disediakan oleh hizb adalah tsaqofah murakazah, tsaqofah yang untuk bisa memahaminya perlu belajar tsaqofah lain, seperti bahasa arab, tafsir, hadits dll. Seperti sudah disampaikan dalam kitab “ta’rif” kalau hizb adalah hizbun siyasiyun bukan madrasah, sehingga untuk belajar seluruh tsaqofah Islam, syabab tidak akan bisa menemukannya dalam hizb.
Karena keberadaanya sebagai partai politik tidak mengharuskan bagi hizb untuk menyibukkan diri guna membekali syabab dengan seluruh tsaqofah Islam secara lengkap. Jadi syabab yang beralasan tidak bisa bahasa arab karena musyrif tidak pernah mengajarinya, adalah alasan yang salah kaprah. Keberadaan musyrif tidak untuk mengajarkan bahasa arab tapi memahamkan bahasa arab bagi syabab dan syabab tidak bisa bahasa arab adalah tanggung jawab musyrif untuk mencarikan pemecahannya, dan juga tugas bagi syabab untuk thalabul ilmi. Secara sadar syabab akan membekali dirinya dengan bahasa arab sebagai “pelicin” bagi dakwahnya. Dan sebuah kesalahan besar, dengan beralasan belajar bahasa arab, kemudian mengorbankan halaqoh yang harusnya jadi tempat untuk menyampaikan tsaqofah murakazah, bukan belajar mengeja bahasa arab, karena sekali lagi halaqah adalah tasqif bukan taklim. Apabila proses halaqah telah berubah dari tasqif menjadi taklim, maka halaqah dapat disimpulkan seperti proses transfer ilmu belaka, dan ketika merasa syabab itu sudah pernah mempelajari ilmu itu, dia enggan belajar (baca: halaqah). Kalau sudah enggan halaqah, maka artinya ini adalah investasi bagi kejumudan syabab dan dakwah itu sendiri.
Seperti diawal sudah disinggung, bahwa syabab berbeda dengan orang biasa. Berbedanya bukan karena statusnya sebagai syabab, melainkan karena dia terpilih untuk menjadi pengemban mabda yang agung berupa Dienul Islam. Adakah yang lebih mulia dari Islam ? emas permata-kah ? pekerjaan yang menjajikan-kah ? Isteri yang cantik-kah ? Itu hanya pantas bagi orang biasa. Memang, syabab bukan manusia luar biasa menyamai malaikat, syabab adalah manusia biasa yang mempunyai kebiasaan berbeda dengan manusia biasa, dalam tingkah laku, pemikirannya atau perasaannya. Semuanya diikat pada satu aqidah yaitu Islam. Proses itulah yang menyebabkan syabab seperti itu, halaqah/ tasqif yang menjadikan manusia menjadi syabab. Kalau masih ada syabab bertingkah laku, berpikir, berperasaan seperti orang biasa berarti dia orang biasa bukan syabab.(LBR)

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf