Aqidah Aqliyah

Oleh: Hafidz Abdurrahman
Akidah ‘aqliyyah, sebagai sebuah istilah dengan ungkapan dan konotasi (al-ism wa al-musammâ) yang spesifik seperti itu, diperkenalkan oleh as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, baik dalam kitab Nizhâm al-Islâm, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, at-Takattul al-Hizbî, maupun buku-buku lain dalam konteks pembahasan akidah sebagai asas dan sumber kebangkitan atau mabda’ (ideologi). Karena itulah, pembahasan akidah ‘aqliyyah ini harus ditempatkan pada posisinya sebagai asas dan sumber, yang padanyalah kebangkitan ataupun kemunduran sebuah bangsa, umat, dan negara itu dikembalikan. Dengan demikian, vitalitas akidah sebagai pemikiran mendasar (al-fikr al-asâsî) yang dipeluk oleh bangsa, umat, dan negara itu akan menemukan bentuknya. Sebaliknya, semua pemikiran yang dipeluk dan dianut oleh bangsa, umat, dan negara yang kemudian terbukti bukan merupakan akidah, tentu harus ditinggalkan. Sebab, pemikiran yang terakhir ini tidak akan membawa pengaruh apa pun yang signifikan dalam kehidupan bangsa, umat, dan negara yang memeluknya. Tidak jarang, pemikiran seperti ini justru telah menjebak mereka dalam kemerosotan demi kemerosotan, baik secara intelektual maupun material.[1]

Realitas Akidah
Secara harfiah, akidah adalah mâ ‘aqada ‘alayhi al-qalb; makna ‘aqada ‘alayhi adalah jazima bihi (dipastikan), atau shaddaqahu yaqîn[an] (dibenarkan dengan keyakinan penuh). Artinya, secara harfiah akidah adalah sesuatu yang diyakini dengan bulat atau dibenarkan dengan keyakinan penuh. Ini sebenarnya berlaku umum menyangkut keyakinan terhadap apa saja, meski keyakinan terhadap sesuatu tersebut tetap harus memperhatikan sesuatu yang diyakini; jika yang diyakini tersebut merupakan perkara mendasar atau derivat dari perkara mendasar maka layak disebut akidah. Alasannya, karena sesuatu yang diyakini tersebut bisa menjadi standar dasar bagi yang lain, sehingga ketika hati meyakininya dengan bulat, keyakinan tersebut akan mempunyai dampak yang signifikan. Namun, jika yang diyakini tersebut bukan merupakan perkara mendasar atau derivat dari perkara mendasar maka ia tidak layak disebut akidah, sebab ketika hati meyakininya, keyakinan tersebut tidak mempunyai dampak apa-apa. Dengan demikian, akidah adalah keyakinan terhadap sesuatu yang mempunyai dampak atau pengaruh dalam menentukan sikap, baik dalam wujud keyakinan maupun pengingkaran.[2]
Dengan melihat realitas di atas, akidah berarti pemikiran mendasar. Pemikiran mendasar tidak lain adalah ide yang menyeluruh mengenai alam, manusia, dan kehidupan. Karenanya, menurut an-Nabhani, pandangan manusia yang mendalam (an-nazhrah al-‘amîqah) seputar alam, manusia, dan kehidupan inilah yang akan membentuk akidah manusia;[3] baik Islam, Kristen, Yahudi, Kapitalisme maupun Sosialisme. Dari sinilah, secara terminologis akidah kemudian didefinisikan oleh asy-Syaikh Taqiyuddîn dengan: Ide yang menyeluruh mengenai alam, manusia, dan kehidupan; apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan; serta hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan. Beliau memberikan komentar, bahwa definisi ini berlaku umum untuk semua akidah dan bisa diberlakukan untuk akidah Islam, termasuk di dalamnya aspek-aspek gaib.[4] Inilah realitas akidah sebagai pemikiran mendasar dan solusi atas persoalan terbesar (hall al-uqdah al-kubrâ) manusia.
Dilihat dari realitasnya sebagai pemikiran, terbukti bahwa tidak semua pemikiran dan ide bisa menjadi akidah. Sebab, akidah harus merupakan ide yang menyeluruh, yang lazim disebut fikrah kulliyah, atau derivat dari ide tersebut. Adanya pencipta bagi alam, manusia, dan kehidupan serta hari kebangkitan, misalnya, adalah fikrah kulliyah, sementara wahyu—sebagai guidance dari Allah—yang realitasnya bisa dicerna dan diyakini oleh manusia adalah contoh derivat dari fikrah kulliyah tersebut. Jika bukan fikrah kulliyah atau derivat dari ide tersebut, yang lazim disebut fikrah far‘iyyah, seperti nasionalisme dan patriotisme, ia tidak bisa menjadi akidah.[5] Mengapa fikrah far‘iyyah tidak bisa menjadi akidah? Sebab, ide seperti ini tidak akan bisa menghasilkan pemikiran lain sebagai derivat atau konsekuensinya.[6] Jika ide nasionalisme atau patriotisme tersebut, misalnya, bisa menghasilkan pemikiran lain, sebenarnya pemikiran lain tersebut bukan lahir dari ide nasionalisme atau patriotisme, melainkan dari akidah lain;[7] mungkin Islam, Kapitalisme, atau Sosialisme. Ini berbeda dengan fikrah kulliyah, yang bisa menghasilkan pemikiran lain sebagai derivat atau konsekuensinya. Contohnya adalah sekularisme yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan atau materialisme yang menyatakan bahwa materi adalah azali. Ide-ide ini merupakan fikrah kulliyah, karena bisa menghasilkan pemikiran lain sebagai derivat atau konsekuensinya.
Fikrah (ide) itu sendiri adakalanya hanya bersifat imajiner (mutakhayyilah fî al-adzhân), dan tidak bisa dibuktikan realitasnya, seperti ide Trinitas Kristen, yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu dengan tiga oknum (Bapak, Anak, dan Ruh Kudus); atau ide Trimurti, yang menyatakan bahwa tiga dewa (Brahma, Wisnu, dan Siwa) dianggap satu. Namun, realitas ide tersebut tidak bisa dibuktikan, karena terbukti, bahwa satu tidak sama dengan dua atau tiga. Karena realitasnya tidak bisa dibuktikan, ide tersebut hanyalah fikrah (ide), bukan haqîqah (kenyataan).[8] Meski demikian, ide tersebut bisa disebut fikrah kulliyah, karena merupakan pemikiran mendasar (al-fikr al-asâsî), sekalipun pemikiran tersebut diterima secara indoktrinasi (talqîn).[9] Di sisi lain, fikrah tersebut adakalanya merupakan haqîqah (kenyataan), bukan hanya ide imajiner (fikrah mutakhayyilah fî al-adzhân). Misalnya, adanya Allah SWT adalah fikrah kulliyah yang merupakan haqîqah (kenyataan), yang eksistensi-Nya—bukan esensi (zat)-Nya—bisa diindera dan diraba.[10]

Cara Manusia Menyelesaikan Uqdah Kubrâ
Berpikir mengenai bagaimana memecahkan ‘uqdah kubrâ, yaitu berpikir tentang alam, manusia, dan kehidupan, merupakan keniscayaan bagi setiap manusia. Namun, cara masing-masing orang memecahkan ‘uqdah kubrâ tersebut berbeda-beda. Ada yang memecahkannya sendiri dan ada yang memecahkannya dengan indoktrinasi. Meski demikian, kalau ‘uqdah kubrâ tersebut telah terpecahkan, apakah dengan dipecahkan sendiri atau menerima pemecahan dari orang lain, selama pemecahan tersebut sesuai dengan fitrah dan menenteramkan, maka orang tersebut akan merasa tenteram dan tenang.
Meski pertanyaan mengenai ‘uqdah kubrâ  tersebut merupakan keniscayaan, demikian juga upaya manusia menemukan jawaban atau pemecahan bagi uqdah kubrâ tersebut, masing-masing orang, sekali lagi, berbeda dalam menemukan jawaban atas pertanyaan yang terus menderanya itu. Ada yang lari dari pertanyaan-pertanyaan ini, yaitu dari mana alam, manusia, dan kehidupan ini? Terbukti, bahwa seharusnya mereka membahas ketiganya, tetapi justru membahas materi.[11] Akhirnya, sampai pada satu kesimpulan bahwa alam, manusia, dan kehidupan adalah materi, dan seterusnya mencoba memberikan jawaban; bahwa ketiganya azali, tidak diciptakan, melainkan lahir dan berproses secara evolusi. Mereka ini adalah kaum sosialis, termasuk komunis. Selain mereka, ada yang terus berusaha menemukan jawabannya. Bagi anak-anak yang belum balig, jawaban tersebut mereka terima dari orangtua mereka, karena mereka dilahirkan tanpa mempunyai jawaban. Namun, setelah menginjak usia mumayyiz, mereka mulai menimbang jawaban dari orang yang memberikan jawaban tersebut. Jika dia yakin dengan orang yang memberikan jawaban tersebut, tentu jawabannya akan diterima. Begitu balig, dan menginjak dewasa, mereka akan mengevaluasi kembali jawaban yang diterimanya, kemudian berusaha memecahkannya sendiri.[12]
Hanya saja, ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam memecahkan ‘uqdah kubrâ, yaitu: (1) aspek rasionalitas (‘aqliyyah),  yakni berkaitan dengan akal; (2)  aspek yang berkaitan dengan potensi kehidupan (thâqah hayawiyyah). Ini artinya, potensi kehidupan manusia yang mendorong lahirnya berbagai pertanyaan mengenai ‘uqdah kubrâ tersebut harus dipecahkan dengan pemikiran dan lahir dari proses berpikir. Sebab, jika pemecahannya dilakukan dengan berkhayal atau pengandaian, bukan didasarkan pada realitas yang terindera, maka tidak akan pernah menghasilkan ketenteraman dan ketenangan.[13] Sebagai contoh, naluri beragama kadang menciptakan imajinasi atau pengandaian yang macam-macam dalam kepala seseorang, yang sama sekali tidak ada kenyataannya, misalnya Tuhan dimonumenkan dengan patung manusia bertangan delapan. Dalam hal ini, potensi kehidupan orang tersebut memang terpenuhi, tetapi pemenuhan tersebut tidak dihasilkan melalui proses berpikir. Artinya, pemecahan ‘uqdah kubrâ seperti ini menghasilkan akidah irasional (‘aqîdah ghayr ‘aqliyyah) atau akidah indoktrinasi (‘aqîdah talqîniyyah). Akidah seperti ini tampak pada agama Pagan, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Zoroaster, dan Singh, misalnya.
Selain itu, ada ‘uqdah kubrâ yang dipecahkan melalui proses berpikir, baik dengan cara meninggalkan pertanyaan seputar alam, manusia, dan kehidupan, lalu beralih pada materi, sehingga jawaban atau pemecahannya berkisar pada pertanyaan seputar materi; ataupun dengan menjawab pertanyaan seputar alam, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, namun memisahkan hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan.
Realitas yang pertama bisa ditemukan pada akidah materialisme. Dengan realitas seperti itu, sebenarnya materialisme tidak memberikan pemecahan terhadap ‘uqdah kubrâ, sehingga penganutnya terpaksa berpura-pura puas dengan pemecahan tersebut, padahal di dalam hatinya masih didera berbagai pertanyaan mendasar yang belum terjawab.[14] Akidah seperti ini bisa disebut akidah rasional (aqîdah ‘aqliyyah) meski bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak memuaskan akal.
Adapun realitas yang kedua tampak pada akidah sekularisme, yang mengakui alam, manusia dan kehidupan sebagai ciptaan Tuhan, serta adanya Hari Kiamat, namun semua itu dipandang tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan sehingga manusialah yang harus menentukan sendiri jalan hidupnya. Akidah seperti ini juga bisa disebut akidah rasional (aqîdah ‘aqliyyah), meski bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak memuaskan akal.
Pemecahan terhadap ‘uqdah kubrâ di atas adalah pemecahan yang lahir dari pandangan yang mendalam (an-nazhrah al-‘amîqah) tentang alam, manusia, dan kehidupan, namun tidak cemerlang (mustanîrah). Ini berbeda dengan akidah Islam. Sebab, akidah Islam merupakan pemecahan terhadap ‘uqdah kubrâ yang lahir dari pandangan yang mendalam dan cemerlang (an-nazhrah al-‘amîqah al-mustanîrah) terhadap alam, manusia, dan kehidupan. Dari pandangan inilah, tampak bahwa alam, manusia, dan kehidupan merupakan makhluk Allah; Dialah satu-satu-Nya Zat yang menjaga dan mengaturnya sesuai dengan sistem tertentu. Kehidupan dunia ini tidak azali dan tidak abadi, karenanya membutuhkan pencipta yang menciptakan dan mengaturnya, dan itulah Allah. Setelah berakhirnya kehidupan ini akan ada Hari Kiamat, yang merupakan Hari Akuntabilitas (Yawm al-Hisâb) atas amal perbuatan manusia di dunia. Karena itulah, Allah menurunkan kitab suci untuk menjadi guidance di dunia dan akhirat. Agar kitab suci itu bisa diterapkan, Allah mengutus Rasul yang menjelaskan dan menerapkannya di muka bumi. Karenanya, manusia wajib terikat dengan sistem kehidupan yang telah dijelaskan dalam kitab suci dan penjelasan Rasul itu. Inilah pemecahan ‘uqdah kubrâ yang diberikan oleh Islam, yang dihasilkan melalui proses berpikir dan bisa memenuhi potensi kehidupan manusia. Karena itu, akidah seperti ini bisa disebut ‘aqîdah ‘aqliyyah; bahkan satu-satunya akidah yang sahih, karena dibangun melalui proses berfikir dan sesuai dengan fitrah manusia. 
Dengan demikian, satu-satunya akidah yang benar-benar layak disebut akidah adalah akidah Islam. Sebab, akidah—sebagai istilah dan konotasi yang khas—tidak lain adalah pembenaran yang bulat (tashdîq jâzim), dalam arti mampu memecahkan ‘uqdah kubrâ dengan tuntas tanpa menyisakan satu pertanyaan pun. Begitu dipecahkan, tidak ada lagi pertanyaan. Itulah yang dimaksud dengan jâzim.  Sebaliknya, jika masih menyisakan pertanyaan susulan, pemecahan tersebut tidak bisa disebut jâzim.[15] Kenyataan menunjukkan, bahwa tidak ada fikrah atau pemikiran yang bisa memecahkan ‘uqdah kubrâ tersebut dengan tuntas tanpa menyisakan satu pertanyaan pun, kecuali akidah Islam.

Apakah ‘Aqîdah ‘Aqliyyah itu?
Mengenai realitas ‘aqîdah ‘aqliyyah, ada beberapa kriteria yang dikemukakan. Ahmad ‘Athiyyat menyatakan, bahwa ‘aqîdah ‘aqliyyah adalah fikrah kulliyah yang mampu menjawab seluruh pertanyaan dan problem manusia, bukan hanya sebagiannya saja. Sebab, ada fikrah yang hanya mampu menjawab satu pertanyaan atau problem manusia, dan karenanya disebut fikrah far‘iyyah; ada yang mampu menjawab sebagian pertanyaan atau problem manusia, namun tidak seluruhnya, dan karenanya disebut fikrah ‘âmmah. Kedua fikrah ini, menurut ‘Athiyyât, tidak bisa disebut ‘aqîdah ‘aqliyyah.[16] Akidah tersebut juga tidak dibangun berdasarkan indoktrinasi (talqîn), pemaksaan, atau penyesatan. Sebab, ‘aqîdah ‘aqliyyah itu adalah pemecahan masalah terbesar (hall al-‘uqdah al-kubrâ) yang mampu memecahkan permasalahan-permasalahan (hall al-masyâkil) lain. Dengan kata lain, ‘aqîdah ‘aqliyyah adalah akidah yang mampu memancarkan sistem. Karena itu, akidah ini harus berupa pemikiran yang dihasilkan melalui proses berpikir, bukan pemikiran yang diindoktrinasikan atau dipaksakan.[17] 
Ketika ‘aqîdah ‘aqliyyah tersebut mampu memancarkan sistem untuk menyelesaikan seluruh permasalahan manusia, akidah tersebut juga disebut mabda’ (ideologi). Karena itulah, mabda’ (ideologi) didefinisikan dengan ‘aqîdah ‘aqliyyah yang mampu memancarkan sistem.[18] Inilah realitas ‘aqîdah ‘aqliyyah. Meski demikian, tidak semua ‘aqîdah ‘aqliyyah itu sahih. Sebab, ukuran sahih dan tidaknya masih harus diuji dengan kriteria: (1) sesuai dengan fitrah manusia; (2) dibangun berdasarkan akal. Sesuai dengan fitrah manusia artinya, bahwa akidah tersebut mampu memenuhi potensi kehidupan manusia (isybâ’ at-thâqah al-hayawiyyah); atau lebih spesifik, mampu memenuhi kelemahan dan rasa membutuhkan pada diri manusia kepada sang Pencipta; atau dengan kata lain, sesuai dengan naluri beragama. Adapun dibangun berdasarkan akal, artinya akidah tersebut tidak dibangun berdasarkan materi ataupun jalan tengah (kompromi).[19]
Realitas yang pertama, yaitu akidah yang dibangun berdasarkan materi adalah materialisme. Alasan tidak dibangunnya akidah ini berdasarkan akal, menurut an-Nabhani, karena akidahnya menganggap materi azali dan lebih dulu ketimbang pemikiran—meski akidah ini merupakan pemikiran yang dihasilkan melalui akal.[20] Dalam menghasilkan pemikiran tersebut, akal tidak menggunakan metode rasional (tharîqah ‘aqliyyah), melainkan menggunakan metode ilmiah. Akibatnya, alam, manusia, dan kehidupan diposisikan sebagai materi dan didekati dengan metode ilmiah—yang dipisahkan dari semua informasi awal mengenai ketiganya—sehingga lahirlah kesimpulan, bahwa materi itu azali.  Sementara itu, realitas yang kedua, yaitu akidah yang dibangun berdasarkan jalan tengah (kompromi) adalah sekularisme. Mengenai alasan tidak dibangunnya akidah ini berdasarkan akal, menurut an-Nabhani, karena akidahnya dihasilkan melalui perseteruan berdarah selama berabad-abad antara agamawan dengan filosof.[21] Dari sinilah lahir kompromi; agama diakui namun tidak boleh mengatur kehidupan.  Dalam hal ini, akal juga tidak mengunakan metode rasional, melainkan metode ilmiah. Ini terbukti dengan tunduknya akal pada realitas konflik yang terjadi pada waktu itu. Wallâhu a‘lam. []


[1] Taqiyuddîn an-Nabhâni, Nidhâm al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 2001, hal. 4-5, 12-13, dan 24;  Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 2001, hal. 15 dan 34.
[2]  Taqiyuddîn an-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 1997, juz I, hal. 191.
[3]  Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm, hal. 15.
[4]  Taqiyuddîn an-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hal. 191.
[5]  Ahmad ‘Athiyyât, at-Tharîq, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1996, hal. 80-82.
[6]  Fathî Muhammad Salîm, al-Istidlâl bi ad-Dhann, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1993, hal. 90.
[7]  Ahmad ‘Athiyyât, Ibid, hal. 82.
[8]  Taqiyuddîn an-Nabhâni, at-Tafkîr, cet. I, 1973, hal. 83-84.
[9] Lihat, Ibid, hal. 83. Dalam hal ini, as-Syaikh Taqiyuddin menyebut agama Kristen sebagai pemikiran, sehingga menurut penulis tetap bisa disebut fikrah kulliyah. Bandingkan dengan pendapat Ahmad ‘Athiyyât, yang menyatakan bahwa akidah indoktrinasi (baca: akidah Kristen, Yahudi dan lain-lain) bukan pemikiran, sehingga tidak bisa disebut fikrah kulliyah, meski layak disebut akidah. Lihat, Ahmad ‘Athiyyât, at-Tharîq, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1996, hal. 80-82.
[10]  Ibid, hal. 85; Muhammad Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr al-Islâmi, Maktabah al-Wa’i, Beirut, 1958, hal. 6-9.
[11]  Ibid, hal. 71.
[12]  Ibid, hal. 70-71.
[13]  Ibid, hal. 72-74.
[14]  Lihat, Ibid, hal. 71-72 dengan beberapa catatan.
[15]  Lihat, Ibid, hal. 73.
[16]  Ahmad ‘Athiyyât, Op. Cit., hal. 59.
[17]  Ibid, hal. 39.
[18] Taqiyuddîn an-Nabhâni, Nidhâm, hal. 24.
[19] Ibid, hal. 26.
[20] Ibid, hal. 26.
[21] Ibid, hal. 26.

0 komentar

Leave a Reply

Hak Cipta Hanya Milik Allah lukyrouf.blogspot.com Dianjurkan untuk disebarkan Designed by lukyRouf